Dampak Kanonisasi dalam Kitab Oposisi; Telaah Metodologi Shahih Ibn Khuzaimah dalam Pertentangannya Terhadap Kutub Al-Sittah
www.majalahnabawi.com – Shahih Ibnu Khuzaimah atau yang memiliki nama lengkap Mukhtasar al-Mukhtasar min al-Musnad ash-Shahih adalah kitab koleksi hadis milik Ibnu Khuzaimah (223-311 H). Bab-bab yang terkandung di dalamnya yaitu seputar pembahasan salat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Namun yang menjadi pembahasan di sini adalah apa metodologi yang Ibnu Khuzaimah gunakan dalam menyusun kitabnya, serta apa dampak kanonisasi dalam kitab oposisi.
Periodisasi Perkembangan Ilmu Hadis
Rumpun Ilmu Hadis memulai masa kondifikasinya di abad tiga sampai empat hijriyah. Pada abad ini para ulama mulai sibuk mendokumentasikan kisah-kisah periwayatan yang ada sejak zaman nabi sampai era sahabat, yaitu sekitar abad satu sampai dua yang disebut juga dengan masa pra-kodifikasi. Kemudian hasil dari dokumentasi-dokumentasi itu dideskripsikan bagaimana hadis itu dinarasikan sedemikian rupa hingga sampai kepada perawi. Kemudian dianalisa atau diteliti secara mendetail untuk menguraikan kandungan yang terhadap pada hadis. Terakhir hasil dari analisa tersebut lantas dikategorisasi ke dalam sub-rumpun ilmu hadis.
Tujuan dari semua ini adalah untuk mendikotonomi keilmuan dari ilmu fiqih atau dengan kata lain memunculkan hadis sebagai suatu rumpun ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari ilmu fiqih. Segala sesuatu yang berbau hadis tak lepas dari fenomena ini, baik yang sudah terbukukan maupun yang masih mentah sebagai abstrak.
Ibn Khuzaymah hidup pada masa ini, yang mana beliau hidup di akhir abad ke-III sampai awal abad ke-IV. Masa di mana banyak ilmu baru bermunculan serta banyak terjadi penerjemahan kitab-kitab Yunani. Masa cemerlang Abbasiyyah sebagai pemimpin dunia Islam serta peralihan mazhab pemerintahan yang semula beraliran Muktazilah berubah menjadi Asy’ariyyah.
Jika mau kita katakan, Ibn Khuzaymah hidup dalam masa keemasan umat Islam. Logikanya, apa yang beliau lakukan sebagai seorang ahli hadis yang memiliki kitab berisi hadis-hadis shahih menurutnya akan cepat melebar seantero negeri dan khususnya di kalangan cendekiawan. Namun faktanya tidak demikian. Bahkan naskah kitab Shahih Ibn Khuzaimah sempat tenggelam beberapa masa, sampai belakangan diteliti kembali oleh seorang cendekiawan modern, Muhammad Mustafa Azami dengan bantuan ahli hadis berhaluan kanan, Nasaruddin al-Albani.
Tenggelamnya kitab ini mengasumsikan kepada kita bahwa meski hidup di zaman keemasan Islam terang-benderang dan Ibn Khuzaymah sendiri adalah seorang ahli hadis yang diakui kredibilitasnya, salah satu karya terbaik beliau tentang hadis tidak masuk dalam deretan kitab-kitab induk yang ditetapkan para ulama. Bahkan sempat karam beberapa masa. Pertanyaan besar yang muncul kemudian hari adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Kanonisasi & Oposisi
Kanonisasi merupakan suatu bentuk upaya pempopuleran sesuatu untuk menyebarkan suatu paham atau gagasan tertentu. Biasanya dalam kegiatan ini, ada beberapa kepentingan yang hendak tercapai dari suatu pihak terkait. Dalam masa ini terjadi fenomena segregasi atau pemisahan kelompok yang lebih spesifik, semisal antara sunni dengan non-sunni, hadis dengan ilmu hadis, dan lain sebagainya.
Periode kanonisasi kitab-kitab klasik dalam sejarah perkembangan Islam terjadi sekiranya sekitar abad ke lima sampai ke tujuh hijriyah. Di mana suatu rumpun keilmuan yang mulanya memang hanya sebatas sebagai suatu pengetahuan berubah menjadi suatu ideologi, suatu visi komprehensif sebagai cara memandang segala sesuatu secara umum dari beberapa arah filosofis yang diajukan oleh kelas yang dominan kepada seluruh masyarakat luas.
