DAKWAH KULTURAL WALISONGO DI TANAH JAWA
Islam muncul di tengah-tengah masyarakat Jawa dengan citra positif sehingga memperkuat eksistensi Islam di Nusantara, khususnya di Tanah Jawa. Kehadiran Islam yang cukup istimewa membentuk sikap dan perilaku yang cukup baik sehingga menghadirkan keseimbangan sosial. Sinkretisasi budaya di tengah masyarakat Jawa dengan doktrin agama mengisi ruang-ruang keberagaman. Agama dan budaya berjalan harmonis. Hal tersebut terlihat jelas saat hadirnya tradisi slametan yang dikenalkan oleh para wali kepada masyarakat Jawa.
Perihal kapan masuknya Islam ke Indonesia memang masih menjadi perdebatan. Beverapa teori menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara itu pada abad ke-13 M meskipun sudah banyak bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Islam di Nusantara sejak 7 M bahkan ada yang menyebut abad sebelum itu.
Islam di Nusantara, khususnya di Jawa mulai berkembang pesat pada abad 15-16 M di tangan Walisongo sebagai sekumpulan tokoh penyebar ajaran Islam. Mereka menyebarkan Islam dengan metode dakwah kultural sufistik yang menampilkan wajah ajaran Islam dan toleransi terhadap setempat sehingga mengundang minat dan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang damai.
Walisongo menerapkan beberapa langkah strategis dalam menyebarkan ajaran Islam. Sebagaimana yang tertulis dalam Atlas Walisongo karangan Said Agil Siraj, penyebaran ajaran Islam yang dilakukan Walisongo setidaknya melalui tiga tahap. Pertama, tadrij (bertahap) dimana tidak ada ajaran yang diberlakukan secara mendadak melainkan dengan tahap penyesuaian. Hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam mulanya dibiarkan dan secara bertahap diluruskan. Kedua, taqlid taklif (meringankan beban), masyarakat tidak langsung diwajibkan puasa atau sholat akan tetapi mereka diajak untuk melakukan ibadah semampunya dahulu sebelum benar-benar mampu melaksanakan dengan baik dan sempurna. Ketiga, adamul haraj (tidak menyakiti), Walisongo hadir tanpa mengusik tradisi yang sudah ada, mereka datang dengan damai dan anti kekerasan.
Sekalipun Walisongo menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan kultural, mereka tidak serta merta menerima ajaran animisme atau kebudayaan-kebudayaan lain non-Islam lalu memadukannya dengan ajaran Islam sebagaimana tuduhan Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa Walisongo menyebarkan Islam dengan pencampuran antara budaya dan agama sehingga ajaran yang tersebar di Nusantara bukanlah ajaran Islam yang murni.
Pada hakikatnya, Walisongo hanya menyesuiakan ajaran dengan kultur setempat. Substansi dakwah yang dibawa wali songo adalah ajaran tasawuf sunni. Walisongo menanamkan nilai-nilai keteladanan dalam beretorika sehingga ucapan dan kata-kata yang disampaikan memikat hati masyarakat.
Pertama-tama Walisongo menyampaikan tentang tauhid kepada masyarakat bahkan raja-raja Hindu-Budha lalu mereka berupaya menjadi role model melalui keteladanan yang baik dengan menerapkan sifat-sifat terpuji dan membuang sifat-sifat tercela karena salah satu tujuan utama Walisongo adalah membentuk moralitas keagamaan di Indonesia menjadi lebih baik.