Bolehkah Salat di Atas Kendaraan?
Salat adalah rukun Islam yang menjadi barometer dari ibadah manusia dan merupakan amal pertama yang akan dihisab kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِر
“Sesungguhnya amal pertama seorang hamba yang akan dihisab pada Hari Kiamat adalah salat. Jika salatnya baik maka ia beruntung, dan jika rusak maka ia celaka dan rugi (HR Tirmidzi 413).
Dalam Islam ibadah ini dikenal dengan ibadah yang tak kenal kata toleran, selagi masih muslim wajib hukumnya kapanpun dan dimanapun. Lalu bagaimana jika dalam perjalanan? Bolehkah salat di atas kendaraan? Nabi Muhammad SAW pernah melakukannya, riwayat tentang masalah tersebut banyak kita dapati dalam beberapa kitab Hadis, salah satunya yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:
أَنَّ عَامِرَ بْنَ رَبِيعَةَ أَخْبَرَهُ، قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ، يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ، وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلاَةِ المَكْتُوبَةِ
Amir bin Rabiah (w. 37 H) menceritakan bahwa ia pernah melihat Rasulullah SAW. salat di atas kendaraan, berisyarat dengan kepalanya (ketika hendak rukuk dan sujud) seraya menghadap kemana saja, dan hal itu tidak dilakukan Rasulullah SAW. pada salat fardu. (HR. Bukhari 1097)
Salat yang dilakukan Rasulullah SAW adalah salat sunah, penjelasan ini didapat dari kitab Irsyadus Sari ketika al-Qasthallani (w. 923 H) menjelaskan lafal يُسَبِّحُ. Ibnu Hajar al-Asqallani (w. 852 H) dalam kitab Fathul Baari memberikan penjelasan tentang bab dari Hadis ini dengan mengutip perkataan Ibnu Batthal (w. 449 H) bahwa Ulama sepakat untuk salat fardu harus turun dari kendaraan dan tidak boleh bagi seseorang salat fardu dia atas kendaraan tanpa uzur.
Imam al-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan bahwa ulama telah sepakat bahwa salat fardu harus menghadap kiblat dan tidak boleh dia atas hewan (kendaraan). Dan menurut mazhab Syafi’i salat fardu di atas kendaraan diperbolehkan jika memungkinkan menghadap kiblat, berdiri, rukuk dan sujud. Tentunya juga jika ada syarat harus dilaksanakan secara sempurna maka sucinya tempat untuk sujud juga menjadi syarat. Lalu bagaimana jika tidak? Imam al-Nawawi melanjutkan penjelasannya:
تَصِحُّ كَالسَّفِينَةِ فَإِنَّهَا يَصِحُّ فِيهَا الْفَرِيضَةُ بِالْإِجْمَاعِ وَلَوْ كَانَ فِي رَكْبٍ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِلْفَرِيضَةِ انْقَطَعَ عَنْهُمْ وَلَحِقَهُ الضَّرَرُ قَالَ أَصْحَابُنَا يُصَلِّي الْفَرِيضَةَ عَلَى الدَّابَّةِ بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ وَتَلْزَمُهُ إِعَادَتُهَا لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ
Salat fardu itu sah apabila dilaksanakan di bahtera, karena ini berlandaskan ijma’ sekalipun dilakukan di atas kendaraan, dan apabila ditakutkan jika berhenti untuk melaksanakan salat fardu akan tertinggal atau terjadi kemudaratan, maka menurut ulama mazhab Syafi’i salatnya sesuai dengan kemampuan dan wajib mengulanginya, karena itu adalah uzur yang jarang terjadi.
Ada beberapa poin hukum atau tata cara salat di atas kendaraan. Pertama, salat yang diperbolehkan di atas kendaraan adalah sunah bukan fardu. Kedua, salat sunah bisa dilaksanakan dengan cara menggunakan isyarat kepala ketika mau rukuk dan sujud. Ketiga, ulama sepakat memperbolehkan salat fardu di atas bahtera. Dan yang keempat, salat fardu di atas kendaraan diperbolehkan karena adanya uzur dengan catatan menggatinya (mengqadha).
Wallahu a’lam bis showab