Agama Rentan Menjadi Komoditas Politik

Majalahnabawi.com – Agama sebagai pola dasar bagi keberadaan masyarakat multikultural, sejatinya bisa kita refleksikan dalam internalisasi kehidupan kita yang beragam. Agama berlandaskan keyakinan, etika dan keadaban. Ruang agama bukan pada ruang privat saja, jauh dari itu ruang agama juga dimaknai harus dijadikan ruang sosial. Konsepsi agama diruang publik tidak lepas dari dalam pengaruh zaman Yunani Kuno yang cenderung mencerminkan struktur budaya regional dan etos kerajaan, yang paling mencolok kala itu adalah masa-masa Homerik dengan tuhan-tuhan heroiknya.

Dalam menciptakan masyarakat yang multikultural di tengah kompleksitas agama, terkadang isu kemanusiaan perlu dimunculkan sebagai penguat rasa solidaritas antar sesama. Untuk itu, agama menjadi penghubung utama yang membawa kita kearah yang lebih luas. Nilai-nilai keagamaan tidak hanya menjadi wadah satu golongan saja, melainkan bereproduksi untuk seluruh kalangan, nilai yang bereproduksi tersebut berfungsi sebagai penguat rasa kebersamaan, persamaan dan persatuan sebagaimana yang dicita-citakan dalam Bhineka Tunggal Ika.

Kita sepakat bahwa , dimensi sosial memberikan titik temu antara agama dan kompleksitas masyarakat kultural, dengan saling menghormati satu sama lain, susunan kebangsaan tidak akan ternodai oleh konflik sosial, apalagi konflik agama. Sama rata sama rasa sebagai prinsip perjuangan pendahulu bangsa menjadikan indonesia ini kaya akan keberagaman, persoalan perbedaan agama bukan lagi persoalan yang kompleks yang terus diperdebatkan. Apalagi agama yang seharusnya dijadikan penghubung antara generasi peradaban, malah dijadikan alat reproduksi kepentingan politik pada saat menjelang pemilu. Tentu saja kondisi ini akan menjadikan integrasi sosial masyarakat indonesia menjadi rapuh, berebut kekuasaan dengan isu keagamaan akan melemahkan identitas indonesia yang beragam.

Antara Agama dan Politik

Dalam bukunya “Politics and Religion in The Modern World” (1991), George Moyser menunjukan bahwa hubungan antara agama dan politik dapat berkembang dalam tiga bentuk yang berbeda. Otoritas Politik mengendalikan instisusi agama, pemimpin agama mendukung otoritas publik, dan /atau simbiosis antara politik dan agama. Tiga perihal tersebut terkadang sering terjadi saat agama selalu dikaitkan dengan politik. Padahal tidak seharusnya agama dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik. Menjelang pemilu nanti di tahun 2024 sebaiknya tokoh agama tidak melibatkan diri dalam mengkampanye kan pasangan calon demi mendulang suara. Seharusnya masing-masing pasangan calon harus fokus terhadap program kerja mereka ketika terpilih nanti. Uraian panjang mengenai mau dibawa ke arah mana negara ini di masa jabatan 5 tahun kedepan jika mereka terpilih. Strategi politik untuk melibatkan agama dan tokoh agama dalam meraih pencapaian kekuasaan itu sebetulnya dapat merusak kemurnian agama sebagai suatu sistem yang mengatur tata keimanan yang sakral.

Agama mengajarkan kepada manusia kebaikan, rasa peduli dan kasih sayang. Namun politik jika bertemu dengan agama akan membawa rasa emosional bagi rakyat. Urgensinya rakyat harus memahami bahwa tujuan politik. Yaitu agar kekuasaan yang diperoleh nantinya dapat dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat, bukan kalangan tertentu saja. Politik tidak bersifat final tentunya, ia begitu dinamis. Bahkan terkadang elite politik bisa dengan mudah pindah dari kubu A ke kubu B. Namun tidak begitu bagi rakyat, jika rasa emosinal mereka sudah mendarah daging ini dapat menimbulkan disentegrasi. So,singkatnya gini jadi jangan pernah sangkut pautkan antara agama dengan politik.

Similar Posts