Benarkah Abu Hurairah Seorang Pendusta?
Majalahnabawi.com – Sebuah hadis baru bisa diamalkan ketika lulus dalam tahapan penelitan autentisitas dan otoritasnya. Penelitian atas autentisitas hadis biasa disebut kritik hadis (naqd al-Hadis). Sementara penelitian atas otoritas hadis, bisa disebut syarh al-Hadis, atau fiqh al-Hadis, atau ma’an al-Hadis. Autentisitas hadis berbicara terkait shahih dan tidaknya sebuah hadis. Sedangkan otoritas berbicara terkait boleh dan tidaknya sebuah hadis diamalkan.
Salah satu bentuk penelitian dalam autentisas hadis adalah keadilan (moral) dan kedhabitan (kecerdasan) para perawi hadis, yang dikenal dengan ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Berbicara seputar keadilan perawi, jumhur Muslimin sepakat atas keadilan para sahabat berdasarkan ta’dil (penilaian) Allah dan Rasulnya. Namun kredibilitas sahabat ini, kemudian diragukan atau bahkan dihancurkan oleh tokoh-tokoh orientalis dan cendekiawan-cendekiawan muslim kontemporer. Salah satu titik utama yang menjadi sasaran mereka adalah Abu hurairah, sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadis.
Ketika kredibilitas sahabat dihancurkan maka konsekuensinya adalah tertolaknya semua periwayatannya, bahkan hukum syariat yang dibangun atas landasan riwayat tersebut diragukan. Sebagaimana pepatah arab mengatakan “Iqta al-ashlu fa saqatha al-far’u” (Tebanglah pohonnya maka runtuhlah dahannya). Maka ketika kredibilitas Abu Hurairah diragukan, runtuhlah bangunan-bangunan syariat yang dilandaskan pada periwayatan beliau.
Abu Hurairah Sang Perawi Islam
Sebagai Sahabat Nabi yang masuk Islam pada tahun ke 7 Hijriyah, Abu Hurairah dikenal sebagai sahabat yang paling banyak dalam meriwayatkan hadis. Beliau meriwayatkan 5374 Hadis, lebih banyak dibanding sahabat Nabi yang yang hidup pada periode awal Islam. Padahal terhitung sejak Abu Hurairah berbaiat masuk Islam sampai wafatnya hanya menjumpai waktu kurang lebih empat tahun. Tapi secara kuantitas periwayatan justru lebih banyak daripada Aisyah istri Nabi Saw.
Secara durasi, kebersamaan Abu Hurairah dengan Rasulullah memang terbilang singkat. Namun dalam empat tahun itu, beliau benar-benar fokus menyertai Nabi. Selama rentang waktu itu, beliau tidak disibukkan dengan hal lain semisal berdagang atau bertani. Sehingga interaksi dengan nabi lebih intens. Selain itu, Abu Hurairah juga dianugerahi ingatan yang kuat, yang telah diberi berkat doa Rasulullah. Tidak hanya itu, ia meyakini bahwa menyampaikan sabda Nabi merupakan sebuah kewajiban.
Tuduhan Orientalis dan Guncangan dari Mesir
Abu Hurairah secara khusus dikritik oleh orang-orang yang anti hadis dan dituduhnya sebagai pemalsu hadis. Begitu juga sahabat lainnya yang dianggap sebagai generasi yang tidak memiliki kredibilitas sebagai seorang rawi dan periwayat hadis. Sebagian dari mereka dikategorikan sebagai seorang pendusta, munafik dan pelaku dosa besar oleh orang-orang yang menentangnya. Dalam upaya menghancurkan kredibilitas perawi Hadis, seringkali orientalis melancarkan tuduhan-tuduhan miring yang berbasis kajian ilmiah. Ignaz Goldziher adalah orang yang disebut-sebut sebagai peleceh Abu Hurairah.
Namun, kritik dan tuduhan yang cukup mengejutkan justru datang dari tokoh intelektual Islam kontemporer dari Mesir. Sebut saja Taha Husein, Ahmad Amin, dan Abu Rayah, kehadiran mereka telah mengguncang kredibilitas para sahabat. Taha Husein yang dijuluki Amid al-Adab al-Arabi (Bapak Sastra Arab), ia menulis buku yang berjudul Fi al-Syi’r al-Jahili yang intinya ia mengingkari bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah. Sementara Ahmad Amin adalah Intelektual Muslim yang banyak menentang agamanya sendiri melalui buku-bukunya yang berjudul Fajr al-Islam, Dhuhr al-Islam dan Dhuha al-Islam. Sedangkan Abu Rayyah lebih populer sebagai tokoh Ingkar Sunnah, karena lewat bukunya Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah ia berusaha memisahkan sunah dari agama Islam.
