Arah Kiblat, Antara Dalil Syar’i atau Google Map

Majalahnabawi.com Sebagaimana yang sudah kita ketahui, bahwa salat merupakan tiang agama bagi umat muslim. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus terpenuhi di dalamnya. Salah satu syarat sahnya adalah menghadap kiblat. Jika syarat yang satu ini tidak terpenuhi, maka secara dhohir hukum fikih, bisa mencederai keabsahan salat.

Dalam buku القبلة على ضوء الكتاب والسنة karya KH Ali Mustafa Yaqub, beliau mencoba menjawab problematika arah kiblat umat Islam di Indonesia. Fatwa MUI No. 3 tahun 2010 menyatakan bahwa kiblat umat Islam Indonesia adalah arah barat mana saja. Hal ini berdasarkan makna kontekstual dari Hadis sahih. Yaitu ketika berada di Madinah (utara Kakbah), Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya “arah antara timur dan barat (arah selatan) adalah kiblat.”

Sebab Terjadinya Polemik Arah Kiblat

Problem arah kiblat muncul ke permukaan, setelah adanya pihak yang kontra dengan fatwa MUI tersebut dan berusaha untuk mengubahnya. Hingga akhirnya, MUI kembali mengeluarkan fatwa barunya yaitu Fatwa No. 5 tahun 2010 dengan redaksi yang berbunyi “kiblat umat Islam Indonesia adalah arah barat laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan masing-masing.”

Menurut pengetahuan data yang penulis miliki, setelah mengetahui bahwa sebab adanya fatwa baru tersebut adalah terjadinya perbedaan persepsi umat di kala itu. Mengutip dari beberapa sumber, terdapat pernyataan dari Zulfa Mustofa, Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) di masa itu, bahwa perbedaan arah kiblat terletak pada persoalan apakah ditentukan secara persis (tepat) atau kira-kira.

Menurutnya, Fatwa MUI No. 5 tahun 2010 muncul setelah perdebatan panjang yang lantas mengakomodir mazhab Syafi’I yang notabene mazhab mayoritas umat Islam di Indonesia. Maka, dalam hal ini, KH Ali Mustafa Yaqub menjelaskan sebab perbedaan tersebut secara detail, yaitu adanya 2 Hadis yang saling kontradiksi antara satu dengan lainnya.

Ibnu Abbas, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya:

أن النبي دخل الكعبة ثم خرج فصل ركعتين ثم قال: هذه القبلة

“Sesungguhnya Nabi SAW memasuki Kakbah, kemudian keluar lalu salat 2 rakaat dengan menghadap Kakbah. Setelah itu, beliau bersabda: “Ini adalah kiblat.”

Hadis ini menunjukkan bahwa kiblat adalah bangunan Kakbah.

Abu Hurairah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dan lainnya bahwa Nabi Saw. bersabda:

ما بين المشرك و المغرب قبلة

“Arah antara timur dan barat adalah kiblat”

Hadis ini menunjukkan bahwa kiblat cukup dengan menghadap ke arah Kakbah. Sedangkan di sisi menuqil pendapat ulama yang menyatakan bahwa, “ketentuan dalam ilmu Hadis jika menemukan sebuah Hadis yang berlawanan dengan Hadis lain sedangkan keduanya adalah Shahih, maka hendaklah ditepuh dengan metode jama’.” (Al Hafidh Al Iraqi)

Menolak Hadis dan Menerima Google Map

Selanjutnya, KH Ali dalam bukunya tersebut mengkritik bahwa fatwa MUI menyalahi pedoman penetapan fatwa MUI, yang harus berlandaskan dalil syar’i. Sedangkan kenyataan bahwa Fatwa MUI No. 5 tahun 2010 tidak bersumber dari rujukan utama, al-Qur’an dan Hadis, melainkan google map.

Selain itu, KH Ali Mustafa Yaqub juga mengkritisi tentang lemahnya fatwa MUI tersebut. Tidak hanya menolak Hadis yang sahih dan mengedepankan data google map. Fatwa MUI No. 5 Tahun 2010 ini mengharuskan penduduk Indonesia untuk menghadap pada bangunan Kakbah bukan ke arah Kakbah (menghadap barat laut atau arah barat miring ke kanan sesuai daerah masing-masing). Ini merupakan pendapat yang lemah. Sedangkan pendapat yang kuat dalam berkiblat bagi orang yang tidak melihat Kakbah adalah cukup menghadap ke arahnya.

Secara garis besar, ulama membedakan hukum menghadap kiblat bagi yang melihat secara langsung dan tidak langsung. Melihat langsung. ulama bersepakat bahwa orang yang melihat bangunan Kakbah secara langsung maka dia wajib menghadap bangunan Kakbah (‘Ain Ka’bah). Jika tidak, maka salatnya tidak sah.

Jika tidak secara langsung. Mayoritas mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali mereka berpendapat bahwa orang yang melihat bangunan Kakbah secara tidak langsung, maka yang wajib baginya hanya menghadap arah Kakbah (Jihat Ka’bah), meskipun sebagian ulama dari mereka berpendapat bahwa tetap wajib menghadap bangunan Kakbah (‘Ain Ka’bah).

Hakikat Makna Arah Kiblat

Yang dimaksud dengan arah Kakbah menurut Imam Nawawi bukanlah bangunan Kakbah, bukan juga Makkah al-Mukarramah. Hal ini senada dengan hujjah ulama mazhab Syafi’i dengan Hadis hasan-shahih riwayat al-Tirmidzi dari Abu Hurairah;

ما بين المشرك و المغرب قبلة

“Arah antara Timur dan Barat adalah kiblat.”

Perkataan Imam Nawawi ini memiliki pengertian bahwa ulama mazhab Syafi’i memahami bahwa yang dimaksud dengan arah Kakbah (Jihat Ka’bah) bagi orang yang berada di utara Ka’bah adalah selatan, karena “Arah antara Timur dan Barat” bagi yang berada di utara Kakbah adalah Selatan. Maka pengertian semakna (mafhum muwafaafaqqoh) dengan hadis tersebut adalah arah Kakbah bagi orang yang di selatan adalah utara, barat adalah timur, dst.

Pendapat inilah yang kuat dan dipilih oleh al-Ghazali, serta disahihkan oleh al-Jurjani, Ibnu Kajj, Ibnu Abi ‘Ashrun, dan ditetapkan oleh al-Mahalli.

Similar Posts