Apa Saja yang Menjadi Tanggungan Suami Terhadap Istri?
Oleh: Muhammad Ubaidillah
Majalahnabawi.com – Pernikahan lazimnya dilakukan oleh dua pasang manusia beda jenis yang saling mencintai. Sehingga mereka meneruskan hubungannya ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Dalam islam ketika seseorang telah melaksanakan akad nikah, maka lahir implementasi-implementasi berupa kewajiban nafkah bagi suami terhadap istri. Nafkah atau nafaqah diambil dari kata infaq yang secara bahasa bermakna mengeluarkan didalam hal-hal kebaikan. Sementara menurut syari’ah, nafaqah berarti menangguh kebutuhan-kebutuhan pokok orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Dilihat dari definisi tersebut, istri termasuk terhadap orang yang berada di bawah kuasa suami. Sehingga suami harus memenuhi kebutuhan seorang istri. Lalu apa saja kebutuhan yang harus direalisasi oleh suami? Dan apa saja kategori-kategori nya?
1. Makanan
Istri berhak menerima makanan dari suami. Makanan disini mencakup makanan pokok, lauk pauk, air minum, dan sesuatu yang include terhadap ketiganya seperti rempah-rempah dll. Mengenai kadar nafkah yang berhak diperoleh istri, Ulama’ terbagi menjadi dua golongan. Syafi’iyyah mengatakan bahwa kewajiban makanan dilihat dari kemampuan si suami, sehingga mereka mengklasifikasinya menjadi tiga kategori. Wajib satu mud ketika suami orang kaya, satu mud ketika miskin, dan satu setengah mud ketika normal (tidak kaya dan tidak miskin). Makanan tersebut diberikan setiap hari dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Dan boleh-boleh saja andai kata keduanya sepakat untuk mendahulukan atau mengakhirkan nafkah makanan tersebut.
Sementara, ulama’ selain Syafi’iyyah memiliki pendapat bahwa dalam hal takaran nafkah ditentukan oleh kecukupan sang istri, berdasarkan hadits Nabi terhadap Hindun:
خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ فَقَالَ رسول الله
“Ambillah sebagian hartanya secara baik-baik sesuai dengan apa yang mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anak-anakmu!” (HR. Bukhari, no. 5364).
Selain itu, nafkah disini juga turut memperhitungkan budaya dan adat yang terjadi disetiap negara, serta mempertimbangkan berbeda-bedanya masa, situasi, dan kondisi.
2. Pakaian
Ulama’ sepakat bahwa pakaian yang dikenakan istri juga turut menjadi kewajiban si suami. Berlandaskan al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 233:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
Artinya: “Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut”.(Q.S. al-Baqarah [1]:233).
Mengenai tolak ukur model pakaian yang harus diberikan terhadap istri, para mujtahid sependapat bahwasannya hal itu ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas sang suami. Ini karena syari’at tidak langsung menjelaskannya secara sharih. Oleh karenanya ulama’ memberikan standarisasi mengenai minimal pakaian yang harus diserahkan suami terhadap istri, yaitu baju gamis (pakaian yang menutupi seluruh aurat), sirwal atau celana panjang (pakaian yang menutupi badan bagian bawah dan menjaga aurat), Khimar atau kerudung, serta pelindung kaki (berupa sandal atau sepatu).
Suami harus memberikan nafkah pakaian dua kali dalam setahun. Ini meninjau bahwa dalam satu tahun terdapat dua musim, serta memenuhi kebutuhan istri dalam menjalani musim yang berbeda, yaitu musim kemarau dan hujan. Mengenai apakah pakaian musim kemarau dan hujan diberikan secara sekaligus ulama’ berbeda pandangan. Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat dua pakaian (musim hujan dan kemarau) tersebut diberikan sekaligus diawal musim, sementara Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa si suami harus menggantinya secara bertahap sebagaimana biasanya pergantian musim yakni per-enam bulan sekali.
3. Tempat Tinggal
Kewajiban berikutnya yaitu memberikan istri tempat tinggal atau rumah. Rumah disini tentunya harus memiliki kriteria kelayakan untuk ditempati, baik memperolehnya dengan cara membeli, menyewa, atau mendapatkan wakaf. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an:
“وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ”
“Pergaulilah mereka dengan cara yang pantas” (an-Nisa’ [6]:19).
Kepantasan tersebut diperoleh jika suami memberikan tempat tinggal yang dapat menentramkan dan melindungi istri dan harta benda yang dimilikinya. Namun hal ini tidak mengesampingkan finansial si suami.
4. Menyiapkan Pelayan dan Nafkahnya
Ulama’ sepakat bahwa ketika suami termasuk orang yang kaya, lalu memiliki istri dari keluarga yang memang pada biasanya memiliki khadim atau pelayan, maka suami harus menyiapkan pelayan beserta nafkahnya. Maknanya, tidak wajib menyiapkan khadim jika suami memang tergolong orang yang pas-pasan. Juga pelayan disini bukan termasuk perkara daruriyat yang harus selalu dipenuhi.
5. Alat Mandi dan Peralatan Rumah Tangga
Kewajiban terakhir yang berhak diperoleh istri adalah alat untuk membersihkan dan memperindah diri (alat mandi/make up). Para Mujtahid tidak sama dalam menyebutkan apa saja yang termasuk kategori alat mandi. Boleh jadi ini dikarenakan mereka tidak semasa. Namun, dilihat dari perbedaan-perbedaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa alat mandi ialah sesuatu yang dapat menghilangkan kotoran seluruh badan, mulai dari kepala hingga kaki. Selain alat mandi, suami juga harus memberikan alat make up yang sekiranya tidak diberikan dapat memudlaratkan istri. Dan pastinya tetap mengkondisikan kemampuan sang suami dan budaya masyarakat setempat. Mengenai peralatan rumah tangga yang dimaksud adalah alat-alat yang mendukung untuk makan, minum, dan juga barang-barang yang digunakan untuk membuatnya seperti kompor, wajan, dll. Tidak terkecuali pula memberikan ujrah/upah terhadap istri jika istri ingin menggiling roti atau adonan ke tempat penggilingan.
Itulah beberapa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami. Ketika telah mengetahuinya, setidaknya kita merefleksi ulang bahwa pernikahan bukan hanya soal urusan ranjang. Jadi, alangkah baiknya sebelum memulai bahtera rumah tangga kita mempersiapkan terlebih dahulu tidak hanya kesiapan mental, tapi juga kesanggupan finansial. Agar perjalanan pernikahan tersebut senantiasa dapat berjalan secara konsisten dan stabil sehingga dapat mewujudkan sakinah, mawaddah, dan warahmah.
*Informasi diatas penulis dapatkan dengan meninjau kitab al-Fiqh al-islami Wa Adillatuhu karya ulama’ kontemporer DR.Wahbah az-Zuhaili yang berisi kumpulan fatwa Madzhahibul Arba’ah.