Bagaimana Kriteria Hukuman Bagi Orang Murtad?
Murtad secara Bahasa berarti berbalik, kembalinya suatu perkara kepada perkara yang lain seperti mengembalikan barang dari satu pemilik kepada pemilik lainnya.
Sedangkan menurut syariat murtad adalah memutus Islam dengan niat kufur, ucapan kufur atau pekerjaan kufur seperti sujud kepada patung baik bercanda atau serius.[1]
Maka dari definisi ini, ada beberapa kriteria seseorang bisa dikatakan telah kufur, yaitu:
Berniat memutus Islam
Orang yang memutuskan Islam tersebut harus balig dan berakal. Seseorang yang berniat murtad untuk waktu yang akan datang tetap dianggap sebagai orang yang murtad sesuai dengan niatnya, seperti seorang muslim berniat murtad besok hari. Termasuk murtad juga niat murtad yang ragu-ragu. Niat murtad ini tidak berlaku bagi anak kecil dan orang gila.
Ucapan kufur
Yaitu ucapan seorang muslim yang sengaja mengandung tanda-tanda kekufuran seperti ucapan bahwa shalat itu tidak wajib, mengatakan dirinya tuhan, dan sebagainya. Namun, jika mengucapkannya secara tidak sengaja dan tidak ada niat untuk mengucapkannya, atau mengucapkannya karena menceritakan seseorang yang berkata seperti itu, maka tidak di kategorikan murtad.
Pekerjaan kufur
yaitu Segala bentuk pekerjaan yang mengandung kekufuran yang dilakuakan seorang muslim secara sengaja seperti menyembah patung, mengikuti acara peribadatan keagamaan lain dan lainnya. Apabila seseorang dipaksa untuk melakukan pekerjaan kufur seperti penindasan yang dilakukan kelompok mayoritas non-muslim kepada kelompok minoritas muslim, maka melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan kufur secara terpaksa tidak dihukumi murtad karena ada dalil yang menunjukkan hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT:
الا من اكره و قلبه مطمئن بالايمان
Artinya:” Kecuali orang-orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenang dengan keimanan.”[2],
Orang yang telah murtad wajib diminta untuk segera bertaubat (istitabah) serta tidak diperbolehkan menghalang-halanginya untuk kembali memeluk agama Islam. Adapun batasan Waktu untuk orang murtad tersebut jika ingin memohon taubat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi yaitu selama tiga hari. Dengan cara dia mengucap dua kalimat syahadat. Jika dia tidak bertaubat juga maka orang tersebut akan di bunuh.
Para ulama berhujjah dengan khabar yang diriwayatkan oleh Imam Buhkhari
من بدل دينه فاقتلوه فاذا اسلم صح اسلامه و ترك
Artinya: ”barang siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka kalian bunuh orang tersebut, apabila dia masuk Islam maka sah Islamnya dan batal membunuhnya” (H.R Bukhari).[3]
Adapun kriteria pelaksanaanya menurut imam Al-Baijuri yaitu:
- Apabila orang murtad tersebut golongan orang merdeka maka Yang mengeksekusinya harus seorang imam atau wakilnya dalam nash lain dikatakan hakim atau wakilnya.
- Sebaiknya Orang tersebut dieksekusi penggal (lehernya ditebas) tidak dibakar atau semisalnya
- Apabila orang murtad tersebut golongan budak, maka boleh tuannya untuk membunuhnya menurut qaul ashah
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman bagi seorang wanita yang murtad setelah dipintai untuk bertaubat. Apakah hukumnya disamakan dengan laki-laki yaitu dibunuh selama dia tidak bertaubat atau hukuman yang lainnya.
- Sebagian Jumhur Ulama berpendapat bahwa tetapi dibunuh karena mereka berhujjah dengan keumuman hadits yang diriwayatkan Imam Buhkhari.[4]
- Menurut Imam Abu Hanifah tidak dibunuh karena perempuan tersebut disamakan dengan wanita kafir asli.
- Adapun pendapat yang syadz (menyimpang) tetap dibunuh meskipun dia sudah masuk Islam.
Adapun hukum memandikan, mengafankan, menshalatkan, dan menguburkan dipemakaman orang Islam itu tidak wajib bagi seorang muslim karena sebab kemurtadan tersebut.[5]
[1] Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiah Baijuri Ala Fathil Qaribil Mujib, Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2007, Cetakan pertama, Jilid 2, Hal 500
[2] An-Nahl ayat 106
[3] Abu Bakar Utsaman Bin Muhammad Syatha, I’anah At-thalibin, Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2012, Jilid 4, Hal 225
[4] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, Kairo: Darul Hadits, 2004, jilid 6, hal 169
[5] Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiah Baijuri Ala Fathil Qaribil Mujib, Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2007, Cetakan pertama, Jilid 2, Hal 504