Aku

majalahnabawi.com – Ruangan ini pengap. Gelap. Suara jangkrik terdengar bersahutan di luar sana. Aku tak tahu sedang berada dimana sekarang. Penglihatanku rabun, mataku terasa lebam. Kulihat samar sosok seorang lelaki tua sedang memperhatikanku. Sebatang rokok buatan tembakau disulutnya. Sejenak dia menghisap rokok itu lalu menghembuskannya ke udara. Menatapku datar, bertanya.


“Kamu siapa?”

***

Aku tak tahu darimana kisah ini dimulai. Aku bingung. Aku hanyalah rakyat jelata. Aku tak tahu apa-apa. Aku rakyat jelata. Sekali lagi, aku hanya rakyat jelata.

Aku hidup di desa. Rumahku di pelosok salah satu desa kota ini, sebuah desa dengan penduduk terbanyak. Boleh dibilang aku orang desa, wong ndeso, orang kampungan. Tak apalah aku dibilang orang yang kolot, konservatif. Bahkan aku senang dengan apa-apa yang berkaitan dengan statusku itu. Karena aku rakyat, rakyat jelata yang menikmati kehidupannya di kampung. Berkumpul bersama para saudara sebangsa, tetangga-tetangga yang sesama rakyat jelata.


Teman-temanku adalah para petani, pedagang, nelayan, dan tentu saja para rakyat itu, baik yang muda atau yang tua, sudah bekerja ataupun yang masih pengangguran, semua bagiku sama saja. Kami sama-sama rakyat jelata. Kami semua tak tahu apa-apa. Apalagi soal negara ini. Kami terlalu sibuk dengan ladang-ladang persawahan, harga jual pasar, atau bahkan mencari pekerjaan yang semakin sulit bagi kami untuk menjelaskan kasak kusuknya. Bagi kami, urusan negara adalah urusan orang-orang atas, orang-orang kota dengan segala tetek bengeknya. Apalah arti kami? Kami hanya rakyat jelata. Bisa apa kami? Kami pun tidak tahu apa-apa.

Suatu hari, seorang lelaki dengan berpenampilan necis datang dari kota. Entah apa alasannya dia sukarela datang ke desa kami. Dia mendatangi para tetua kampung kami. Berbicara banyak hal. Menanyakan ini dan itu. Mencari informasi tentang seluk beluk desa kami. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, lelaki itu lalu menawarkan banyak hal berkaitan dengan mimpi-mimpi kami. Mimpi-mimpi orang-orang
desa, mimpi-mimpi rakyat jelata. Saat itu, aku hanyalah rakyat jelata. Aku tak tahu apa-apa. Kau tahu mengapa? Karena aku belum mengerti. Saat itu, bahkan aku tak ingin mengerti.

***

Semuanya terlihat jelas dan gamblang setelah dua tahun berlalu. Apa yang terjadi? Lelaki itu sekarang sudah menjadi walikota. Rupa-rupanya dulu dia meminta dukungan suara pada para tetua kami untuk memilihnya. Setelah kedatangannya ke desa, beberapa hari kemudian, bendera-bendera partai menghiasi kampung-kampung kami. Wajah lelaki itu terpampang sangat jelas dimana-mana, di pamflet, umbul-umbul, papan reklame, kaos, bahkan becak-becak pun memasang gambar fotonya. Sampai-sampai, seolah dia-lah
artis desa kami. Dimana-mana orang membicarakannya. Di sawah, di kebun, di pantai, bahkan di pasar. Mimpi-mimpi yang dijanjikannya begitu dinanti para rakyat. Apalagi, para tetua begitu yakin dengan kata-kata yang dia lontarkan. Jadilah kami pendukung setianya.

Bisa ditebak, pas ketika Pilkada itu usai, namanya terpampang sebagai pemenang. Selesai, selesailah semua
urusannya. Memang benar dia menepati janjinya. Namun itu hanya di awal saja. Tiga bulan saja desa kami ikut merasakan euforia kemenangannya. Setelah itu, nihil. Janji-janjinya hanya bualan semata.Janji-janjinya malah membuat kita sengsara.

***

Dua tahun berlalu, para petani mulai mengeluh dengan harga jual panen sawah mereka yang begitu
rendah. Harga jual tak sesuai dengan modal yang mereka keluarkan. Peraturan daerah yang diterapkan merugikan mereka. Bukan hanya itu saja, tapi ladang pertanian semakin berkurang. Banyak area persawahan dijadikan objek pembangunan. Petani-petani hilang pekerjaannya. Belum lagi harga barang-barang pokok mulai naik. Harga pasaran mencekik. Semuanya serba mahal. Rakyat pun kelabakan. Entah mengapa pula angka pengangguran semakin merajalela. Pekerjaan sulit didapat, semuanya serba uang. Ah, masalah-masalah itu semakin komplit saja dengan banyaknya orang-orang desa yang rela pergi ke kota untuk menuntut hak mereka akan janji-janji lelaki itu.

Ya, saat itu, aku juga baru tahu bahwa bukan desa kami saja yang dibuai oleh janji-janjinya, tapi juga desa-desa yang lain pun ikut menjadi sasaran omong kosongnya.


Setelah sekian jam kami menanti di depan kantor megahnya, lelaki itu datang. Dengan tenang dia berjalan
mendatangi rombongan kami. Bercakap banyak hal, menjelaskan ini dan itu, membuat kami berpikir sejenak akan semua penjelasannya. Menawarkan beberapa hal, Janji-janji baru, peraturan-peraturan baru. Kami rakyat jelata, kami tidak tahu apa-apa. Kami pulang pun tak membawa apa-apa. Hanya janji-janji itu.

***

Sejak demo itu, entah mengapa suasana di desa semakin parah. Keluhan-keluhan itu semakin membuatku berpikir banyak hal. Seperti api yang menjalar, semakin banyak demo-demo. Semakin banyak pula janji-janji palsu itu. Ya, bualan lelaki itu tak sepenuhnya nyata. Hanya beberapa saja yang dilaksanakannya. Itu pun hanya orang-orang tertentu saja. Hanya pada orang-orangnya. Hanya pada orang-orang yang ber-uang juga. Ah, aku bingung. Aku rakyat jelata, sama dengan yang lainnya. Aku dan mereka tak tahu apa-apa. Kami memikirkan janjinya, apakah dia memikirkan kita?


Akhirnya suatu hari ku tulis surat untuknya. Surat itu berisikan puisi salah seorang penyair terkemuka. Aku tak tahu dia membacanya atau tidak. Inilah isi surat itu:


Dari aku, rakyat yang kau berikan janji-janji semu…


Kau ini bagaimana? Kau bilang aku merdeka, kau memilihkanku segalanya. Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir.


Aku harus bagaimana? Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai. Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai.


Kau ini bagaimana? Kau suruh aku memegang prinsip, kau tuduh aku kaku. Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin plan.


Aku harus bagaimana? Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku. Kau suruh aku bekerja, aku bekerja, kau ganggu aku.


Kau ini bagaimana? Kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa. Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya.


Aku harus bagaimana? Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya. Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkanku yang lain.

Kau ini bagaimana?. Kau bilang tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat. Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai.


Aku harus bagaimana?. Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya. Aku kau suruh
menabung, aku menabung kau menghabiskannya.

Kau ini bagaimana?. Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah. Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah.

Aku harus bagaimana?. Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi. Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bisshowab.


Kau ini bagaimana?. Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku. Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku.


Aku harus bagaimana?. Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu. Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu.


Kau ini bagaimana?. Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis. Kau bilang jangan banyak tanya, aku diam kau tuduh aku apatis.


Aku harus bagaimana?. Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah. Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja.


Kau ini bagaimana?. Aku bilang terserah kau, kau tidak mau. Aku bilang terserah kita, kau tak suka. Aku bilang terserah aku, kau memakiku. Kau ini bagaimana, atau aku harus bagaimana?”


(Karya: KH. Ahmad Mustofa Bisri)

***

Entah hari ke berapa setelah ku kirim surat itu yang ku antar sendiri ke kantornya, saat itu aku hendak pergi ke sawah yang jaraknya kira-kira limaratus meter dari rumahku. Tiba-tiba saja seseorang datang menyergapku. Dalam hitungan detik aku tak sadarkan diri.

***

Ruangan ini pengap. Gelap. Suara jangkrik terdengar bersahutan di luar sana. Aku tak tahu sedang berada dimana sekarang. Penglihatanku rabun, mataku terasa lebam. Kulihat samar sosok seorang lelaki tua sedang memperhatikanku. Sebatang rokok buatan tembakau disulutnya. Sejenak dia menghisap rokok
itu lalu menghembuskannya ke udara. Menatapku datar, bertanya.


“Kamu siapa?”


“Aku? Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya rakyat jelata. Ya, sungguh aku hanya rakyat jelata yang tak tahu apa-apa”.



Similar Posts