Di awal sub pembahasan telah kita ketahui bahwa pada masa ini terjadi fenomena segregasi yang lebih spesifik dari abad-abad sebelumnya yang dinahkodai oleh sebagian kelompok berpengaruh untuk suatu kepentingan tertentu. Kita ambil sebagai contoh misalkan penetapan syarat suatu hadis bisa dinilai shahih.
Muncul suatu teori masyhur dalam pengumpulan riwayat-riwayat sanad hadis pada masa ini dengan istilah Teori al-Hazimi. Beliau mengemukakan standarisasi bahwa sebaiknya orang yang berkecinambung dalam pengumpulan sanad hadis setidaknya dikemukakan oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas di dalamnya. Dalam pandangannya, beliau menganjurkan untuk merujuk kepada dua spesifikasi ulama; ahlul ilmi dan fuqaha.
Fuqaha seperti yang telah masyhur adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam rumpun ilmu fiqih. Menurutnya, kriteria ulama seperti ini harus masuk sebagai garis lurus atas segregasi yang tercanangkan pada periode kanonisasi ini, serta sebagai tindak lanjut atas terpisahnya keilmuan antara hadis dan fiqih yang telah terjadi di abad-abad sebelumnya.
Pemetaan Teori Al-Hazimi
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah ahlul ilmi yang beliau maksud dalam konteks ini. Apa kriteria ahlul ilmi yang menurut beliau layak untuk meneliti dan menggabungkan berbagai sanad yang ada, yang nanti pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas hadis itu sendiri. Untuk mengetahui jawaban ini, perlu kiranya kita melihat terlebih dahulu bagaimana beliau memetakan dan menjelaskan teorinya.
Setidaknya ada lima tingkatan yang beliau rumuskan dalam teori pengumpulan riwayat miliknya. Yang pertama adalah perawi yang pandai dan dekat dengan gurunya yang berarti perawi ini masuk dalam kategori tsiqah (adil dan kuat hafalannya) serta bermulazamah lama dengan sang guru. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa semua riwayat yang ia terima terjamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Kriteria yang kedua adalah tsiqah namun tidak dekat, artinya sang perawi tidak diragukan lagi kredibilitasnya namun sayangnya perawi ini jarang mengikuti kajian atau bermulazah dengan gurunya. Fokus utama perawi ini adalah mengumpulkan banyak sanad hadis secara keseluruhan yang membuatnya tidak memungkinkan untuk bermulazamah lama pada seorang guru, berbeda dengan kriteria perawi yang pertama.Hal ini masih memungkinkan terjadinya kesalahan terhadap sanad karena banyaknya sanad yang sang perawi kumpulkan meskipun sedikit kemungkinan karena sang perawi sendiri sudah terjamin kredibilitasnya, kuat hafalannya serta adil perangainya.
Kriteria ketiga dan keempat merupakan tolak balik kondisi kredibel (tsiqah) seorang rawi yang ada pada kriteria pertama dan kedua. Jika pada kriteria satu dan dua perawi sudah pasti kredibilitasnya, kriteria ke tiga dan ke empat adalah perawi yang dha’if di mana tidak terjamin keadilannya (selamat dari berbagai sebab dia melakukan dosa besar dan atau sering melakukan dosa kecil) serta tidak terjamin kuat hafalan yang memungkinkan perawi untuk lupa akan hadis-hadis maupun sanad yang pernah dia hafal.
Pada kriteria ketiga masih bisa diminimalisir dha’if-nya perawi dengan lamanya dia bermulazamah kepada sang guru. Bagaimanapun seberapa dha’if-nya perawi akan terangkat dengan poin mulazamah ini yang mana masih memungkinkan adanya campur tangan guru untuk mengangkat kekurangannya, semisal pemberian kitab sang guru padanya untuk kemudian disalin melihat keseriusan serta antusias perawi yang dha’if ini dalam belajar.
Kriteria keempat sedikit lebih rendah dari sebelumnya, di mana perawi yang tidak kredibel (tsiqah) serta kurang bermulazamah dengan sang guru yang menyebabkan kemungkinan kesalahan dalam periwayatan lebih besar dari ketiga kriteria sebelumnya.
Terakhir adalah kriteria yang paling rendah di antara kriteria yang ada, di mana kondisi seseorang yang dia mungkin bukan termasuk kolektor hadis. Mudahnya mereka tergambarkan sebagai orang biasa yang tidak tahu bagaimana kredibilitasnya dalam keilmuan khususnya untuk meriwayatkan suatu hadis dan hanya sesekali mengikuti kajian-kajian hadis Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah perawi majhul yang tidak atau kurang terkenal latar belakangnya sehingga kemungkinan hadis dha’if sangatlah besar.
