Esensi Berkhidmat dan Menghormati Guru
Majalahnabawi.com – Dalam salah satu kesempatan, kami pernah memoderatori acara bedah buku karya guru kami, Ust. Dr. Ubaydi Hasbillah, MA.Hum yang berjudul “40 Hadis Pengader Ulama”. Dalam momen tersebut Narasumber membedah buku dengan sangat apik, menerangkan pilar-pilar fondasi yang mengukuhkan kata ulama itu sendiri. Singkat kata, Ulama adalah pewaris para nabi, dan ‘anbiyā’ tidaklah mewariskan dirham tidak pula dinar (harta), akan tetapi mewariskan keilmuan. Dengan mengkomparasikan beberapa hadis yang berkaitan dengan tema keulamaan, Ust. Dr. Ubaydi Hasbillah peran kita sebagai generasi selanjutnya, untuk menapaki jejak para ulama ada tiga:
Pertama, al-Ta’līm, mengajar. Kedua, al-Ta`līf, menulis, membuat karya bidang keilmuan. Ketiga, Khidmah, membantu dan melayani. Tiga peran tersebut adalah gambaran umum yang dapat diibaratkan dengan sebuah gudang yang menampung berbagai drum berisi segala macam rupa. Mengajar tidak harus berkutat di kelas saja sebagai guru, menulis tidak harus selalu buku, pun berkhidmat.
Menyoal perihal khidmat, santri sangat akrab dengan praktik ini. Khidmat ialah melayani dan mengabdi. Praksis umumnya ialah santri melayani kiai, dan kiai melayani umat. Santri yang mengabdikan dirinya akan dituntut untuk tulus mengerjakan apa yang diperintahkan Kiai.
Fokus yang perlu diambil dari khidmat ialah pengabdian, membantu dan melayani. Ia luas sekali maknanya tidak terbatas bidang fokus tertentu. Misalnya menjadi profesional dan serius ketika melakukan hal-hal seperti mengurus jadwal ngaji santri, mengurus media, menulis untuk media, tanzif jama’i, muzakaroh dan halaqoh pun kesemuanya bagian dari khidmat. Karena sebagaimana dikatakan dalam salah satu aforisme Arab:
إذا كنت في أمر فكن فيه محسنا
“Apabila kamu mengerjakan sesuatu, maka jadilah profesional”
Adapun terkait hormat pada kiai, sebenarnya praksis tersebut relatif berbeda di setiap tempatnya. Hal ini sebagaimana disimpulkan dari diskusi yang digelar di Darus-Sunnah ketika membahas biografi Kiai Sobari – beliau adalah salah satu gurunya guru kami -. Para santri hormat pada kiai adalah sebuah keharusan, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim:
اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله، وتعظيم الأستاذ وتوقيره. قيل: ما وصل من وصل إلا بالحرمة، وما سقط من سقط إلا بترك الحرمة. وقيل: الحرمة خير من الطاعة، ألا ترى أن الإنسان لا يكفر بالمعصية، وإنما يكفر باستخفافها، وبترك الحرمة. ومن تعظيم العلم تعظيم الأستاذ
“Penting diketahui, seorang pelajar tidak akan memperoleh ilmu dan manfaatnya kecuali jika mau mengagungkan ilmu itu sendiri dan pemiliknya, serta menghormati guru dan mengagungkannya. Ada yang mengatakan, “Sikap menghormati lebih baik dari ketaatan itu sendiri. Tidakkah kamu melihat manusia tidak menjadi kafir karena maksiatnya, namun lantaran menganggap remeh perbuatan tersebut, dan meninggalkan pengagungan atas Allah. Bagian dari mengagungkan ilmu ialah mengagungkan guru.”
Kutipan dari ta’līm muta’allim diatas dapat kita nalar secara rasional mengapa penghormatan lebih baik dibanding taat karena orang yang sudah hormat pada gurunya tentu akan melakukan ketaatan, namun belum tentu orang yang melakukan ketaatan sudah pasti menghormati gurunya.
Perlu ditekankan lagi bahwa esensi dari poin diatas ialah “menghormati guru”. Ia merupakan poin umum yang dapat dialihpraktikkan kepada banyak hal sesuai adat di daerah masing-masing. Misalnya santri di sebagian pesantren mengimpelementasikan hormat pada guru adalah dengan menunduk ketika kiai lewat, bahkan menjauh. Namun di sebagian pesantren, bentuk hormat pada kiai dilambangkan dengan semisal kiai lewat maka kita cukup menatap wajah kiai dan tersenyum.
Tentunya makna hormat pada kiai bukan hanya satu bentuk saja. Perlu diketahui bahwa manusia itu adalah produk budaya. Di pesantren di Jawa Tengah dan Timur, para santri akan menghormati gurunya dengan cara sebagaimana budaya disana, pun di Jawa Barat para santri ta’zim kepada gurunya dengan bentuk adat budaya yang ada disana pula, begitupun di Kalimantan dan yang lainnya. Hidup ini beragam, semua santri dimanapun pesantrennya ingin menghormati guru, bukan kita satu-satunya santri yang menghormati guru, maka bijaklah dalam menerima perbedaan bentuk adat dan budaya menghormati. Wallahu a’lam