Al-Raniri dan Karya Monumentalnya
Majalahnabawi.com–Pada abad ke 17 H muncul karya monumental karangan Syekh Nur al-Din al-Raniri tentang kajian Hadis untuk pertama kalinya di Indonesia.
Pada masa tersebut kajian Hadis belum semarak seperti sekarang untuk dikaji. Karna masyarakat Indonesia pada masa itu lebin banyak mengkaji tafsir, fikih dan lebih utamanya tasawwuf.
Hadis yang menduduki posisi kedua setelah Al-Quran sebagai sumber hukum serta memuat dokumentasi tentang Rasulullah Saw maka, sangat penting untuk melakukan kajian akannya. Hal inilah yang menjadi motivasi kuat Syekh al-Raniri untuk mengenalkan dan mendekatkan masyarakat Indonesia pada kajian Hadis, sebagaimana perkataan beliau dalam karyanya: “Bahwa penerapan syariat tidak dapat ditingkatkan tanpa pengetahuan lebih mendalam mengenai Hadis Nabi Muhammad Saw”.
Kontribusi beliau pada kajian Hadis di Indonesia untuk pertama kalinya merupakan dedikasi mulia beliau yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Oleh karenanya, kita akan membahas sedikit tentang beliau dan karya monumentalnya.
Biografi dan Pengembaraan Syekh Nur al-Din al-Raniri
Nama lengkap beliau adalah Nur al-Din Muhammad ibn Ali ibn Hasanji al-Hamid as-Syafi’i al-Asy’ari al-Aydarusi al-Raniri. Al-Raniri merupakan penisbatan yang merujuk pada tempat asal kelahirannya di Ranir (Randir atau Rander), suatu kota pelabuhan di Gujarat, India.
Ayah beliau berasal dari Hadramaut, sedangkan Ibunya keturunan Melayu, dengan demikian keluarga beliau telah memiliki hubungan dekat dengan melayu terutama Aceh. Terlebih pamannya, Muhammad al-Jailani ibn Hasan Muhammad al-Humaydi telah menetap lebih dahulu di Aceh tepatnya pada tahun 1580-1583 M (dengan tujuan berdagang sekaligus berdakwah dan mengajarkan agama Islam).
Namun, tak ada riwayat pasti akan kelahiran beliau. Menurut Azyumardi Azra, kemungkinan besar beliau lahir pada akhir abad ke-16 M. Dan Syekh al-Raniri wafat pada tanggal 22 Dzul Hijjah 1068 H/ 21 September 1658 M.
Riwayat Pendidikan Syekh Nur al-Din Ar-Raniri
Syekh al-Raniri memulai pendidikannya di kota kelahirannya dengan berguru pada Sayyid Abd al-Qadir al-Idrus. Selanjutnya, beliau mengembara ke Hadramaut untuk menimba ilmu (tepatnya di Tiryam, Tarim yakni pusat kajian Islam terkemuka pada saat itu). Selama di Hadramaut, banyak ilmu agama Islam yang ia kaji antara lain Tafsir, Hadis, dan Fikih. Namun, intelektualitas al-Raniri yang paling menonjol adalah di bidang Tasawuf. Ia pernah berguru kepada Syeikh Tarekat Rifa’iyyah yaitu Sayyid Abu Hafs Umar ibn Abdullah Ba Syaiban dari Hadramaut. Pasca berguru, Syekh Ba Syaiban menunjuknya menjadi pemimpin yang menyebarkan Tarekat Rifa’iyyah di tanah Melayu. Selain di Hadramaut, beliau juga menimba ilmu di Makkah dan Madinah. Selama berada di Haramain beliau banyak bertemu orang-orang yang berasal dari nusantara, hinggga menjadi pendorong beliau untuk berkelana ke wilayah nusantara.
Kedatangan Al-Rini ke Aceh
Kedatangan beliau ke Aceh untuk pertama kalinya tidak diketahui secara pasti. Sebagian sejarawan memprediksi kedatangannya pada 31 Mei 1637 M. Namun, ada yang mengatakan bahwa tahun tersebut merupakan kedatangan al- Raniri untuk kali kedua.
Al-Raniri datang untuk pertama kalinya ke Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Namun, tidak mendapat sambutan baik, karena pengaruh politik. Sultan yang lebih condong kepada Syams al-Din al-Samatrani dengan gagasannya mengenai doktrin mistiko-filosofis wujudiyah yang Hamzah Fansuri ajarkan. Sedangkan, al-Raniri membawa ajaran yang menentang paham wujudiyah tersebut.
Pasca meninggalnya as-Sumatrani yang kemudian disusul pula dengan wafatnya Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani. Ia merupakan menantu Iskandar Muda, sekaligus putra Sultan Ahmad, Sultan Kerajaan Pahang.
Seluk Beluk Kehidupan Syekh Al-Raniri
Al-Raniri saat terusir dari Aceh memilih untuk berpindah ke Pahang. Sehingga, beliau sudah mengenal baik Sultan Ahmad dan putranya. Ketika Aceh berganti kepemimpinan oleh Sultan Iskandar Tsani, al-Raniri memilih kembali berhijrah ke Aceh. Terlebih pada saat itu, Sultan Iskandar Tsani memberikan kedudukan istimewa kepada al-Raniri sebagai mufti kerajaan dan mendukung paham al-Raniri yang menentang wujudiyyah. Sehingga al-Raniri pun berkesempatan menyebarluaskan ilmu Islam yang dimilikinya dan menyusun karya-karyanya. Murid dari al-Raniri yang paling masyhur adalah Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu Mahasin Taj al-Khalwati al-Maqassari yang lahir di Gowa, Sulawesi Selatan. Melalui karyanya “Safinat an- Najah”, al-Maqassari menjelaskan bahwasannya al-Raniri merupakan syekh atau gurunya dalam tarekat Qadariyyah.
