Bantahan Metode Kritik Hadis Orientalis Common Link

Majalahnabawi.com – Ilmuwan-Ilmuwan orientalis barat terbagi menjadi 4 macam berdasarkan fase pemikiran yang mereka kembangkan dalam meneliti kajian keislaman. Pertama yaitu ilmuwan skeptisme barat awal yang berusaha meragukan keaslian hadis berdasarkan argument pemalsuan dalam periwayatannya. Kedua, ilmuwan skeptisme barat yang menjawab kritik dan tuduhan para revisionis barat terhadap hadis. Ketiga, ilmuwan dengan paradigma revisionis dan ilmuwan paradigma tradisionalis atau lebih terkenal dengan ilmuwan yang memilih jalan tengah. Keempat, ilmuwan Neo-Skeptisisme barat, daru beberapa ilmuwan tersebut terdapat seorang tokoh bernama Norman Calder yang mengkritik metode common link yang dicetuskan para ilmuwan orientalis sebelumnya, namun bagaimanakah pemikiran Norman Calder ini?

Biografi Norman Calder

Norman Calder lahir di Buckie, Skotlandia pada tahun 1950. Norman Calder melanjutkan studinya di Wadham College, Oxford pada tahun 1969. Ia menerima Penghargaan pertamanya dalam bahasa Arab dan Persia pada tahun 1972. Dia kemudian menghabiskan empat tahun untuk mengajar bahasa Inggris di Timur Tengah. Setelah kembali dari Timur Tengah,ia masuk School of Oriental and African Studies (SOAS) sebagai mahasiswa pascasarjana di bawah arahan John Wansbrough. Disertasinya yang berjudul “Struktur Kewenangan dalam Fikih Imam Syi’ah” merupakan sebuah karya yang mengesankan. Karya ini terus menjadi rujukan oleh para ulama syi’ah hampir dua puluh tahun setelah ia menyelesaikan studi doktoralnya. Dia secara khusus tertarik pada hubungan antara epistemologi dan autoritas sebuah teks atau naskah.

Calder menjadi dosen senior di Universitas Manchester dalam bidang bahasa Arab dan Studi-studi Keislaman. Pada saat kematiannya pada 13 Februari 1998, dalam usia 47 tahun, ia merupakan salah satu ilmuwan terkemuka di bidang yurisprudensi islam dan hermeneutika. Hingga kematiannya, Norman Calder adalah ulama yang paling banyak orang membicarakannya dan  terkemuka di bidang  hukum  Islam. Hal ini terjdi karena karya akademisnya yang berjudul “Studies in Early Islamic Jurisprudence” (Oxford, 1993) yang dengan berani menantang  berbagai teori para ahli hukum Islam mengenai asal usul hukum Islam. Meskipun dia menderita penyakit kronis sebelum kematiannya, dia tidak pernah menyerah pada rasa sakit yang dia derita. Berbagai kegiatan akademis seperti membaca, meneliti, dan menulis ia lanjutkan hingga  kematiannya. Pikirannya yang tajam tetap tidak berkurang meskipun tubuh dan kondisi tubuhnya semakin lemah.

Kritikan Norman Calder terhadap Common Link

Seperti halnya orientalis Neo-Skeptisisme lainnya, Norman Calder juga meragukan validitas  metode common link  dan informasi historis yang ia berikan. Kajian Calder yang mendasar pada analisis sastra terhadap teks-teks fikih yang paling mendasar, lalu dengan pembahasan umum fikih Islam pada awal abad Hijriah. Calder menunjukkan bahwa dalam salinan teks yang hadir dengan bahasa yang diungkapkan dalam riwayat hadis, seperti ḥaddatsa, qala, dan akhbara, menjadi saksi adanya aktivitas lisan yang signiikan dalam periwayatan hadis.

