Analisis Syariat tentang Nilai Demokrasi dan Suara Terbanyak
Majalahnabawi.com – Indonesia merupakan negara yang menganut sistem presidensial yang kepala pemerintahannya dipilih langsung oleh rakyat. Bulan Februari yang lalu negara ini telah mengadakan pesta demokrasi yang merupakan pesta terbesar di Indonesia. Hal ini menjadi indikasi bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin bisa terbilang tinggi.
Demokrasi, Barat dan Sekuler
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang lahir di barat dan berlatarbelakang sekuler. Kata tersebut juga berasal dari Bahasa Yunani yang merupakan gabungan antara kata demos berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan, sehingga demokrasi merupakan rakyat yang berkuasa.
Menurut KBBI, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakil rakyatnya. Sedangkan menurut C.F. Strong demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu.
Salah satu dari bentuk penerapan demokrasi adalah pemungutan suara. Pemungutan suara merupakan istilah yang merujuk kepada mekanisme pengambilan keputusan atau pemberian amanat kepada seseorang. Sistem ini bisa terlaksana dengan cara terbuka atau pun tertutup. Mekanisme ini merupakan cara terpilih untuk menjalankan demokrasi.
Ayat Kepemimpinan di dalam Al-Quran
Dalam Al-Quran, banyak ayat yang berbicara tentang kepemimpinan manusia, di antaranya adalah
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ [البقرة: 30]
Artinya: “Ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat “sesungguhnya kami jadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi” (Q.S. Al-Baqarah (2) : (30) ).
Di dalam kitab Al-Ahkam Sulthoniyah menurut Imam al-Mawardi tugas utama seorang pemimpin adalah menggantikan tugas kenabian di bumi dalam melestarikan agama dan mengatur urusan dunia. Namun dalam Islam, mekanisme pemilihan pemimpin tidak tersampaikan secara baku sehingga hal ini meniscayakan ruang kreatifitas manusia dalam membuat regulasi tentang pemilihan pemimpin dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip islam yang universal seperti kebebasan berpendapat, bermusyawarah, adil, dan kemerdekaan.
Belakangan ini banyak komunitas yang menolak akan kehadiran demokrasi di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa demokrasi menyalahi terhadap ajaran islam, sebab sumber rujukan hukumnya bukanlah Allah melainkan kebijakan terhadap personal manusia, landasan teolog mereka firman Allah yang berbunyi
إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ [يوسف: 40]
Artinya: “sesungguhnya hukum hanyalah milik Allah” (Q.S.Yusuf (12) : (40) ). Syekh Yusuf al-Qardlawi dalam menafsiri ayat ini beliau menjelaskan bahwa hukum Allah itu terbagi menjadi dua. Pertama adalah Allah sebagai hakim semesta. Dalam artian, Allah adalah dzat mengatur semesta alam dengan kekuasaannya, sehingga yang maksud hukum dari ayat tersebut adalah hukum yang bersifat semesta bukan hukum yang bersifat syari’at. Kedua adalah Allah sebagai hakim dalam mensyari’atkan sebuah hukum, baik hukum yang bersifat pembebanan, perintah, larangan, dan kewajiban.
Dalam demokrasi, prinsip yang diterapkan adalah permusyawaratan, keadilan, kebebasan, serta kemerdekaan. Hal ini jelas senada dengan spirit ajaran Islam dan tidak menyalahi terhadap ajaran Islam sendiri. Lantas bagaimana dengan pemilihan suara terbanyak yang merupakan salah satu bentuk dari demokrasi?
Penetapan Suara Terbanyak Menurut Yusuf al-Qardlawi
Menurut syaikh Yusuf al-Qardlawi dalam kitabnya yang berjudul Fiqh Daulah fi al-Islam bahwa penetapan hukum dengan suara terbanyak hanya terjadi dalam ranah yang bersifat ijtihad. Misalnya memilih kandidat calon pemimpin, menetapkan undang-undang, dan lain sebagainya. Dalam istilah fuqoha, ini disebut sebagai maslahat mursalah. Fenomena seperti memang sudah terjadi semenjak masa Rasulullah Saw seperti kesepakatan pada momentum perang uhud, dan juga terdapat riwayat hadis
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
Artinya: “sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan, jika kalian melihat terjadinya perbedaan maka ikutilah sawad al-a’dzam’’(Sunan Ibn Majah. Juz 02 No.1303)
Menurut syaikh Yusuf al-Qardlawi, kalimat sawad al-a’dzam adalah mayoritas, kebanyakan serta hitungan yang paling banyak dari manusia. Kejadian serupa juga pernah terjadi pada sayyidina Umar dalam menunjuk kandidat pemimpin setelahnya. Kejadian ini terkenal dengan sebutan 6 golongan ahlus syuro. Di mana sayyidina Umar menyuruh para sahabat yang 6 untuk menunjuk calon pemimpin setelahnya dengan berpedoman terhadap suara terbanyak.
Oleh karena itu, bisa kita simpulkan bahwa demokrasi serta mekanisme pemilihan pemimpin dengan mengangkat suara terbanyak merupakan suatu sistem yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena di dalamnya juga berpedoman kepada nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat universal. Hal ini karena ajaran Islam tidak menjelaskan secara gamblang tentang sistem pemerintahan sehingga meniscayakan adanya ruang kreatifitas dari manusia.