Berdusta Untuk Rasulullah Saw.
Majalahnabawi.com – Tulisan ini mengulas pendapat para cendikiawan Mesir dan sangkalan Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi terhadap pendapat-pendapat kaum sufaha’ yang telah menyimpang dalam memahami hadis “man kadzaba”. Sebagaimana ulasan ini sudah dijelaskan secara gamblang oleh Gauthier H. A. Juynboll dalam karyanya The Authenticity of Tradition Literature: Discussions in Modern Egypt (Kontroversi Hadis di Mesir)
Sahabat Mereka-Reka Hadis
Juynboll menjelaskan bahwa Muhammad ‘Abduh pernah menulis sebuah artikel dalam al-Manar tentang pemalsuan yang banyak terdapat dalam sebagian besar literatur. Ia menyesalkan hal ini, namun menyatakan bahwa kebiasaan berdusta tentang perbuatan luar biasa nabi Muhammad Saw., merupakan sesuatu yang umum di sepanjang masa-masa awal Islam. Kemudian dia mengutip sebuah hadis yang memperlihatkan bahwa nabi Muhammad Saw., sepenuhnya sadar bahwa orang-orang sibuk menisbahkan berbagai hal yang mereka ciptakan sendiri kepada dirinya. Hadis ini berbunyi sebagai berikut:
من كذب عليَّ متعمدًا فيلتبوأ مقعده من النار
Artinya: “Barangsiapa berdusta atas diriku secara sengaja, hendaklah dia bersiap-siap menempati tempatnya di neraka”.
Tampaknya ‘Abduh tidak menangkap arti hadis seperti itu. Bagaimanapun juga, dia tidak menguraikannya dengan panjang lebar. Kata-kata: “…berdusta atas diriku” dapat menunjukkan bahwa Nabi Saw., telah melihat kebiasaan berdusta yang terjadi di sekitar Nabi. Jika ada orang modernis yang menafsirkan hal ini sebagai kebiasaan berdusta yang dilakukan sahabat, maka tentu saja itu akan ditolak oleh kaum sunni dengan argumen bahwa kebiasaan berdusta ini tentu datang dari setiap orang kecuali para sahabat.
Ahmad Amin mengutip hadis “man kadzaba” dan menambahkan pernyataan bahwa tadwin (pembukuan) yang tertunda itu bersama penekanan pada daya ingat manusia dan merangsang terjadinya perbuatan mereka-reka hadis, bahkan ketika Nabi Saw., masih hidup. As-Siba’i menyerangnya, meskipun perbuatan mereka-reka hadis ini bisa saja dilakukan oleh orang-orang kafir. Ini merupakan suatu anggapan yang secara otomatis akan membebaskan para sahabat dari kecurigaan.
As-Siba’i menyatakan bahwa telah dibuktikan dalam sejarah bahwa para sahabat tidak pernah mereka-reka hadis nabi saw, dan bahwa jika seorang atau beberapa sahabat telah mereka-reka hadis nabi saw. maka akan timbul badai protes dari sahabat-sahabat lain. Suatu protes yang tentu akan disebutkan dalam sumber-sumber historis. “Bayangkan, mana mungkin seorang sahabat berdusta!” seru As-Siba’i “mereka sedemikian berkeinginan menggambarkan segala sesuatu tentang nabi Muhammad saw. dengan benar, sehingga mereka bahkan sampai menghitung jumlah uban di jenggotnya!“.
Alasan utama kenapa nabi saw. memperingatkan umatnya dengan perkataan ini bukanlah bahwa nabi saw. telah menyaksikan kepalsuan dalam diri sahabat-sahabatnya, namun bahwa nabi saw. berkeinginan agar sunnahnya dapat sampai ke generasi-generasi berikutnya dalam keadaan tidak terdistorsi.
Berdusta demi Kebaikan, Bukan untuk Merugikan
Abu Rayyah memberikan keterangan yang sepenuhnya baru mengenai hadis “man kadzaba” tersebut. Dia menyatakan bahwa kata “muta’ammidan” yaitu dengan se- ngaja, tidak terdapat dalam versi-versi yang sampai kepada kita dari sahabat-sahabat besar yang di antaranya adalah tiga dari empat Khalifah Rasyidun, yaitu sahabat-sahabat seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah dan lainnya yang meriwayatkan perkataan ini dengan kata muta’ammidan.
Abu Rayyah mengatakan bahwa kata itu dapat dimasukkan dengan cara idraj (yang membuat hadis menjadi lemah). Alasan untuk berbuat demikian kiranya adalah untuk membebaskan sahabat-sahabat dari tuduhan, karena dengan tak sengaja telah mereka-reka sabda-sabda nabi Muhammad saw, atau mereka yang telah mereka-reka hal-hal tentang nabi Muhammad saw. dengan alasan memajukan jalan Islam dengan kata lain, bukan untuk merusaknya. Abu Rayyah mengutip sebuah riwayat yang menjelaskan bagaimana orang-orang ini membela diri: “Kami berdusta demi kebaikanmu, bukan untuk merugikanmu”.
Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan hal yang selaras mengenai hadis man kadzaba ini di dalam bukunya Kayfa Nata’amal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah dengan menyebutkan seorang mufassir pengarang Ruh al-Bayan (Ismail Haqqi),, ia menceritakan seorang laki-laki dari kalangan zuhhad (sufi yang menjalani hidup berzuhud) mendapat tugas mengarang atau mengada-adakan hadis-hadis tentang keutamaan al-Qur’an dan masing-masing surahnya. Ketika ditanyakan kepadanya: “Mengapa anda mau melakukannya?”, ia menjawab: “Saya melihat orang-orang mengabaikan al-Qur’an, dan karena itu saya ingin mendorong mereka agar membacanya”. Kemudian dikatakan kepadanya: “Nabi saw. Pernah bersabda ‘Barang siapa dengan sengaja mengucapkan kebohongan tentang diriku, hendaknya ia bersiap-siap menghuni tempatnya di neraka’!”. Maka orang itu menjawab: “Saya tidak berdusta ‘tentang’ beliau, tetapi saya berdusta ‘untuk’ beliau”.
Maksudnya, melakukan kebohongan tentang beliau mengakibatkan kehancuran tiang-tiang penyangga Islam serta perusakan syariat dan hukum-hukum agama. Namun, tidak demikian halnya apabila melakukan kebohongan “untuk” nabi saw. Sebab, hal itu dimaksudkan untuk mendorong orang agar mau mengikuti syariat beliau serta menapak jejak beliau dalam cara hidupnya. Tentang hal ini, Syekh Izzuddin Abd as-Salam berkata: “Berbicara adalah suatu cara untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan baik yang dapat dicapai dengan ucapan yang benar maupun yang bohong, maka kebohongan dalam hal itu haram. Namun, jika tujuan itu hanya dapat dicapai dengan kebohongan saja dan tidak dengan kebenaran, maka kebohongan dalam hal ini adalah mubah, sepanjang tujuannya mubah. Dan wajib, sepanjang tujuannya wajib”.
Sungguh kita tidak dapat berbuat apa-apa selain mengucapkan “la haula wa la quwwata illa billah” ujar Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi.
Benar-benar kita merasa sangat heran karena timbulnya ucapan seperti ini dari seorang yang memasukkan dirinya ke dalam kelompok para mufassir kitab Allah, dan yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai seorang faqih dan ahli usul. Apa gerangan atas ilmu yang dikuasainya, sedangkan ia tidak mengerti tentang hal-hal mendasar bagi para ulama muhaqqiqin?.
Yang Sempurna Tidak Perlu Disempurnakan Lagi
Rupanya mufassir yang berkecenderungan tasawuf ini tidak mengerti bahwa Allah Swt. telah menyempurnakan agama ini bagi kita dan telah mencukupkan nikmat-Nya bagi kita, sehingga kita tidak lagi memerlukan orang yang akan menyempurnakannya lagi. Yaitu dengan mengarang sejumlah hadis dari kepalanya sendiri. Seakan-akan ia hendak melengkapi kekurangan agama Allah atau menanam budi pada diri nabi Muhammad saw. Dengan berkata kepada beliau: “Saya berbohong untuk kepentingan, demi menyempurnakan agamamu yang belum lengkap, dan menutup celah-celah yang ada padanya, yaitu dengan cara mengarang hadis-hadis tertentu”.
Ucapan Syekh Izzuddin Abd as-Salam sebetulnya dimaksudkan untuk topik di luar ini, yaitu dalam keadaan-keadaan tertentu di mana orang dibolehkan berbohong seperti dalam peperangan atau demi mendamaikan antara dua orang, menyelamatkan orang yang tak bersalah dari kejaran seorang zalim. Bagaimana mungkin sesuatu yang telah sempurna ditambah dengan sesuatu yang belum sempurna. Ibarat bangunan yang kokoh nan indah ditambah dengan batu bata kecil pada dindingnya, maka sudah pasti kelihatan cacat pada bangunan tersebut.
Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa semua perbuatan baik yang hendak dianjurkan dengan menggunakan hadis-hadis palsu, demikian pula semua perbuatan buruk yang hendak dicegah dengan hadis-hadis seperti itu pada hakikatnya dapat cukup terlaksana dengan menggunakan hadis-hadis yang shahih ataupun yang hasan. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam hal ini. Oleh sebab itu, kebohongan mengenai ini dipastikan haram hukumnya. Bahkan, termasuk dosa-dosa besar.