Abu Hurairah hendak digoyahkan kredibilitasnya karena beliau adalah orang yang paling banyak menerima Hadis dari Nabi Saw. Sehingga apabila kredibilitas Abu Hurairah diragukan, maka konsekuensinya adalah tertolaknya semua periwayatan beliau. Akhirnya bangunan-bangunan syari’at yang dicetuskan melalui periwayatan beliau juga mengalami penolakan
Riwayat Abu Hurairah yang Dipermasalahkan dan Pembelaannya
Orang-orang yang mengedepankan hawa nafsunya, baik klasik maupun kontemporer, melancarkan tudingan-tudingan miring demi terbebas dari hadis-hadis yang mengganggu kepentingan nafsu mereka. Mereka melontarkan tudingan kepada Abu Hurairah dengan memunculkan riwayat-riwayat palsu, lemah, atau dengan memelintir riwayat shahih melalui penakwilan-penakwilan yang batil. Diantara tuduhan miring yang dilontarkan kepada Abu Hurairah adalah sebagai berikut:
Pertama, perkataan Abu Hurairah yang berbunyi:
«حفظت من رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم وعاءين، فأمّا أحدهما فبثثته وأمّا الآخر فلو بثثته قطع هذا البلعوم»
”Aku menghafal dari Nabi Saw dua bejana ilmu, satu bejana aku sampaikan sedangkan yang lainya kusembunyikan. Seandainya ia kusebarkan niscaya terputuslah tenggorokan ini”(HR. Bukhari).
Terkait hadis ini mereka menuding bahwa jika memang hadis ini shahih, itu artinya Nabi Saw telah menyembunyikan wahyu Allah Swt kepada para sahabat selain Abu Hurairah. Berdasarkan ijma’ hal itu tidak diperbolehkan. Dalam Hadis ini ini tidak terdapat informasi yang mengatakan Rasulullah hanya mengkhususkan Abu Hurairah dengan bejana ilmu yang satu lagi tanpa memberitahu sahabat lain. Artinya tidak ada tindakan penyembunyian wahyu untuk disampaikan kepada orang banyak.
Ibnu Katsir menjelaskan:”Bejana ilmu yang diterangkan adalah informasi mengenai peperangan, fitnah, dan pertumpahan darah yang terjadi diantara manusia”. Jadi informasi ini tidak ada kaitannya dengan ushul (pokok) dan furu’(cabang) agama. Maka sah sah saja Nabi Saw menyampaikannya secara khusus kepada seseorang.
Kedua, Terkait kejujuran Abu Hurairah dalam riwayatnya dari Nabi yang berbunyi:
«من أدرك الصّبح وهو جنب فلا يصم»
“Barang siapa yang mendapati waktu shubuh dalam keadaan junub, maka janganlah berpuasa”.)HR. An-Nasai).
Lalu hadis ini difatwakan Abu Hurairah kepada orang banyak, hingga beritanya sampai kepada Aisyah dan Ummu Salamah. Lantas keduanya mengingkari hadis tersebut dan mengatakan:
«أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم «كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ» مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ فَيَصُومُ»
“Sesungguhnya Rasulullah Saw mendapati waktu shubuh dalam keadaan junub karena berhubungan dengan salah satu istrinya, lalu beliau mandi wajib dan berpuasa”(HR. At-Tirmidzi).
Lalu pertanyaannya, apakah Abu Hurairah berbohong dengan riwayatnya, karena istri-istri Nabi tentunya lebih mengetahui terkait masalah tersebut dibandingkan kaum lelaki?
Jawaban: Abu hurairah sendiri tidak langsung mendengarkan hadis langsung dari Nabi Saw,melainkan dari Fadhl dan Usamah dari Nabi Saw, kedua sahabat tersebut tergolong jujur dan amanah. Akan tetapi ketika Abu Hurairah mendapatkan Hadis yang lebih rajih yang dikemukakan oleh Aisyah dan Ummu Salamah, maka beliau langsung merujuk kepada hadis tersebut dan mencabut fatwanya. Hal ini sebagai wujud nyata bahwa Abu Hurairah mengikuti dasar yang lebih benar.
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Fadhl dan Usamah para ulama memberikan beberapa penjelasan, diantaranya:
1. Hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, jadi tidak lagi diamalkan dan beralih kepada yang lebih rajih.
2. Hadis tersebut masih dalam permulaan diwajibkannya puasa, yaitu di kala makan,minum dan jima’ diharamkan setelah bangun tidur.
Ketiga, Tudingan mereka yang mengatakan bahwa Abu Hurairah melakukan perbuatan tadlis, di mana ia meriwayatkan dari Nabi Saw namun tidak mendengar langsung dari Nabi. Contohnya hadis diatas yang mana Abu Hurairah mendapatkan hadis tersebut dari Fadhl dan Usamah, namun beliau langsung mengatakan dari Rasulullah. Bukankah tadlis adalah akhul kadzib (saudara kebohongan)?
Jawaban: Bahwa Abu Hurairah tergolong sahabat yang terlambat masuk islam. Maka untuk mendapatkan hadis lebih banyak harus bertanya kepada para sahabat yang mendengar langsung dari Nabi Saw. Adapun pebuatan Abu Hurairah yang menghapus sahabat yang ia meriwayatkan darinya, maka tidak bisa dikategorikan sebagai tadlis. Karena sahabat berdasarkan ijma’ ulama telah dinyatakan seabagai orang-orang yang adil. Wallahu A’lam.