Catatan Ngaji; Akidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah
Majalahnabawi.com – Pada kesempatan kali ini, penulis hendak mengabadikan kembali beberapa sajian materi yang disampaikan oleh Syaikh Syadi Musthofa ‘Arbasy. Beliau adalah salah satu masyaikh yang mewariskan ilmunya di Jamiah Imam Syafi’i, Cianjur. Alhamdulillah, pada beberapa hari ke depan kami mendapatkan kesempatan dari Allah Swt untuk mengambil istifadah di tempat ini.
Rintik hujan siang itu tak menurunkan semangat kami dalam proses pendewasaan menjadi hamba Tuhan yang sejati. Sebagai manusia yang mendapatkan gelar santri – sebagai kaum elit dalam beragama – tentu sangat berat. Tanggung jawab santri sebagai pengawal umat Nabi Muhammad saw tentunya tidaklah mudah.
Pertemuan pertama dengan Syaikh Syadi begitu mengesankan. Selain kagum dengan ilmu yang beliau miliki tentunya, kami juga merasa terbawa pemahaman untuk benar-benar berjalan sesuai dengan rel akidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah, akidah Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya.
Mencari Definisi Akal
Hal pertama yang disampaikan oleh Syaikh Syadi yaitu mengenai akal dan wahyu. Bagi kami, seorang santri pemula – pelajar agama dengan tingkat pengetahuan paling rendah -, pemaparan beliau mampu membuat kami menganggukkan kepala secara serentak. Betapa tidak, definisi akal selama ini yang kami pahami sangat jauh dengan definisi akal dalam agama.
Beliau berkata, akal yang dipahami oleh kebanyakan orang saat ini adalah definisi dari kebiasaan, bukan definisi akal. Beliau memberikan contoh seperti ini, “jika menempatkan suatu benda di atas api, maka benda tersebut akan terbakar. Dari mana kita tahu bahwa benda itu terbakar?” Tanya beliau. Kami terdiam, tak ada satu pun dari kami yang berani mengeluarkan suara. Kemudian beliau melanjutkan “kita tahu bahwa menempatkan benda di atas api akan terbakar adalah dari kebiasaan, kita dari kecil mendapat ajaran, bahwa jika menempatkan kertas atau benda lain di atas api, maka akan terbakar. Pemahaman seperti ini adalah kebiasaan, bukan akal”, kami tertegun. “Pemahaman seperti ini yang telah membuat beberapa kaum menolak atau ingkar dengan kebenaran mukjizat Nabi Ibrahim as.” Lanjut beliau.
Tentunya, setelah mendengar hal tersebut, aku berpikir mungkin ini salah satu penyebab beberapa orang menafikan mukjizat para nabi dan rasul. Seperti mukjizat Nabi Musa – tongkat yang bisa berubah menjadi ular – yang oleh pemimpin Mesir saat itu, Firaun, mengatakan bahwa itu adalah sihir.
Selain tentang akal, beliau juga menyampaikan tentang keselarasan antara akal dan wahyu. Bagiku hal ini sangat berat, karena yang tadi saja belum sampai kunalar dengan baik, tapi sudah masuk pemahaman berikutnya.
Akal dan Wahyu
Penyampaian tentang keharmonisan antara akal dan dan wahyu benar-benar sampai membuatku tersenyum memandangi Syaikh Syadi. Beliau menyampaikan, bahwa yang paling mengetahui akal adalah pencipta akal itu, Allah Swt. Setelah menciptakan akal, Allah Swt menurunkan wahyu kepada Nabi saw sebagai penuntun akal dalam menjalankan tugasnya yaitu berpikir.
Pencipta pasti sangat paham dengan ciptaan-Nya, begitu juga Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai salah satu mahakarya-Nya. Dalam al-Quran, sangat banyak ayat yang menyinggung agar manusia menggunakan daya pikirnya, misalnya dalam Qs. Yusuf: 2.
Beliau juga menyampaikan, apabila terdapat akal manusia yang bertentangan dengan wahyu, maka pasti cara berpikir atau metodologi berpikir manusia tersebut dalam kesesatan.
Sebenarnya masih sangat banyak hal yang disampaikan oleh Syaikh Syadi mengenai keharmonisan antara akal dan wahyu. Tetapi, penulis sedikit lalai dalam menulis beberapa poin lainnya karena terbawa hangatnya penyajian yang beliau sampaikan.
Akidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah
Dalam pembahasan terakhir ini mungkin inti dari pengantar di atas. Akidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah. Akidah yang dilembagakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w.323 h) dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 h). Akidah yang memadukan dan memadankan antara aqliyah (akal) dan naqliyah (wahyu). Akidah yang mengambil jalan tawassuth (moderat) dalam menjalankan roda kehidupan baik itu hubungan kepada Tuhan ataupun hubungan sesama ciptaan Tuhan.
Ajaran agama yang tidak mengedepankan kreativitas berpikir saja – lebih terkenal dengan firqah Muktazilah – atau yang hanya mengedepankan otoritas wahyu semata – wahabiyah, ajaran dari Muhammad bin Abdul Wahab. Namun ajaran yang secara kokoh dibangun berlandaskan keduanya; akal dan wahyu.
Kemudian, sebagai penutup pengajian kali ini, Syaikh Syadi mengharapkan agar setiap santri paham tentang teori-teori aqliyah seperti yang terkandung dalam ilmu mantiq, ushul Fiqh maupun ilmu kalam (ushuluddin). Bagi beliau, memahami jalan berpikir akidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah tidak lepas dari ketiga pakem ilmu tersebut.