Ali Abdul Raziq dan Penolakan Terhadap Khilafah
Majalahnabawi.com – Ali Abdul Raziq merupakan ulama Mesir yang lahir pada tahun 1888 M. Ayahnya bernama Hasan Abdul Raziq, seorang pasya yang sangat berpengaruh dan memiliki pengalaman hebat dalam dunia perpolitikan, sehingga Ali Abdul Raziq tumbuh dan tidak asing dengan kehidupan dunia politik. Ia lulus dari Al-Azhar pada tahun 1911 dan mendapat ijazah ilmiah dari universitas tersebut. Kemudian, pada tahun 1912, Ali Abdul Raziq meneruskan studinya di Universitas Oxford Inggris. Ia ingin mengkaji ide-ide pemikiran Barat. Pengetahuan dan pengalaman yang ia peroleh selama kuliah di Oxford memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Ali Abdul Raziq. Terutama dalam bidang rasionalitas dalam berpikir serta kebebasan berpendapat yang merupakan ciri khas dari peradaban Barat. Corak inilah yang nantinya akan diterapkan dan dikombinasikan oleh Ali Abdul Raziq di negaranya, Mesir.
Pemikiran Ali dalam Penghapusan Kekhalifahan
Setelah mengkaji ide-ide dunia Barat, Ali memiliki gagasan bahwasannya agama dan negara tidak dapat menyatu. Ali pun mencetuskan sebuah pemikiran yang berbeda dengan ide-ide pendahulunya, yakni penghapusan sistem kekhalifahan. Khilafah merupakan suatu pola pemerintahan dengan kekuasaan tertingginya secara mutlak dipegang kepala negara atau pemerintahan. Kepala negara memegang kepemimpinan dalam urusan dunia maupun agama dengan gelar khalifah sebagai pengganti nabi. Dalam hal ini, umat wajib mematuhi semua perintah sang khalifah. Ali menolak pernyataan tersebut. Ia mempertanyakan tentang kedaulatan seorang khalifah. Ali mengamati bahwa sumber dari kedauatan khalifah bisa berasal dari dua pihak. Pertama, kedaulatan dan kekuasaanya dari Tuhan, sebab melihat dari penyebutan khalifah sebagai khalifatullah fi al-ard. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa khalifah merupakan inkarnasi Tuhan. Kedua, khalifah kedaulatannya dari tangan rakyat. Artinya, rakyat yang memilih dirinya untuk menjadi khalifah. Ia pun menyimpulkan bahwa kedua pendapat ini sesuai dengan teori milik Jhon Locke dan Thomas Hobbes. Di sisi lain, Ali tidak menemukan suatu landasan yang konkret, baik dalam Al-Quran maupun Hadis tentang kewajiban mendirikan negara khilafah. Ali juga mengkritik pendapat ulama yang memegang teguh bahwa mendirikan suatu kekhalifahan adalah wajib. Ali berpendapat bahwa legitimasi ijmak sebagai landasan kekhalifahan hanyalah kesepakatan yang mereka buat sendiri untuk bisa menjadi dasar hukum. Hal ini merupakan akibat dari tidak adanya dalil qath’i yang mereka temukan dalam Al-Quran dan Hadis.
Mengkritik Dalil Diduga Sebagai Landasan Sistem Kekhalifahan
Landasan selanjutnya ialah keterangan dalam Al-Quran bahwa salah satu fungsi imam atau ulil amri adalah menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Namun, Ali kembali mengkritik penggunaan dalil tersebut. Menurutnya, kewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban khalifah sebagai pemimpin negara sebagaimana kewajiban presiden untuk menjaga negaranya dalam kondisi yang baik. Amar ma’ruf nahi munkar juga bukan hanya kewajiban khalifah semata. Seluruh umat Islam memiliki kewajiban yang sama dalam menegakkannya. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk negara tidak mempengaruhi pengamalan amar ma’ruf nahi munkar. Ali juga mengkritik pemikir Islam lainnya, yaitu Rasyid Ridha. Rasyid berpendapat bahwa mendirikan kekhalifahan adalah sebuah kewajiban. Dasar yang ia sampaikan terletak pada QS. Al-Nisa’ ayat 54 dan ayat 59. Namun, Ali juga tidak menyetujui landasan hukum ini. Ali meluruskan bahwa QS. Al-Nisa’ ayat 54 menjelaskan tentang kekuasaan yang Allah beri kepada Nabi Ibrahim. Sedangkan ayat 59 tentang taat kepada ulil amri. Kedua ayat di atas sama sekali tidak menyatakan bahwa mendirikan kekhalifahan adalah hal yang wajib.
Kegencarannya Menghapus Kekhalifahan
Ali Abdul Raziq menambahkan bahwa para ulama pada masa itu terlalu fokus bergelut dengan ilmu nahu, sharf, tasawuf, dan semacamnya. Di sisi lain, para cendekiawan masa itu juga sedang gencar-gencarnya mendiskusikan filsafat Yunani. Mereka kurang mendalami ilmu pemerintahan dan perpolitikan. Bahkan pada masa tersebut, khalifah yang menjabat melarang pembelajaran ilmu politik. Ini merupakan bentuk kekhawatiran khalifah akan terjadinya kudeta ketika ada sosok yang memiliki pemahaman mendalam terhadap ilmu politik. Berdasarkan pemikirannya tersebut, tidak ada yang mampu meruntuhkan keyakinan Ali bahwa mendirikan sebuah kekhalifaan bukanlah suatu kewajiban. Ia menjadi salah satu tokoh yang gencar menyuarakan penghapusan sistem kekhalifahan di tanah Mesir.