Al-Ijbar Fi An-Nikah
Majalahnabawi.com– Nikah sudah menjadi kata yang tak asing dari telinga penulis, bahkan kata itu sudah penulis dengar sejak masih kanak – kanak, namun nikah yang penulis maksud dulu waktu masih kanak – kanak hanyalah dua insan yang mendapat sebutan, si pria dengan sebutan suami dan si wanita dengan sebutan istri. Dan setelah penulis beranjak remaja telah paham bahwa menikah punya banyak lika-liku dan masalah yang harus dihadapi oleh suami dan istri.
Setelah penulis mulai belajar mempelajari fiqih ternyata dalam nikah itu bukan hanya tentang nikmat, cobaan, masalah dan hal-hal yang lain, akan tetapi banyak sekali pembahasan didalamnya, dari sebelum Terjadinya nikah, adanya peristiwa lain yaitu :
- ijab kabul
- taaruf
- khitbah
ijab qobul (akad nikah) disitu masih ada proses dari taaruf (perkenalan), setelah itu khitbah (tunangan), setelah khitbah tak langsung terjadi pernikahan, tapi masih menilai apakah si wanita itu se-kufu’ (sepadan) atau tidak dengan si pria dalam hal ini kedua orang tua dari si wanita masih mempertimbangkan apakah si pria ini se-kufu’ dengan anaknya, kalau misal kedua orang tua itu tak menemukan yang se-kufu’ dengannya dan keadaan anaknya itu masih bikrun maka si anak itu boleh di-ijbar (dijodohkan) oleh walinya.
Al-ijbar, Nikah Paksa atau perjodohan
ijbar secara etimologi adalah pemaksaan, sedangkan secara terminologi adalah pemaksaan terhadap bikrun agar menikah dengan pria pilihan wali mujbirnya (yang memaksanya). Dalam dunia ini perempuan terbagi menjadi dua :
- bikrun (perempuan yang masih perawan)
- tsayib (perempuan yang sudah janda).
Dalam kitab – kitab fikih memberikan catatan tentang tsayib, bahwasannya tsayib (perempuan janda) ini tak ada toleransi sebab apa, karena dia kehilangan keperawanannya baik karena kesalahan dimasa lalu atau kekhilafan dimasa lalu.
Perempuan yang hilang keperawanannya dengan sebab kesalahan (kekhilafan) dimasa lalu itu dihukumi perempuan janda. Sebagaimana yang diterangkan dalam kitab samsul munirah yang dikarang oleh syekh ali bin hasan baharun hal 126 diterangkan bahwasannya, tsayib yang hilangnya itu dengan kesalahan (kekhilafan) itu tetap dihukumi perempuan janda, sekalipun si perempuan itu dijima’ dalam keadaan gila, terpaksa, dan tertidur itu dihukumi perempuan janda (tsayib) dengan shahih.
Setelah menerangkan siapakah itu tsayib dan bikrun, dari keduanya yang boleh diijbar tanpa keterangan itu adalah bikrun, sedangkan tsayib tak bisa diijbar secara langsung kecuali kalo misal si tsayib sendiri yang rela di ijbar.