Sebagai contoh ketika dua murid berada pada majlis yang sama dengan guru yang sama pula, sangat mungkin bahwa dua murid pada majlis yang sama ini akan membuat catatan berbeda. Mereka merekam ucapan guru mereka dan menuliskannya dengan kata-kata mereka sendiri. Bahkan mungkin mereka membaca kembali catatan-catatan yang berbeda itu di hadapan guru mereka dan kemudian mendapat persetujuannya. Akhirnya, mereka menyimpan dan meriwayatkan catatan-catatan tersebut, bukan buku dari guru mereka. Otoritas atau cara periwayatan semacam inilah yang akhirnya menimbulkan sebuah teks tertentu yang kemudian disandarkan kepada seorang guru yang disebutkan namanya. Antara buku catatan yang pertama dan teks tertentu mengalami beberapa tahapan. Oleh karena itu, menurut Calder, yang memproduksi buku-buku catatan ini adalah para murid, bukan para guru.

Skenario Penyebaran Teks

Calder mengunakan penjelasan teori penyebaran teks ini sebagai latar belakang bagi upayanya untuk menunjukkan bahwa matan hadis yang sama, yang memiliki seorang common link bukan karena periwayat yang menyebar luaskan hadis itu hadis berperan sebagai common link (atau beberapa muridnya), melainkan sebagai akibat dari sebuah skenario penyebaran suatu teks. Oleh karena itu, Calder mengingkari penggunaan metode common link itu untuk mengetahui penanggalan hadis. Baginya, fenomena common link sebagai satu ciri yang terdapat dalam literatur hadis sangat terkait dengan metode kritik isnad yang berlaku di kalangan para ahli hukum dan yang lainnya pada paro abad kedua dan ketiga Hijriah

Adapun skenario penyebaran suatu teks adalah sebagai berikut: jika ada sebuah teks (matan) hadis yang beberapa kelompok yang berbeda dalam Islam menerimanya, masing-masing kelompok cenderung mencari matan hadis yang orisinal dan memberinya isnad yang mendukung pembenaran klaim derajat shohih dari kelompok mereka. Akan tetapi, karena hampir semua kelompok mengakui dan mengenal para sahabat yang umum pada masa nabi dengan kepercayaan bahwa setiap sahabat tidak akan mendustakan hadis nabi maka biasanya pada level tabi’in, isnad cenderung mulai mengalami kritik. Sehingga, periwayat ketiga atau keempat yang berperan sebagai periwayat dari common link-nya.

Spesifikasi Skenario Penyebaran Teks

Secara lebih khusus Calder menjelaskan, skenario semacam ini dapat terlihat ketika ada kompetisi antara berbagai kelompok. Yang mana masing-masing terlibat dalam proses kritik isnad satu sama lain. Satu kelompok senantiasa memperbaiki periwayat yang lemah dan mencoba mengemukakan isnad yang berbeda. Sehinggakelompok lain menyerah untuk mengkritik kualitas hadis tersebut. Dengan demikian, kelompok yang ingin menerima hadis tersebut bereaksi dengan cara memproduksi isnad-isnad baru. Dan di mana para periwayat lain yang lebih terpercaya menggantikan periwayat yang diserang oleh kelompok lain. Jika isnad-isnad ini mardud lagi, maka munculah isnad-isnad baru untuk memperbaikinya. Sebaliknya, kelompok yang menolak hadis tersebut juga memalsukan hadis dengan memakai periwayat-periwayat lemah di mana setelah itu mereka mengkritiknya.

Akibatnya, pro dan kontra kritik isnad terarahkan kepada para periwayat lemah. Yang mana mereka berada pada generasi ketiga atau keempat yang terdapat dalam isnad hadis. Hal ini, menurut Calder, menyebabkan terjadinya fenomena common link yang sebenarnya tidak menunjukkan asal-usul matan sebuah hadis. Akan tetapi lebih merefleksikan proses kritik isnad dan kompetisi antar berbagai kelompok Islam pada paroh kedua abad ketiga atau sesudahnya. Bagi Calder, common link dalam faktanya bukan orang yang memalsukan atau menyebarkan hadis, melainkan seorang tokoh terdahulu sebelum tokoh yang menjadi fokus pertikaian dalam kritik isnad satu sama lain. Meskipun demikian, Calder tidak beranggapan bahwa metode common link.

Similar Posts