Etika Bertamu Perspektif Al-Qur’an: Mengkaji Surat Al-Ahzab Ayat 53-54
Majalahnabawi.com – Al-Qur’an tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lain. Dalam berhubungan dengan sesama, manusia tidak dapat dipisahkan dengan interaksi, persahabatan, saling mengunjungi, dan lain sebagainya antara satu orang dengan orang lain. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya seseorang selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Permasalahannya adalah dalam berinteraksi ada yang membuat orang lain nyaman ada juga sebaliknya. Oleh karena itu, kita harus memiliki acuan etika dalam berinterakasi dengan sesama, salah satunya adalah etika ketika bertamu.
Al-Qur’an merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, karena Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama. Di dalamnya terdapat aturan-aturan untuk kehidupan manusia agar senantiasa berada di jalan hidup yang lurus dan tidak menyimpang ke dalam hal-hal yang buruk serta merugikan. Salah satu hal yang diatur oleh Al-Qur’an adalah etika bertamu.
Di zaman sekarang sering kita temui orang yang tak mengindahkan etika dalam bertamu, padahal mereka adalah muslim, sedangkan Al-Qur’an telah menginformasikan pada manusia sebuah etika dalam bertamu, entah karena informasi itu belum sampai padanya atau mungkin sudah sampai, hanya saja ia sengaja mengabaikannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk merujuk kembali kepada Al-Qur’an guna mengatasi kesalahan etika seseorang ketika bertamu.
Pesan Al-Qur’an
Untuk mengatur etika bertamu Allah Swt berfirman, dalam surat Al-Ahzab ayat 53–54:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِيِّ إِلَّآ أَن يُؤۡذَنَ لَكُمۡ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيۡرَ نَٰظِرِينَ إِنَىٰهُ وَلَٰكِنۡ إِذَا دُعِيتُمۡ فَٱدۡخُلُواْ فَإِذَا طَعِمۡتُمۡ فَٱنتَشِرُواْ وَلَا مُسۡتَـٔۡنِسِينَ لِحَدِيثٍۚ إِنَّ ذَٰلِكُمۡ كَانَ يُؤۡذِي ٱلنَّبِيَّ فَيَسۡتَحۡيِۦ مِنكُمۡۖ وَٱللَّهُ لَا يَسۡتَحۡيِۦ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعا فَسۡـَٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ وَمَا كَانَ لَكُمۡ أَن تُؤۡذُواْ رَسُولَ ٱللَّهِ وَلَآ أَن تَنكِحُوٓاْ أَزۡوَٰجَهُۥ مِنۢ بَعۡدِهِۦٓ أَبَدًاۚ إِنَّ ذَٰلِكُمۡ كَانَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمًا ٥٣ إِن تُبۡدُواْ شَيۡـًٔا أَوۡ تُخۡفُوهُ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيما
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi, kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar). Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Kamu tidak boleh menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah Nabi (wafat). Sesungguhnya yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.”
Penafsiran
Ayat di atas memberikan informasi kepada kita sebuah etika dalam bertamu, meskipun ayat di atas secara tekstual hanya di tujukan kepada sahabat yang sedang bertamu ke rumah Rasulullah Saw, namun pengamalan ayat ini tertuju kepada seluruh umat muslim yang hendak bertamu. Hal ini sesuai kaidah yang dirumuskan oleh ulama ‘al-‘ibrah bi umūm al-lafdzi lā bi khusūsi as-sabab’.[1] Itu berarti, kepada siapapun kita bertamu etika ini harus kita terapkan. Baik saat bertamu kepada seorang tokoh ternama, maupun kepada seoarang rakyat biasa, karena sejatinya mereka memiliki sensitifitas yang sama ketika menerima tamu. Terkadang kedatangan tamu itu menggemberikan hatinya, terkadang malah sebaliknya. Sehingga kita harus pandai dalam membaca suasana hati mereka. Hanya saja Syekh Ali Al-Shabuni (w. 1442 H) dalam kitab tafsirnya menyatakan hukum ayat di atas hanya berlaku bagi rumah Nabi Muhammad Saw.[2]
Pelajaran pertama yang bisa kita ambli dari ayat di atas adalah jangan memasuki rumah seseorang tanpa mendapatkan izin, apalagi sampai berani menyantap makanan di dalamnya. Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَدۡخُلُواْ بُيُوتًا غَيۡرَ بُيُوتِكُمۡ حَتَّىٰ تَسۡتَأۡنِسُواْ وَتُسَلِّمُواْ عَلَىٰٓ أَهۡلِهَاۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡر لَّكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya, yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nur: 27)
Hal ini seringkali terabaikan oleh masyarakat muslim sekarang, hanya karena mereka merasa punya hubungan baik dengan seseorang, ia secara semena-mena masuk rumahnya tanpa izin dari si pemilik rumah. Bahkan dikesempatan lain Allah Swt mewanti-wanti seseorang agar tidak bertamu di tiga waktu.
Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِيَسۡتَـٔۡذِنكُمُ ٱلَّذِينَ مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ وَٱلَّذِينَ لَمۡ يَبۡلُغُواْ ٱلۡحُلُمَ مِنكُمۡ ثَلَٰثَ مَرَّٰتۚ مِّن قَبۡلِ صَلَوٰةِ ٱلۡفَجۡرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُم مِّنَ ٱلظَّهِيرَةِ وَمِنۢ بَعۡدِ صَلَوٰةِ ٱلۡعِشَآءِۚ ثَلَٰثُ عَوۡرَٰت لَّكُمۡۚ لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ وَلَا عَلَيۡهِمۡ جُنَاحُۢ بَعۡدَهُنَّۚ طَوَّٰفُونَ عَلَيۡكُم بَعۡضُكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
Tiga waktu yang disebut dalam ayat di atas adalah sebelum salat subuh, waktu zuhur, dan setelah salat isya. Hal ini dikarenakan ketiga waktu tersebut adalah waktu yang biasa digunakan untuk beristirahat sehingga penghuni rumah biasanya menanggalkan pakaiannya di waktu tersebut. Kecuali memang sudah ada janji yang disepakati untuk bertemu, maka hal ini tidak dipermasalahkan.
Kita tidak mengetahui secara pasti perasaan tuan rumah yang diperlakukan seperti itu. Bisa jadi si pemilik rumah merasa resah, hanya saja dia mencoba bersabar dengan tidak menampakkan, karena tidak ingin menyakiti hati temannya, sebagaimana yang dirasakan Nabi Saw ketika ada sebagian sahabat yang tidak menggunakan etika ketika bertamu ke rumahnya. Seorang muslim yang baik hendaknya memahami betul etika ini, kita harus semaksimal mungkin membuat orang lain tidak tersakiti dengan perilaku kita, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه[3]
“Seorang muslim (sejati) adalah ketika muslim disekitarnya merasa nyaman dari lisan dan perbuatannya.”
Ada beberapa kondisi di mana seseorang tidak perlu meminta izin ketika hendak memasuki sebuah rumah[4], yaitu ketika hendak memasuki rumah sendiri dan rumah kerabat dekat seperti rumah orang tua, saudara kandung, paman, bibi, dan rumah orang yang mempercayaimu. Imam Suyuti (w. 911 H) menambahkan “rumah anak-anakmu” dalam tafsirnya.[5] Hal ini mungkin terkesan kurang sopan, namun hal ini bertujuan agar mempererat hubungan keluarga, sehingga akan memperkecil terjadinya konflik internal dikarenakan kebaikan yang saling mereka rasakan.
Namun apabila seorang tuan rumah itu sedang mengadakan sebuah walimat dan kalian diundang, maka tak ada masalah bagi kalian untuk memasuki rumah dan menikmati hidangannya.
Pelajaran selanjutnya yang terkandung dalam ayat ini adalah tentang bagaimana kita jangan terlalu lama ketika bertamu. Setelah jamuan yang dihidangkan telah kita makan, dan setelah berbincang-bincang sebentar, maka hendaknya kita segera pulang dengan tidak terlalu lama berdiam diri di rumah orang lain, karena hal ini akan memberatkan tuan rumah. Bisa jadi mereka ingin segera istirahat, hanya saja tuan rumah merasa sungkan mengingatkan tamunya. Harusnya kita sebagai tamu peka terhadap hal itu.
Kemudian pelajaran lain yang bisa kita ambil dari ayat di atas adalah menjaga diri dari berinteraksi dengan lawan jenis. Mahalu as-Syahid nya adalah ayat وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعا فَسۡـَٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابۚ. Ayat ini memerintahkan kepada siapapun yang sedang bertamu agar menjaga adabnya dengan membatasi interaksi dengan lawan jenis, terlebih lagi dengan istri dari si pemilik rumah. Karena hawa nafsu manusia sering kali melemahkan iman seseorang, salah satu cara untuk menghindari itu adalah dengan membatasi interaksi dengan istri dari tuan rumah, atau anggota keluarga perempuan secara umum.
Kesimpulan
Kajian singkat surat Al-Ahzab ini memberikan informasi kepada kita beberapa hal berikut:
- Pentingnya menjaga etika kapanpun dan di manapun kita berada, termasuk etika dalam bertamu.
- Jangan memasuki rumah orang sebelum mendapatkan izin. Sebenarnya larangan ini bukan hanya berlaku ketika ingin bertamu ke rumah seseorang, namun juga di berbagai tempat, seperti kantor, pemukiman, pesantren dan lain sebagainya.
- Menghindari berkunjung di saat waktu tenang, waktu tenang di sini maksudnya waktu di mana sebuah keluarga sedang menikmati waktu kebersamaan dengan anggota keluarganya atau saat mereka biasanya tidak menutup aurat dengan sempurna, seperti sebelum subuh, waktu zuhur, dan setelah isya. Larangan ini tentunya hanya berlaku bagi yang tidak memiliki janji, namun apabila tamu dan tuan rumah sudah berjanji sebelumnya untuk bertemu, maka berkunjung di waktu kapanpun tidak dipermasalahkan, termasuk ketiga waktu di atas.
- Tidak menyakiti hati seseorang dengan terlalu lama dalam bertamu. Tuan rumah mungkin saja merasa resah, hanya saja ia tidak enak hati untuk menegurnya.
- Membatasi interaksi dengan lawan jenis, terlebih kepada lawan jenis yang sudah memiliki suami/istri.
Referensi
[1] Al-Suyuti, Al-Itqan fi ‘ulm Al-Qur’an, (Mesir, 1974), Juz. 1, h. 110.
[2] Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan, (Beirut: Maktabah Ghozali, 1980), Juz. 2, h. 345.
[3] Al-Bukhori, Shahih Bukhari, (Mesir: Matba’ah al-Kubra al-Amiriah, 1311 H), Juz. 8, h. 102.
[4] Lihat surat An-Nur 24:61
[5] Al-Suyuti dan Al-Mahali, Tafsir Jalalain, (Kairo: Dar al-Hadis), h. 469.