Kelima kriteria inilah yang al-Hazimi rumuskan dalam hal pengumpulan berbagai periwayatan hadis secara umum. Kriteria pertama dan ke dua dipakai masing-masing oleh dua ulama hadis kaliber sepanjang masa, al-Bukhari dan Muslim. Kriteria ke tiga dipakai Abu Dawud dalam sunannya begitu pula kriteria ke empat diterapkan oleh at-Tirmidzi dalam Jami’nya. Sedangkan kriteria kelima dipakai oleh kitab-kitab yang nantinya dikenal dengan kitab oposisi Shahih al-Mujarrad dengan tiga punggawa; Shahih Ibnu Khuzaymah, Shahih Ibnu Hibban, dan Mustadrak al-Hakim.
Menariknya al-Hazimi memasukkan tiga kriteria terakhir sebagai golongan yang ahlul ilmi sebut di awal. Tentu ini suatu yang menarik di mana beliau memasukkan golongan perawi yang tingkat kredibilitasnya tidak tinggi. Alasannya pun unik, perawi yang ada pada kriteria satu dan dua merupakan golongan perawi elit yang juga ketika meriwayatkan menggunakan bahasa yang elit pula yang hanya dipahami oleh kaum akademisi jika ditarik ke zaman sekarang. Otomatis, hadis yang ada di dalamnya beserta periwayatannya hampir bisa dipastikan valid.
Sedangkan tiga kriteria sisanya, terkhusus kriteria terakhir ada pada masyarakat sosial biasa yang memiliki tingkat bahasa yang lebih mudah untuk dipahami. Kita bisa melihat contoh klasifikasi golongan masyarakat ini pada orang-orang pedesaan yang menghendaki sesuatu langsung pada intinya tanpa harus berpanjang lebar ditambah mereka lebih tertarik pada fenomena hadis yang dinilai lebih menarik. Konsekuensinya, hadis yang diriwayatkan oleh masyarakat sosial rendah tentu berbeda dengan kalangan akademisi hadis.
Hadis-hadis yang terakhir ini cenderung tidak shahih, melihat kondisi perawi dan fenomena ketertarikan pada hadis yang lebih menarik. Pun begitu, hadis yang mereka riwayatkan masih bisa memungkinkan untuk diterima, terlebih jika dilihat dari sisi makna yang sama serta diriwayatkan oleh ulama yang tervalidisasi kredibilitasnya, semisal Ibnu Khuzaymah dan ketiga punggawa Shahih al-Mujarrad lainnya.
Penyematan Kata “Oposisi”
Pada titik inilah kata “oposisi” disematkan. Pada masa peralihan antara ilmu menjadi ideologi, telah menjadi suatu abstraksi di sana bahwasanya kriteria hadis shahih yang sekiranya dapat diterima adalah mereka yang mengikuti manhaj selektif al-Bukhari dalam menyeleksi hadis-terlepas dari segala bentuk kemungkinan yang menyelimuti mengapa hal ini bisa menjadi suatu patokan baku.
Ibnu Khuzaymah dengan kitab shahihnya sudah barang tentu tidak bisa masuk ke dalam lingkup ini, bahkan mengatakan hadis-hadis yang ada pada kitab Ibnu Khuzaymah sendiri sebagai hadis shahih yang diragukan keabsahannya. Bisa kita tinjau singkat perkara ini dari bagaimana beliau yang cenderung mudah (mutasahil) dalam menerima hadis yang diriwayatkan oleh mereka yang tidak berasal dari kaum cendekiawan.
Sayangnya hal ini juga berdampak kepada eksistensi karya beliau yang tersingkir dari rumpun jajaran Kutub al-Sittah. Tak lain disebabkan karena rentetan kitab enam yang menjadi induk kitab hadis itu mengikuti setidaknya manhaj al-Bukhari dalam meriwayatkan dan menyeleksi hadis. Ditambah suatu realita bahwa kitab Shahih Ibnu Khuzaymah adalah kitab yang sarat akan ilmu-ilmu fiqih, dimana sudah dibahas bahwa dikotonomi antara ilmu hadis dan ilmu fiqih digaungkan pada masa itu.
Sekiranya ini oleh-oleh yang dapat penulis bagi selama mengikuti kelas Dirasat al-Kutub al-Haditsiyyah, semoga bermanfaat bagi sesama.
Wallahu A’lam