Bagaimana dengan Perawi Perempuan ?

Majalah Nabawi – Masalah perempuan akhir-akhir ini menjadi hal yang sering diperbincangkan. Berbagai kajian tentang perempuan sering diadakan. Dalam dunia Islam sendiri, fenomena perempuan juga menjadi isu yang hangat. Apalagi soal kontribusi perempuan dalam berbagai bidang tentunya akan selalu menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya, kontribusi perempuan dalam periwayatan Hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai sumber hukum kedua dalam Islam.

Dalam ilmu Hadis, ulama muhaddisin tidak menetapkan bahwa jenis kelamin dan status termasuk syarat diterimanya sebuah periwayatan. Karenanya tidak terdapat larangan bagi perempuan untuk meriwayatkan Hadis. Namun, apakah benar terjadi penyusutan jumlah perawi hadis dari kalangan perempuan dari masa ke masa ?

Sebut saja Sahabiyat (sahabat perempuan), mereka menjadi bukti bahwasannya perempuan juga memiliki kontribusi dalam meriwayatkan Hadis Nabi. Adapun di antara cara yang mereka tempuh untuk mendapatkan Hadis dari Nabi ialah dengan mendatangi langsung majelis-majelis ilmu yang Nabi adakan. Mereka juga mendatangi rumah Nabi untuk berkonsultasi dan meminta penjelasan tentang problematika yang tengah mereka hadapi. Ataupun dengan cara mencegat Rasulullah di perjalanan untuk menanyakan sebuah permasalahan. Akan tetapi, sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keterlibatan dan kontribusi perempuan secara umum dalam berbagai bidang semakin menurun. Termasuk dalam periwayatan Hadis. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya  jumlah periwayat Hadis dari kalangan perempuan, begitu pula periwayatan hadis-hadis yang akan semakin berkurang.

Perawi Perempuan Dari Generasi ke- Generasi

 Sebagai sampel dan bukti dari fenomena ini, salah satunya melalui data yang para peneliti temukan tentang jumlah periwayat perempuan dari setiap generasi  (Shahabat, tabi’in, dan atba’ tabi’in) dalam kutub al-sittah, sebagai berikut :

  1. Shahih al-Bukhari ; Shahabat : 27 orang, Tabi’in : 13 orang, Atba’ Tabi’in : 0
  2. Shahih Muslim ; Shahabat : 29 orang, Tabi’in : 10 orang, Atba’ Tabi’in : 0
  3. Sunan Abu Daud  ; Shahabat : 66 orang, Tabi’in : 74 orang, Atba’ Tabi’in : 9 orang
  4. Sunan al- Tirmizi ; Shahabat : 49 orang, Tabi’in : 37, Atba’ Tabi’in : 4 orang
  5. Sunan al-Nasa’i ; Shahabat : 43 orang, Tabi’in : 29 orang, Atba’ Tabi’in : 3 orang
  6. Sunan Ibn Majah ; Shahabat : 59 orang, Tabi’in : 41 orang, Atba’ Tabi’in : 4 orang

Berdasarkan data tersebut penurunan jumlah perawi perempuan terlihat signifikan dari generasi shahabiyat ke generasi tabi’in begitu juga dari tabi’in ke atba’ tabi’in.

Banyaknya pembatasan-pembatasan yang para khalifah lakukan setelah Rasulullah, seperti larangan perempuan untuk datang ke masjid di zaman khalifah Umar ibn Khattab serta upaya masyarakat Arab untuk mengembalikan sikap budaya paternalistic (lebih mengutamakan laki-laki dalam urusan publik), adalah di antara penyebab menurunnya jumlah perawi perempuan.

Di samping itu, perbedaan cara meriwayatkan para sahabiyat yang semakin menyusut juga menjadi faktor menurunnya jumlah perawi perempuan ini. Karena jalur periwayatan perawi perempuan kebanyakan berkembang melalui kerabat atau famili. Factor lainnya ialah, kesulitan perempuan saat itu untuk keluar rumah dan bersosialisasi dengan masyarakat pada umumnya. Mereka hanya memiliki kesempatan untuk bersoliasasi dengan masyarakat untuk urusan silaturahmi atau saat menunaikan umrah. Mereka harus ikut meriwayatkan hadis  pula saat bertemu dengan kerabat yang meriwayatkan hadis.

Dari fenomena di atas, meskipun jumlah perawi perempuan mengalami penurunan dari generasi ke generasi, akan tetapi hal ini juga membuktikan bahwa perempuan di awal Islam juga memegang peranan dan kontribusi penting dalam menjaga orisinalitas mata rantai transmisi tentang kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan,  para ulama kritikus Hadis tidak pernah ragu untuk menerima dan mengambil periwayatan dari perowi perempuan sebagaimana mereka menerima dan mengambil periwayatan dari perawi laki-laki.

Similar Posts