Pada 1644 M, al-Raniri kembali ke kota kelahirannya dan tidak kembali lagi ke Aceh. Banyak kalangan yang menduga kepulangannya kembali ke Ranir dikarenakan ketidaksepahaman beliau dengan Sultanah Safiyyat al-Din, sultan perempuan yang memperoleh banyak penentang dari kaum agamawan. Selain itu, ada pula dugaan bahwa ajaran al- Raniri mulai mendapat perlawanan ulama lain dari Minangkabau yaitu Saif al-Rijal.
Meskipun al-Raniri kembali ke kota kelahirannya. Namun, selama tujuh tahun di Aceh beliau telah menjadi mata rantai yang menghubungkan antara islam di Timur Tengah dengan Nusantara dan telah meninggalkan banyak karya, salah satunya adalah: kitab Hidayat al-Habib fii at-Targhib wa at Tarhib, dan karya-karya beliau lainnya dalam bidang ilmu aqidah, tasawwuf, fikih, dan hadis.
Kitab Hidayat al-Habib fii at-Targhib wa at-Tarhib
Kitab Hadis pertama yang ditemukan di Nusantara pada 6 Syawal 1045 H/14 Maret 1636 M. Namun, sulit melakukan pelacakan terhadap kitab ini dikarenakan minimnya literatur yang memuatnya.
Kitab ini juga dikenal dengan nama al-Fawaid al-Bahiyyah fii al-Ahadis an-Nabawiyyah, memuat 831 Hadis yang diambil dari 22 literatur Hadis.
Kitab ini secara umum berisikan hadis-hadis yang mendorong seseorang untuk berbuat baik dengan harapan memperoleh pahala, dan meninggalkan perbuatan buruk karena khawatir terjerumus dalam dosa.
Latar belakang Syekh al-Raniri menulis kitab ini ialah perkataan beliau: “Penerapan syariat tidak dapat ditingkatkan tanpa pengetahuan lebih mendalam mengenai hadits nabi Muhammad”. Pandangan beliau yang demikianlah yang mendorong beliau untuk mengumpulkan sejumlah hadis yang ia terjemahkan dari bahasa arab ke bahasa melayu. Tujuannya agar orang-orang muslim mampu memahami tuntunan nabi dengan benar.
Kitab beliau juga memberi petunjuk pada kita bahwa ilmu hadis pada abad ke-17 masih sebatas sebagai syarah atas suatu permasalahan, belum ada perkembangan lanjut mengenai ilmu hadis tersebut. Adanya faktor lingkungan yang lebih mengutamakan ilmu praktek dalam ketauhidan, menjadikan beberapa ulama lebih mengutamakan isi dibandingkan kajian sanad maupun matan.
Karakteristik Penulisan Kitab Hidayat al-habib Fi at-Targhib wa at-Tarhib
Adapun karakteristik penulisan kitab Hidayat al-Habib Fi at-Targhib wa at-Tarhib sebagai berikut:
- Cara penulisannya sangat sederhana, lebih dekat kepada saduran.
- Setelah mengutip sebuah Hadis, beliau kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu, lanjut ke Hadis berikutnya. Tetapi, dalam beberapa tempat beliau menyertakan komentarnya sendiri atau pendapat beberapa ulama untuk menjelaskan Hadis tersebut.
- Beliau dalam menuliskan sebuah hadis tidak menyertakan sanadnya, hanya mengutip matannya.
- Kemudian sebagaimana tertera pada mukaddimah beliau memberikan keterangan periwayat di akhir Hadis, seperti: (خ) Bukhari, (م) Muslim, (ت) Turmuzi, (ألف) Imam ibnu Hanbal, (د) Abu Daud, (حب) Ibnu Hibban, (قط) Daruquthni, (جه) Ibnu Majah, (عي) Qudha’i, (كم) Hakim, (ط) Thabrani, (لي) Dailami, (عيم) Abu Nai’m, (قي) Baihaqi, (ري) ‘Askari, (يع) Abu Ya’la, (نس) Nasa’i, (عد) Ibnu ‘Idda, (خط) khathib, (مه) Ibnu Khuzaimah, (يا) Ibnu Abi Dunya, (ب) Abi Zar. Hal ini beliau maksudkan agar mempermudah dalam mengingat dan menghafalnya.
Demikian mengenai Syekh Nur al-Din al-Raniri dan karya monumentalnya pada kajian Hadis yakni kitab Hidayat al-Habib Fi at-Targhib wa at-Tarhib. Sungguh begitu penting bagi kita sebagai anak bangsa dan penghuni bumi nusantara untuk mengenal ulama-ulama kita dan karya-karyanya yang tidak kalah dengan ulama-ulama dan karya-karyanya dari Timur Tengah. Karena tidak sedikit pula karya-karya ulama nusantara yang menjadi bahan kajian di luar nusantara. Semoga dengan adanya tulisan ini menjadi pintu pembuka bagi kita semua untuk lebih mengenal jauh ulama-ulama Nusantara dan karya-karyanya.
Wallahu a’lam
Penulis : Viki Mayanfauki dan Ghina Farhanah
Semester 4 Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences