Dimensi Ruhani Berpuasa
majalahnabawi.com – Salah satu rukun Islam yang telah kita amalkan sejak kecil ialah puasa. Ibadah ini juga telah menjadi bagian dari budaya keberislaman negeri kita. Ramadhan datang setiap tahunnya membawa suasana yang berbeda, begitu pun saat ini yang kita jalani (masih) dalam kondisi pandemi. Namun ada satu hal yang tidak berubah dari setiap Ramadhan, sejak zaman Nabi ﷺ hingga sekarang, yaitu aspek ruhaniyah; suatu keistimewaan jiwa yang dialami setiap orang yang beriman.
Setiap tahunnya kita menyambut Ramadhan dengan penuh suka cita. Tidak mutlak memang, namun sebagian besar kita bahagia saat Ramadhan datang. Ada yang gembira karena Ramadhan menjadi ajang meraup keuntungan sebanyak mungkin, contohnya para penjaja takjil dan santap sahur. Ada pula yang menjadikan Ramadhan sebagai sarana memikat pelanggan lebih banyak, seperti para pengusaha yang memberi diskon besar-besaran di toko mereka. Keduanya hanya berurusan dengan keuntungan duniawi, yang melimpah sesaat dan lekas hilang dalam sekejap.
Sebagian besar lainnya menjadikan Ramadhan sebagai sarana menambah pundi-pundi pahala. Seperti seorang pengajar yang menebar pengetahuan ke murid-muridnya. Seorang kiai mengaji bersama para santrinya. Para jamaah yang sibuk menghadiri kajian-kajian. Bahkan seorang mukmin yang hanya ingin mendedikasikan Ramadhan dengan memperbanyak taubat, ibadah, dan zikir guna mendekatkan diri pada Sang Khaliq.
Sebagaimana kita pahami bersama, di balik niat seseorang berpuasa yaitu agar menjadi orang yang semakin bertakwa. Namun ini adalah tujuan akhir; hasil dari seorang mukmin yang ibadahnya benar-benar membekas. Tapi dalam proses menuju hasil akhir, puasa juga memiliki beberapa faedah ruhaniyah penting yang akan didapatkan oleh orang yang beribadah dengan kesungguhan di bulan ini.
Faedah Ruhaniyah Puasa
Pertama, dengan puasa kita dapat meminimalisir godaan setan. Bayangkan jika setahun penuh tidak ada Ramadhan, sepanjang itu pula kita digoda setan dengan berbagai tipuan; baik ketertipuan dunia maupun apa yang ada dalam hati kita. Sebab Rasulullah ﷺ pun telah mewanti-wanti umatnya dengan sebuah hadis,
إنَّ الشَّيْطانَ يَجْرِيْ مِنَ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ
“Sungguh (pengaruh) setan menjalar di tubuh manusia sebagaimana aliran darah“. [HR. Muslim] dalam riwayat lain ditambahkan, “Maka sempitkanlah aliran itu dengan cara lapar dan berpuasa“.
Dengan melatih jiwa dan raga berpuasa, maka kita akan mengakhiri Ramadhan dalam kondisi hati, jiwa, dan raga yang tidak memperturuti nafsu (dari godaan) setan. Hal ini juga meminimalisir dzann (prasangka) yang buruk dalam hati. Maka, dengan demikian terdapat manifestasi ketakwaan yang hakiki dari puasanya. Inilah yang menjadi harapan setiap mukmin di akhir Ramadhan.
Kedua, Ramadhan menjadi ajang bagi ‘menyepikan’ hati dengan berzikir. Bukan sekadar zikir lisan, tapi juga zikir qalbu. Dengan tidak banyak makan, maka seorang mukmin dapat lebih mengabdikan diri pada Rabb-nya. Menyepikan keberadaannya dan berkhalwat dengan Allah. Keutamaan berzikir tentu tidak perlu dipertanyakan. Allah dengan keagungan-Nya memerintahkan kita untuk banyak berzikir, menyebut dan mengingatNya.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, sebut dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya“. [QS. al-Ahzab : 41]
Dengan banyak berzikir ia akan merenung (tafakkur). Dengan renungan ini ia akan memikirkan amalan di dunia, guna akhiratnya. Lalu akan memikirkan bagaimana akhir hayatnya, penerang kuburnya, timbangan amal baiknya. Lalu berpikir apa yang kelak ia bawa saat hari kebangkitan, yaitu saat setiap insan mempertanggungjawabkan amalnya di hadapan Allah. Lantas ia berpikir tatkala timbangan amal buruknya lebih berat, saat bekal amal baiknya tidaklah cukup mengantarnya ke surga; siapkah dia dihempaskan ke neraka. Seluruh renungan dan tafakur ini menjadi salah satu sebab bertambahnya iman dan berkurangnya kemaksiatan.
Memahami Kaum Dhuafa
Ketiga, puasa mengajarkan arti memahami kaum dhuafa. Lapar dan haus yang dirasakan setiap mukmin yang berpuasa seyogyanya mengajarkan kesederhanaan. Lebih jauh lagi, mengajarkan bahwa mereka yang kelaparan sejatinya memerlukan uluran tangan kita. Dengan begitu kita dapat memuliakan mereka dan memberikan kebahagiaan bagi mereka. Inilah yang diajarkan oleh Nabi ﷺ saat para sahabat menyebut bahwa beliau “sangat dermawan saat Ramadhan sebagaimana angin yang berhembus“. [HR. Bukhari dan Muslim]
Keempat, tirakat seorang mukmin saat berpuasa adalah bentuk peleburan hawa nafsu yang Lillahi Ta’ala. Segala bentuk ibadah yang kita lakukan di bulan ini sejatinya untuk menundukkan nafsu yang selama 11 bulan bercokol menguasai hati. Kita harus mampu menjadi raja atas nafsu dan buruknya jiwa kita. Ini menjadi syarat kelulusan agar kita mampu meraih gelar ‘taqwa’ yang dijanjikan Allah.
Maka dari itu, pahamilah wahai jiwa-jiwa yang bergelimang dosa. Puasa yang kita lakukan sejatinya memiliki dimensi ruhani yang tidak dapat dinalar oleh manusia. Ganjaran pahala yang tidak mampu dikalkulasikan oleh otak ilmuwan mana pun. Itulah sebabnya Allah menyerukan bahwa “puasa adalah untuk-Ku”. Karena memang efeknya sangatlah istimewa, tentunya bagi mereka yang sungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan. Di dunia, keistimewaan ini berupa ampunan-Nya dan jiwa kita yang semakin bertakwa. Di akhirat, keistimewaan ini adalah sebaik-baik nikmat Allah, yaitu surga Firdaus.
Tulisan ini telah diterbitkan di https://thr.kompasiana.com/ziaulharamein/607e334ed541df680f7a9302/dimensi-ruhani-berpuasa