Bolehkah Terjadi Dua Salat Jum’at di Satu Desa?
Majalahnabawi – Berangkat dari sebuah cerita yang sudah lama terselip di benak saya. Jadi kronologinya begini, ada suatu desa, sebut saja desa “K” dengan wilayah yang cukup luas serta mempunyai banyak penduduk. Desa tersebut memiliki dua julukan yang sudah terkenal di telinga para penduduknya, katakan saja julukannya dengan “kubuh barat” dan “kubuh timur”.
Dalam kediaman kubuh barat terdapat sebuah masjid yang sudah cukup lama berdiri. Masjid tersebut merupakan masjid yang bisa dikatakan elok, besar serta dapat menampung lebih dari 100 orang. Masjid tersebut tidak serta-merta langsung bisa dibangun dengan sekejap, namun banyak perjalanan panjang yang telah dilalui sehingga bisa terbangun dengan sempurna.
Tatkala hari jum’at datang, para kaum lelaki akan berbondong-bondong untuk menunaikan salat jum’at berjamaah di masjid kubuh barat tersebut. Tak hanya masyarakat dari kubuh barat yang melaksanakan sholat di masjid itu, tapi masyarakat kubuh timur juga ikut serta menunaikan salat jum’at di sana.
Permulaan Munculnya Hajat
Selang beberapa tahun semenjak masjid kubuh barat berdiri, dari pihak kubuh timur mulai timbul pemikiran yang tidak-tidak terhadap masjid yang ada di kubuh barat. Mulai dari mereka yang merasa capek mau ke masjid di kubuh barat dengan alasan agak jauh menuju ke sana dan ada sebagian warga kubuh timur yang memberikan usulan agar di kubuh timur juga membangun masjid sendiri.
Tak mau berlama-lama dalam wacana, pihak kubuh timur-pun merealisasikan apa-apa yang sudah terencana. Selang beberapa hari sejak perencanaan, mereka sudah menemukan lokasi yang strategis untuk dilakukan pembangunan masjid. Mulanya, lokasi tersebut merupakan sebuah musalla yang cukup besar dan pada bagian lahan sampingnya cukup luas. Warga kubuh timur berinisiatif agar musalla tersebut lebih baik direnovasi dan cukup diperbesar saja sehingga dapat terlihat seperti masjid serta cukup untuk menampung banyak orang.
Informasi akan adanya pembangunan masjid baru di kubuh timur tersebar hingga sampai ke telinganya warga kubuh barat. Banyak gosip-gosip tak jelas yang dilontarkan warga kubuh barat. Mulai dari mereka yang iri hingga mereka yang membuat anggapan kalau si kubuh timur ingin bersaing dan memecah diri dengan kubuh barat.
Beberapa bulan kemudian, wujud masjid yang sedang dilakukan pembangun mulai nampak menjulang. Setelah beberapa hari dilakukan proses pembangunan, masjid yang diangan-angankan warga kubuh timur akhirnya terwujud juga.
Menjelang beberapa hari setelah masjid selesai dibangun, hari jum’at-pun tiba. Warga di desa kubuh timur mulai bersiap-siap menuju masjid barunya untuk melaksanakan salat jum’at berjama’ah. namun, ada juga sebagian dari warga kubuh timur yang tetap melaksanakan sholat jum’at di masjidnya kubuh barat, sehingga masjid baru kubuh timur tidak terlalu penuh dan hanya lebih dari cukup untuk memenuhi syarat salat jum’at berjama’ah. Yaitu, disyaratkan harus sebanyak 40 orang.
Seiring berjalannya waktu, warga desa kubuh timur yang selalu melaksanakan salat jum’at di masjidnya kubuh barat, akhirnya terpengaruh juga dalam sebuah ungkapan, “Kalau masih ada yang dekat mengapa ke yang jauh”. Dari sinilah warga kubuh timur yang pada awalnya selalu salat jum’at di masjid kubuh barat, akhirnya berpindah melaksanakan salat jum’at di masjidnya sendiri. Yaitu di kubuh timur.
Berangkat dari kedua kubuh yang sama-sama melaksanakan sholat jum’at, maka bagaimanakah status sholat jum’at yang dilakukan kedua kubuh dalam satu desa tersebut? Dari sinilah penulis berinisiatif untuk mengkaji status hukum masing-masing salat jum’at yang dilakukan mereka. Disamping para ulama sudah menegaskan bahwa dalam satu desa tidak diperbolehkan terjadi dua salat jum’at, lantaran nantinya dapat berkonsekuensi terhadap status ibadah yang mereka lakukan.
Hukum Salat Jum’at Lebih dari Satu Dalam Satu Daerah (seperti Desa)
Menyikapi kasus seperti di atas, para ulama telah mengkaji serta memutuskan hukum bagaimana status salat jum’at yang dilakukan di dua masjid dalam satu desa. Disadur dari kitab Fathul Mu’in, Syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibary menyampaikan,
وَ مِنْ شُرُوْطِهَا اَنْ لَا يَسْبِقَهَا وَلَا يقارِنُهَا فِيْهِ جُمْعَةٌ بِمَحَلَّهَا اِلَّا اِنْ كَثُرَ اَهْلُهُ وَعَسُرَ اِجْتِمَاعُهُمْ بِمَكَانٍ وَاحِدٍ مِنْهُ وَلَوْ غَيْرَ مَسْجِدٍ مِنْ غَيْرِ لُحُوْقِ مُؤَذٍّ فِيْهِ كَحَرٍّ وَبَرَدٍ شَدِيْدَيْنِ, فَيَجُوْزُ حِيْنَئِذٍ تَعَدٌّدٌهَا لِلْحَاجَةِ بِحَسَبِهَا. (فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)
Berlandaskan redaksi diatas, penulis mencoba menerjemah dengan sebaik mungkin, “bahwasannya putusan hukum dibolehkannnya Salat Jum’at berbilangan (lebih dari satu) iyalah didasarkan pada beberapa pertimbangan dalih yang sudah dilakukan penyeleksian. Sederhananya, pijakan hukum yang sudah disepakati ulama tentang diperbolehkannya terjadi dua salat jum’at dalam satu desa adalah dipandang ketika dalam satu desa tidak dimungkinkan mengumpulkan/menyatukan beberapa golongan dalam satu bangunan masjid. Ketidakmungkinan menggabung antar individu dalam satu bangunan masjid dikarenakan beberapa alasan. Pertama, boleh jadi terjadi perselisihan yang menyebabkan mereka enggan untuk bersatu. Kedua, merasa tidak nyaman melaksanakan ibadah di masjid sebelah dikarenakan semisal panas (tidak ber-AC) atau terlalu dingin (AC-nya berlebihan). Bilamana terdapat alasan-alasan (illat) sebagaimana yang telah disebutkan maka boleh terjadi salat jum’at lebih dari satu (at-Taaddud) dikarenakan ada suatu hajat yang mendesak.
Walhasil, berdasarkan ijtihad para ulama bilamana terdapat alasan-alasan sebagaimana di atas, maka boleh-boleh saja terdapat dua bangunan masjid (terjadi dua salat jumat) dalam satu desa dan status ibadah yang dilakukan adalah sah.
Bagi seorang faqih zamanih, hukum dapat berubah dengan tanpa harus menghilangkan identitas kemandirian dan jati dirinya sebagai seorang muslim yang taat dan teguh memegang prinsip agamanya. Baginya perubahan hukum bukan atas dasar pesanan atau tekanan psikologis, melainkan benar-benar karena panggilan hati nurani untuk kemaslahatan umat manusia. Wallahu A’lam…