Awal Puasa Ikut Makkah dan Madinah, Apakah Sesuai Sunnah?

Mengawali bulan Ramadhan di negeri tercinta ini, setiap tahunnya selalu kita saksikan perbedaan. Yang terjadi di sebagaian kalangan awam, tak jarang perbedaan tersebut berujung pada sebuah perdebatan kusir. Yaitu perbedaan penentuan awal Ramadhan.

Ada yang memulai puasa lebih awal sesuai dengan hisab (perhitungan) yang diikutinya, ada pula yang ikut  pemerintah lewat putusan sidang isbat, setelah melakukan rukyah hilal pada sore tanggal 29 Sya’ban.

Agaknya, perbedaan ini oleh sebagian orang dianggap sebagai hal menjenuhkan dan sesuatu yang terlihat rumit. Padahal hal ini adalah penentu awal bulan dalam rangka berpuasa, suatu ibadah yang merupakan bagian dari rukun Islam.

Oleh karena itu, ada saja ditemukan orang-orang yang berkata “Saya ikut Makkah dan Madinah saja. Kalau di Makkah dan Madinah puasanya besok, saya juga berpuasa besok”.

Pernyataan ini bukan tidak beralasan, bahkan menurut orang yang mengatakannya, juga  mempunyai alasan yang kuat. Yaitu Makkah dan Madinah adalah pusat Islam, karena setiap tahun umat Islam di penjuru dunia mendatanginya untuk beribadah. Makkah adalah kiblat umat Islam, dan Madinah adalah kota kediaman Rasulullah.

Sepintas ada benarnya juga, akan tetapi bila dicermat, kita akan bertanya-tanya, “Apa hubungannya antara keutamaan yang dimiliki oleh Makkah dan Madinah dengan keharusan kita untuk memulai berpuasa menyamai dua kota itu?”.

Jika begitu, lantas kenapa kita tidak menyamakan pula jadwal salat kita dengan jadwal salat di sana? Ketika orang dikedua kota itu salat zuhur misalnya, kita di sini pun salat zuhur.

Dari sini dapat dipahami bahwa ibadah yang berkaitan dengan waktu, tidak dapat kita samakan waktunya, antara di suatu wilayah tertentu dengan wilayah lainnya.

Kemudian yang perlu diketahui adalah bahwa suatu ritual ibadah yang dikerjakan haruslah didasari dengan sumber hukum atau yang disebut dengan dalil, tidak asal main akal-akalan saja.

Rasulullah Saw bersabda:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ، وَابْنُ حُجْرٍ، – قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا، وَقَالَ الْآخَرُونَ: – حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَرْمَلَةَ، عَنْ كُرَيْبٍ، أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ، بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ، قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا، وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ، وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: ” لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ، أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ: أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” وَشَكَّ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى فِي نَكْتَفِي أَوْ تَكْتَفِي.

Artinya: (riwayat dari) Kuraib RA. bahwa  Ummul Fadhl bint Al-Harits mengutusnya kepada Mu’awiyah di negeri Syam. Ia (Kuraib) berkata: saya mendatangi negeri Syam, dan saya tunaikan keperluan Ummul Fadhl. Hilal Ramadhan terlihat ketika saya masih di Syam, saya melihatnya di malam jumat, kemudian saya kembali ke Madinah, di akhir bulan, dan saya ditanya oleh  Abdullah Ibn ‘Abbas RA. kapan kamu melihat hilal? Saya jawab: kami melihat hilal di malam jumat. Ia menimpali, kamu melihatnya? Saya katakan: iya, dan juga orang-orang pada melihatnya, lalu mereka berpuasa, begitu juga Mu’awiyah. Lalu Ibn ‘Abbas berkata: Tetapi kami melihat hilang malam sabtu. Maka kami tetap berpuasa sampai genap tiga puluh hari, atau kalau kita melihat hilal. Saya menimpali: Apa tidak cukup dengan rukyah hilalnya Mu’awiyah dan puasanya? Ia (Ibn ‘Abbas) berkata: Tidak. Beginilah Rasulullah mememerintahkan (mengajari) kami.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (261 H) dalam kitab Sahihnya dengan judul bab: “Bab yang menjelaskan bahwa bagi masing-masing wilayah adalah rukyahnya sendiri, dan penduduknya apabila menyaksikan hilal di suatu wilayah, maka tidak berlaku hukumnya untuk wilayah yang jauh dari mereka”.

Hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Attirmizi dalam Kitab Sunannya dengan judul bab: “Bab mengenai riwayat bahwa bagi penduduk suatu wilayah adalah rukyahnya sendiri”.

Dari judul bab yang dibuat oleh kedua imam sunnah ini, sudah sangat jelas bahwa bagi mereka, rukyah suatu wilayah tidak berlaku untuk wilayah lain. Artinya apabila di Makkah dan Madinah orang-orang sudah melihat hilal, maka orang-orang di wilayah lain yang jauh dari kedua kota itu, tidak boleh mengikuti hasil rukyah mereka di Makkah dan Madinah.

Akan tetapi Imam As-Subki sebagaimana dikutip oleh Al-Khatib Al-Syarbini (977 H) dalam kitabnya Al-Mughni Al-Muhtaaj, menjelaskan bahwa ada saatnya rukyah suatu wilayah itu merupakan keniscayaan untuk diikuti oleh wilayah lain, yaitu ketika orang-orang di wilayah sebelah timur melihat hilal, maka orang-orang yang berada di wilayah barat mestinya mengikuti rukyah orang-orang di wilayah timur, dan tidak sebaliknya. Sebab, malam di wilayah timur lebih dahulu dari wilayah barat. Sehingga jika di wilayah timur saja sudah kelihatan hilal, maka tentu di barat mestinya juga sudah ada hilal.

Dalam menyikapi hadis Kuraib RA di atas, As-Subki menanggapi bahwa wilayah Syam (tempat Mu’awiyah berada saat itu) terletak lebih ke arah barat  dibandingkan Madinah.

Jika kita melihat letak geografis antara Indonesia dengan Saudi Arabia (dimana Kota Makkah dan Madinah ada di sana), kita temukan bahwa Indonesia berada di sebelah Timur, sedangkan Arab Saudi di sebelah Barat. Maka sesuai dengan penjelasan Imam As-Subki di atas, kita tidak boleh mengikuti rukyah dari Saudi.Tetapi malah sebaliknya, jika di Indonesia sudah terlihat hilal, maka orang-orang di Makkah dan Madinah mestilah mengikuti rukyah Indonesia.

Terkait dengan ukuran jauh antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, Imam An-Nawawi (676H) menyebutkan dengan dua pandangan.

Pertama, Jika diantara dua wilayah berbeda mathla’ (terbit matahari) yang berarti dalam jarak wilayah yang jauh.

Kedua, jika sudah sampai jarak kebolehan mengqashar shalat, yaitu 2 marhalah atau sekitar 89 KM menurut Syaikh Wahbah Azzuhaily dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami.

Dalam hal ini Imam Nawawi menguatkan argumen yang pertama, yakni jarak yang disebut jauh ditentukan dengan perbedaan mathla’.

Terkait hal ini Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthy dalam buku fikih muqarannya menyebutkan bahwa ukuran mathla’ ditentukan oleh mereka yang membidanginya, yaitu ahli falak.

 

Wallahu A’lam Bis Showab.

Similar Posts