Fondasi Moral Hukum Perkawinan di Indonesia

Majalahnabawi.com – Bolehkah perempuan menjadi wali nikah? Bukankah ada ulama’ mazhab yang melegalkan? Dengan dasar apa hak perwalian dititik beratkan pada laki-laki saja? Bukankah perempuan juga punya hak atas dirinya? Akankah hak itu dikuras habis oleh kaum adam?

Pertanyaan serupa juga bakalan terus terbayang di benak para wanita sebagai objek diskriminasi.

Pengalaman pribadi penulis, sejak saya mengenal dunia tipu-tipu ini sampai sekarang masih dalam kondisi yang sama ndak pernah menemukan acara akad nikah yang walinya adalah seorang perempuan. Acara akad nikah di desa-desa maupun di kantor KUA, yang selalu ada di garda terdepan adalah laki-laki. Perempuan hanya berperan dalam bidang remeh, seperti konsumsi, menyiapkan keperluan-keperluan lainnya. Hemat penulis, bahwa budaya memang menghedaki demikian. Namun apakah agama juga sama? Saya kira tidak.  

Membuka jendela sejarah melalui kitab-kitab hadist akan menyadarkan kita bahwa perempuan punya peranan penting dalam hal ini. Ada sebauh atsar yang konon dijadikan dalil oleh Mazhab Hanafi bahwa Abdullah bin Mas’ud r.a. telah mengizinkan istrinya untuk menikahkan putrinya sendiri[1] sebagaimana dikutip Faqihudin Abdul Qodir dalam bukunya[2]. Di samping itu ada satu hadis yang dijadikan landasan bagi Mazhab Hanafi:  

عن عبد الرحمن بن القاسم عن أبيه عن عائشة زوج النبى صلى الله عليه وسلم زوجت حفصة بنت عبد الرحمن المنذر بن الزبير وعبد الرحمن غائب باالشام فلما قدم عبدالرحمن قال ومثلى يصنع هذا به ومثلى يفتات عليه فكلمت عائشة المنذر بن الزبير فقال المنذر فإن ذلك بيد عبدالرحمن فقال عبدالرحمن ما كنت لأرد أمرا قضيتيه فقرت حفصة عندالمنذر ولم يكن ذلك طلاقا

Dari Abdurrahman bin Al-Qosim, dari ayahnya Al-Qasim bin Abi bakr As-Siddiq r.a. bahwa Aisyah r.a. menikahkan Hafshah binti Abdurrahman dengan seorang laki-laki bernama Al-Munzir bin Al-Zubair.saat itu Abdurrahman (ayah Hafshah) sedang tidak ada karena sedang di Syam.

Ketika ia datang dari Syam, dia mengeluh, “orang sepertiku diperlakukan seperti ini? Orang sepertiku dilangkahi untuknya begitu saja?”  lalu Aisyah berbicara dengan Al-Munzir bin Al-Zubair. Dan Al-Munzir kemudian berkata “semua ini (keputusanya berada) di tangan Abdurrahman.” Lalu Abdurrahman pun menjawab, “saya tidak bermaksud membatalkan akad yang telah kamu lansungkan, (wahai Aisyah).” Dan Hafshah pun tetap hidup serumah bersama Al-Munzir. (Muwaththo’ , no.1167).

Secara implisit hadits diatas tah hanya menolak pendapat Syafi’iyah bahwa perempuan dewasa dilarang menikahi dirinya sendiri. Namun hadis ini juga memberikan hak kepada perempuan untuk menjadi wali bagi perempuan lain ketika walinya memang tidak ada. Tepat memang dalam kondisi sempit tersebuat Siti Aisyah mengambil sikap.  

Lalu bagaimana dengan indonesia?. Negara kita tercinta ini memang memilih pendapat jumhur ulama’ bahwa wanita tidak bisa menjadi wali nikah bagi dirinya sendiri apalagi orang lain. Apa yang dipilih oleh negara kita bukan hanya karna diindonesia mayoritas Mazhab Syafi’i tapi ada hal lain yang dilihat dari sisi sosial. Perwalian yang diserahkan sepenuhnya kepada ayah dan urutan perwalian dalam pandangan sosial yang dimaksud adalah untuk memberi dukungan dan perlindungan kepada kaum perempuan. Disamping itu juga menjaga harkat dan martabat perempuan. Bayangkan saja andaikan di indonesia dilegalkan bagi wanita untuk menikahkan dirinya, maka banyak sekali akan terjadi pelecehan seksual, merendahkan wanita. Maka perlu tindakan preventif dari bangsa kita.  

Tak hanya berhenti sampai disana bahwa, perempuan yang memang ndak punya wali sama sekali negara sudah menfasilitasi dengan adanya wali hakim, sekali lagi dengan tujuan agar masalah perempuan terurusi dan masing-masing mendapatkan haknya untuk diperlakukan sama di mata hukum.  


[1] Ghayda’ Abd al-wahhab al-mishri, Ahliyyah al-mar’ah fi Al-syari’ah Al-islamiyah

[2] Faqihuddin Abdul Kodir, Perempuan bukan makhluk domestik

Similar Posts