Belajar Kerukunan Agama dari Nabi (Bag-2)
Salam kepada Non Muslim
Al-Imam Muslim rahimahullah membuat bab khusus dengan judul an-nahy ‘an ibtida’I ahlil kitab bi as-salam wa kaifa yaruddu ‘alaihim (bab larangan mengawali salam kepada ahli kitab dan cara menjawab salam mereka). Dalam bab ini, beliau menyantumkan sebelas hadis yang berisikan larangan mengawali salam, cara menjawab salam mereka, dan alasan mengapa cara menjawab tersebut muncul.
Tentang mengucapkan salam kepada non muslim, Nabi saw. melarang menggunakan redaksi yang digunakan untuk sesama muslim, assalamu alaikum. Pandangan yang tidak merestui salam Islam kepada non muslim semacam ini merupakan pendapat mayoritas ulama fiqh dan hadis. Sedangkan minoritas ulama mengizinkan seorang muslim mengawali salam kepada non muslim (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 25/168). Argumentasi para ahli tersebut ialah hadis riwayat Muslim,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
Jangan memulai salam kepada orang yahudi dan nasrani.
Hadis di atas muncul dalam konteks saat antara muslim dan non muslim Madinah sedang bersitegang. Dibutuhkan sikap yang tegas sebagai bentuk hukuman kepada mereka yang membangkang terhadap kesepakatan. Lantas, apakah dengan potongan hadis saja dapat digeneralisir dalam seluruh kondisi? Di sinilah pro-kontra itu muncul.
Namun, terlepas dari pro kontra di atas, Nabi mengajarkan cara lain dalam menghormati mereka dengan menggunakan redaksi salam lain. Seperti dapat dibaca dalam surat-surat beliau kepada raja-raja sekitar Arab. Beliau senantiasa mengawali dengan salamun ‘ala man ittaba’a al-huda (semoga keselamatan terlimpah kepada orang-orang yang mengikuti petunjuk) (Ali Mustafa Yakub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 181-203). Dengan demikian, pada dasarnya yang tidak dibolehkan hanyalah menggunakan salam Islam kepada mereka. Cara salam Nabi kepada non muslim dapat dilihat hadis berikut, (Sahih Muslim, 5/163)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ وَأَسْلِمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ وَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ وَ (يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ(
Dengan menyebut nama Allah yang pengasih lagi maha penyayang. Dari Muhammad, utusan Allah kepada Hiraklius penguasa Romawi. Salam sejahtera semoga terlimpah kepada orang yang mengikuti petunjuk Allah. Amma ba’d. Aku mengajak Anda dengan ajakan Islam. Masuklah Anda ke dalam agama Islam, maka Anda akan selamat dan Allah akan memberikan Anda pahala dua kali. Apabila Anda menolak, maka Anda harus menanggung dosa para petani. “Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’”
Di sini, Nabi mengucapkan salam kepada Hiraklius, kaisar romawi yang Nasrani. Mungkin cara inilah yang patut diteladani dari beliau. Sedangkan cara menjawab salam non muslim ialah dengan mengatakan, ‘alaikum’ Seperti diriwayatkan al-Imam Muslim (Sahih Muslim, 7/3).
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ
“Dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Bila Ahli Kitab mengucapkan salam kepada kalian, balaslah wa a’laikum’
Hadis di atas muncul disebabkan orang-orang Yahudi tidak sopan ketika mengucapkan salam kepada Nabi. Mereka mengatakan as-samu a’laikum (semoga kehancuran menimpamu). Hal ini dijawab Nabi dengan mengatakan wa ‘alaikum (dan semoga menimpa kalian pula). Nabi tidak mengizinkan balasan yang lebih keras. Seperti diriwayatkan oleh al-Imam Muslim,
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتِ اسْتَأْذَنَ رَهْطٌ مِنَ الْيَهُودِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ بَلْ عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِى الأَمْرِ كُلِّهِ. قَالَتْ أَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ.
Dari Urwah dari Aisyah dia berkata, “Sekelompok orang Yahudi meminta izin bertemu Rasulullah saw. mereka mengatakan, ‘as-Samu ‘alaikum (kematian menimpamu)’. Kemudian Aisyah membalas, ‘bal ’alaikum as-sam wa al-la’nah (semoga kematian dan laknat berbalik menimpa kalian). Rasulullah saw. menegur, ‘Aisyah, Allah menyukai kelembutan dalam segala urusan.’ Aisyah berkata, ‘Apakah anda tidak mendengar ucapan mereka?’ Nabi saw. berkata, ‘Aku telah membalas dengan mengatakan ‘wa ‘alaikum’.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kejadian itu merupakan asbabun nuzul QS. Al-Mujadilah:8,
وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّه
dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu
(QS. Al-Mujadilah:8)
Riwayat lain menyebutkan bahwa alasan Nabi bersikap lembut tersebut disebabkan doa orang beriman pasti dikabulkan. Sedangkan tidak demikian dengan doa orang kafir. Seburuk apapun doa yang diucapkan mereka, toh Allah tidak akan mengabulkannya. Dan sekalipun doa yang dipanjatkan seorang mukmin sangat ringkas, Allah sudah berjanji akan mengabulkan. Inilah pelajaran berharga yang dapat diambil dari peri-kehidupan Nabi saw.
Menghormati Jenazah non Muslim
Dalam satu hadis diriwayatkan bahwa Nabi memerintahkan sahabatnya untuk berdiri ketika sekelompok orang membawa jenazah ke pemakaman. Bukan untuk jenazahnya, tapi untuk menghormati malaikat yang datang bersama jenazah tersebut (Kanz al-‘Ummal Fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al, 15/594).
إِذَا مَرَّتْ عَلَيْكُمْ جَنَازَةُ مُسْلِمٍ أَوْ يَهُوْدِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ فَقُوْمُوْا لَهَا، فَإِنَّا لَيْسَ لَهَا نَقُوْمُ إِنَّمَا نَقُوْمُ لِمَنْ مَعَهَا مِنَ الْمَلَائِكَةِ
“Ketika kalian bertemu jenazah muslim, yahudi atau nasarani, berdirilah. Kita tidak berdiri karena jenazah itu, tapi karena malaikat yang datang menyertainya.”
عَنْ عَبْدِ الله بْن عَيَّاش بْنِ أَبِيْ رَبِيْعَةَ قَالَ : مَا قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتِلْكَ الْجَنَازَةِ إِلَّا أَنَّهَا كَانَتْ يَهُوْدِيَّةً فَأَذَاهُ رِيْحُ بُخُوْرِهَا فَقَامَ حَتَّى جَازَتْهُ.
Dari Abdullah bin Ayyasy bin Abi Rabi’ah yang berkata, “Rasulullah tidak berdiri untuk jenazah tersebut kecuali karena jenazah itu adalah perempuan Yahudi. Bau bukhur jenazahnya sampai ke hidung Nabi kemudian beliau berdiri.”