Egoisme Akan Kepentingan Pribadi
Rasionalika.darussunnah.sch.id x Majalahnabawi.com – Nepotisme atau mengutamakan kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan umum, kerap terjadi dalam pemerintahan. Praktik ini sering menjadi sorotan, terutama di bidang pemerintahan, bisnis, dan organisasi. Nepotisme adalah tindakan memberikan keuntungan kepada keluarga atau teman dekat tanpa memperhatikan merit atau kualifikasi. Hal ini sering kali dikaitkan dengan korupsi dan kolusi, karena ketiganya sama-sama melanggar integritas dan hukum, serta merusak wibawa negara.
Fenomena nepotisme memicu kontroversi karena bertentangan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan meritokrasi. Ketika peluang dalam institusi diberikan berdasarkan hubungan pribadi, individu yang lebih berkualifikasi namun tidak memiliki hubungan tersebut menjadi dirugikan. Meski banyak negara memiliki regulasi anti-nepotisme, praktik ini sering kali terjadi secara tersembunyi atau bahkan dianggap wajar.
Dampak Nepotisme
Dalam politik, nepotisme merusak kepercayaan publik dan melemahkan integritas demokrasi. Di dunia bisnis, nepotisme menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi, karena talenta di luar lingkaran keluarga atau teman dekat tidak mendapat kesempatan yang sama. Kembalinya sorotan terhadap nepotisme mungkin disebabkan oleh kasus-kasus baru yang terungkap, perubahan politik, atau meningkatnya kesadaran akan pentingnya menegakkan keadilan dan integritas.
Secara normatif, nepotisme dilarang oleh agama karena dianggap ilegal, tidak bermoral, dan merugikan orang lain. Dalam Islam, tujuan hukum termasuk larangan nepotisme adalah untuk menjaga kepentingan umat dan mencegah kerusakan. Berdasarkan uraian ini, bagaimana pandangan nepotisme dalam perspektif hadis Rasulullah Saw.?
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَعْمِلْنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا؟” قَالَ: “سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ.” (رواه البخاري)
البخاري: أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بَردِزبَة الجعفي البخاري
Artinya:
Dari Usaid bin Hudhair r.a. (w. 20 H) “Ada seseorang dari kalangan Anshar yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah sepatutnya baginda mempekerjakanku sebagaimana baginda telah mempekerjakan si fulan?” Beliau menjawab, “Sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap-sikap utsrah (individualis, egoism, orang yang mementingkan dirinya sendiri). Maka itu bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku di telaga al-Haudl (di surga).”
HR. Bukhari (194 H – 256 H : 62 tahun).
Istifadah
Dalam kitab Fathu al-Bari, ungkapan “ألا تستعملني” menunjukkan permintaan seseorang kepada Rasulullah Saw untuk diangkat sebagai kepala zakat atau gubernur. Rasulullah Saw menjawabnya dengan bijak, menyatakan bahwa akan ada nepotisme setelah wafatnya. Ini adalah peringatan halus tentang bahaya jabatan yang disalahgunakan.
Fenomena nepotisme di Indonesia sudah meluas dan menjadi rahasia umum, mencerminkan kelemahan dalam implementasi UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penegakan hukum terhadap pelanggaran nepotisme juga masih lemah, dengan semangat reformasi yang meredup.
Menghindari nepotisme membutuhkan komitmen terhadap kejujuran dan kesadaran bahwa semua perbuatan diawasi oleh Tuhan. Penting juga untuk menanamkan nilai keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum serta terus mendorong upaya pencegahan nepotisme di masyarakat dan pemerintahan.
Semua ini penting untuk dikomunikasikan kepada masyarakat dan pemerintah untuk mencegah tindakan nepotisme. Jangan sampai putus semangat untuk tetap berupaya menghindari tindakan pelanggaran hukum untuk menegakkan sebuah keadilan.
Wallahu A’lam