Empat Pesan Ali bin Abi Thalib Untuk Kehidupan yang Lebih Baik

Majalahnabawi.com – Sahabat Nabi Muhammad Saw merupakan satu generasi yang memiliki banyak keistimewaan. Mereka adalah sekumpulan masyarakat yang pola kehidupannya banyak dipandu dan diarahkan langsung oleh sosok yang dijamin kredibilitasnya oleh Allah langsung, yakni Nabi Muhammad Saw.

Dalam tradisi literasi periwayatan hadis, perawi pada jenjang sahabat diberikan gelar istimewa berupa penyematan redaksi radiyallahu anhu (doa yang bermakna semoga Allah meridhainya) di belakang nama mereka. sebagaimana disepakati, periwayat hadis pada level sahabat dinilai sebagai pribadi yang adil, salah satu syarat yang menopang kesahihan sebuah hadis.

Di antara sahabat yang unggul, yang dikenang sejarah sebagai pribadi yang penuh hikmah dan kerap membersamai kehidupan Rasulullah Saw secara langsung adalah sahabat Sayyiduna Ali Karramallahu Wajhahu (w. 40 H).

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolani menukil ungkapan Sayyiduna Ali Karromallahu Wajhahu dalam al-Munabbihat ala al-Isti’dad li Yaum al-Ma’ad sebagai berikut:

“Barangsiapa yang rindu kepada surga maka akan bersegera menunaikan kebaikan. Barangsiapa yang khawatir dan takut akan siksa neraka, ia akan menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Barangsiapa yang menyadari datangnya kematian ia akan menganggap rendah segala malam kelesatan dunia, barangsiapa yang sadar nilai dunia, ia akan menganggap rendah segala musibah di dunia.”

Untuk menghadirkan keutuhan makna ungkapan-ungkapan di atas, mari kita bedah satu persatu ungkapan bijak di atas.

“Barangsiapa yang rindu akan surga, ia akan menyegerakan diri melakukan kebaikan”

Hampir dipastikan bahwa semua umat muslim, atau bahkan seluruh manusia, ingin masuk ke dalam surga setelah tuntas menjalankan kehidupan di dunia ini. Surga tak ubahnya stasiun permberhentian terakhir yang dinanti-nanti, di sanalah kehidupan abadi yang nikmat diwujudkan.

Sayyiduna Ali menegaskan bahwa jika seorang mendambakan surga yang dirindukan, maka baginya untuk melakukan kebaikan, sesegera mungkin. Hal ini selaras dengan peirntah Allah dalam surat Ali Imran ayat 133, di mana Allah Swt berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,”

Bahkan, secara khusus Imam al-Nawawi (w. 800 H) membuat bab mengenai “Pentingnya Menyegerakan Diri Melaksanakan Kebaikan” dalam kitabnya Riyadh al-Solihin, dalam bab ini ditampilkan berbagai dalil ayat dan hadis yang menekankan perlunya menyegerakan diri dalam kebaikan.

“Barangsiapa yang takut dan khawatir akan siksa neraka, maka ia akan menjauhi syahawat”

Siksa neraka yang dikabarkan melebihi siksa manapun di dunia, ditambah durasi waktu akhirat yang jauh lebih lama dibanding dunia, membuat siapapun bergidik dan berupaya semampu mungkin untuk menjauhinya.

Jika demikian, maka anjurannya adalah agar berhenti mengikuti syahwat. Syahwat adalah hal yang diidentikkan dengan naluri manusia yang mengarahkan seseorang untuk melakukan keburukan. Syahwat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Athiyyah dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir merupakan keinginan diri dan yang berkaitan dengannya, lazimnya hal ini diidentikkan pada perilaku yang tidak baik yang dilakukan oleh manusia.

Seseorang yang mampu menahan hawa nafsu dijamin oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam surga dan dijauhkan dari neraka. Allah Swt berfirman,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”

Menurut al-Baghawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil yang dimaksud dengan menahan hawa nafsu (naha al-nafsa) adalah menahan diri dari hal-hal haram yang diinginkan. Ia juga bisa bermakna kesadaran seseorang saat hendak melakukan sebuah maksiat namun ia paham akibat buruknya, kemudian ia meninggalkannya.

“Barangsiapa yang menyadari kematian, maka ia akan menganggap kelezatan dunia sebagai hal rendah”

Allah menciptakan kehidupan di dunia salah satunya adalah untuk menguji kita. Dalam kehidupan dunia, kita akan mendapati bahwa terdapat banyak sekali kelezatan dunia yang memiliki daya pikat sempurna. Tidak semua kelezatan dunia dilarang untuk dikonsumsi, hanya saja ada beberapa kenikmatan yang bersifat fatamorgana. Kelezatan jenis terakhir ini menawarkan kebahagiaan semu lantaran subtansinya yang bertentangan dengan nilai agama.

Orang yang menyadari betul hadirnya kematian ia bisa menjadikannya sebagai pelajaran. Ia akan memahami betul hadis Nabi yang mejelaskan bahwa setiap yang kita lakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt

Untuk itu ia mawas diri menjauhkan kelezatan-kelezatan yang bersifat fatamorgana, yang menawarkan kenikmatan semu saja. Dan sesungguhnya kenikmatan dunia, bagi orang yang arif, tidak lain adalah kenikmatan yang menipu.

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

 Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.

“Barangsiapa yang mengetahui kadar dunia, maka ia akan menggap segala musibah yang terjadi di dunia sebagai hal yang rendah”

Tidak ada manusia yang tidak diberikan musibah atau ujian. Hidup tak ubahnya arena pertandingan yang mengandaikan setiap atlit di dalamnya mendapatkan tantangan demi memenangkan kompetisi. Bagi yang tangkas merespon tantangan, ia akan keluar arena sebagai pemenang. sebaliknya, bagi yang tidak ada bekal persiapan, maka ia akan keluar dengan wajah tertunduk lesu menanggung kekalahan.

Dalam menyikapi ujian yang ada, mental pemenang perlu dibangun dalam diri. Sayyiduna Ali Karramallahu Wajhahu memberikan alternatif jawaban bahwa, diantara cara-cara tersebut, adalah dengan menjadikan musibah bukan sebagai akhir dari segalanya.

Seorang muslim yang yang arif sadar bahwa ada Allah sebaik-baiknya penolong kita di kala kesusahan melanda, dan bahwa segala jenis ujian yang Allah berikan adalah bukan karena Dia benci kepada kita semua, melainkan ada rahasia yang ingin disampaikan, baik itu sebagai penegur kita, peluruh dosa kita atau sebagai upaya menaikkan derajat kita di sisi Allah Swt.

Mengenai hal ini, Imam al-Syafi’i berkata, “

لا تجزع لحادثة الليالي ….. فما لحوادث الدنيا بقاء

Janganlah kamu bersedih/cemas (melainkan bersabarlah!) atas peristiwa2 menyedihkan yang terjadi kemarin —-  Karena tidak ada peristiwa di dunia ini yang abadi (pada akhirnya segala permasalahan yang kita miliki akan selesai, pen)

Dalam bait yang lain beliau berkata,

ولا حزن يدوم ولا سرور ….. ولا بؤس عليك ولا رخاء

(Ingat) Tidak ada kesedihan yang abadi, demikian kebahagiaan —- Kesengsaraan tidak selalu menimpamu, begitupun kelapangan/kesejahteraan tidak selalu menyapamu.

Similar Posts