Gelombang Polarisasi dalam Dunia Perpolitikan, Apa yang Bisa Generasi Muda Lakukan?

Majalahnabawi.com – Kontestasi elektoral 5 tahunan baik pemilu maupun pilkada selalu menyedot perhatian publik. Faktor figur pemimpin jelas akan mempengaruhi kebijakan di daerahnya masing-masing kelak. Pasangan calon tentunya memerlukan rencana dan strategi besar dalam memenangkan pemilu maupun pilkada. Membangun kerja sama dalam bentuk koalisi partai politik menjadi langkah wajib yang harus dilakukan. Hal ini bertujuan secara kolektif merebut hati masyarakat melalui program, ide dan gagasan yang ditawarkan untuk mencapai kesejahteraan yang ideal. Namun dibalik pertarungan elektoral tersebut memunculkan adanya benturan politik terutama di golongan akar rumput. Friksi-friksi inilah yang sering kita kenal dengan sebutan polarisasi.

Istilah politik ini menjadi istilah terviral dalam pemilu 2014 lebih-lebih 2019, pasti semua masih ingat dengan julukan cebong dan kampret. Polarisasi yang mengakibatkan perpecahan yang sangat tajam di masyarakat. Teman berubah jadi musuh, tetangga tidak lagi bertegur sapa gara-gara berbeda pilihan. Polarisasi ini mengakibatkan masyarakat terpecah belah, walaupun ujung-ujungnya persatuan kembali terwujud dengan bergabungnya kampret dan cebong.

Insiden ini tentunya tak ingin terulang lagi di tahun-tahun mendatang, maka dari itu generasi muda harus berperan aktif demi mencegah atau meminimalisasi hal itu terjadi. Alhamdulillah, pada pemilu 2024 kemarin polarisasi tersebut bisa diperkecil.  Tak ada lagi istilah cebong dan kampret, perpecahan tajam bisa dihindari, semua ini bisa terjadi berkat kontribusi semua pihak terkhusus generasi muda didalamnya.

Pragmatisme Generasi Muda dan Realita Ekonomi yang ‘Mengubur’ Moralitas

Generasi muda zaman sekarang terutama gen z perlu mendapatkan perhatian khusus terkait paradigma berpikirnya yang cenderung masa bodo alias skeptis. Ya, melihat kondisi ekonomi dan pendapatan yang tak sesuai dengan apa yang diharapkan, generasi muda memang sedang mengalami anxiety disorder. Suatu kondisi yang mengganggu kesehatan mental dengan rasa takut dan cemas yang berlebihan. Tak ada cara lain bagi para pemuda untuk terus bertahan hidup kecuali dengan cara kerja, kerja dan kerja. Hal ini menyebabkan banyak anak muda yang pesimis akan nasibnya yang tak mengalami perubahan signifikan siapapun pemimpin yang terpilih.

Beban ekonomi memang selalu menjadi momok yang paling menakutkan dalam kehidupan para generasi muda. Betapa banyak orang yang menggadaikan idealismenya hanya untuk beberapa lembaran uang yang tak seberapa. Pilkada serentak 27 November 2024 juga luar biasa vibes money politics-nya. Secara terang-terangan kita diperlihatkan bagaimana para oknum yang menggunakan segala sumber dayanya untuk memenangkan kekuasaan. Anehnya, rakyat tetap ‘termakan’ dengan janji dan sogokan yang tak seberapa itu. Seolah-olah realita ekonomi yang tragis membabat habis idealisme dan prinsip moralitas.

Lantas, apa yang bisa generasi muda lakukan?

Pemuda sebagai generasi solusi harus mampu berperan dalam dunia politik. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah atau meminimalisasi polarisasi.

Meningkatkan Kemandirian Literasi Politik (Political Literacy)

Generasi muda sebagai masyarakat digital (digital society) merupakan entitas yang memahami cara berselancar di jejaring maya termasuk urusan politik. Informasi seputar politik bisa diperoleh dari berbagai platform sosial media seperti Facebook, Instagram, X (Twitter), TikTok, YouTube hingga website.

Nah, generasi muda ini dapat secara aktif mengamati dan mengikuti informasi seputar politik baik dari media elektronik maupun media cetak. Selain itu, mengikuti berbagai forum diskusi baik di sekolah atau di kampus juga dapat membantu memperdalam literasi poltik anak muda.

Memahami Perbedaan Pandangan Politik

Jangan terlalu lebay dalam menyikapi perbedaan, karena sejak lahir kita memang sudah diciptakan berbeda. Beda latar belakang, beda suku, beda agama, beda karakter serta banyak lagi perbedaan lainnya. Hal ini merupakan fitrah alami yang tidak terbantahkan lagi. Namun dibalik itu semua, kita dipersatukan oleh satu bingkai persaudaraan, yaitu bingkai ‘Bhinneka Tunggal Ika’.

Berbeda pendapat adalah fitrah dan bukan alasan untuk saling membenci. Bukankah perbedaan yang menyebabkan kita bersatu? Persatuan yang bersumber dari perbedaan itulah yang akhirnya menjadikan tanah air ini terbebas dari penjajahan. Perbedaan itu pada hakikatnya adalah rahmat dan sunnatullah, malah bercerai-berai itulah sikap yang salah.

Memberikan Edukasi Politik (Political Education)

Pendidikan politik menjadi poin utama untuk meminimalisasi polarisasi. Bukan hanya generasi muda, semua elemen masyarakat harus berkolaborasi dan bersinergi bersama untuk memberikan edukasi dan sosialisasi pada akar rumput. Edukasi politik tak hanya sebatas pada ruang lingkup lingkungan sekitar saja, pemanfaatan media sosial juga membantu menambah daya jangkau generasi muda untuk memberikan pendidikan politik yang jernih agar paradigma masyarakat kita terhadap politik dapat tercerahkan. Ya, kira-kira menjadi influencer politik yang mengkampanyekan pentingnya etika dan moral dalam berpolitik.

Menyebarkan Vibes Politik Damai

Sering kita jumpai orang yang pada awalnya berteman berubah menjadi musuh hanya karena beda pilihan. Tak sedikit pula saling mencaci maki hingga berujung pada pertengkaran fisik. Generasi muda punya peran untuk mencegah permusuhan dan meneduhkan situasi politik saat ini. Caranya bisa bermacam-macam, paling sederhana dengan menahan tangan di medsos untuk tidak memposting keburukan kontestan lain. Selain itu bisa juga dengan mengkampanyekan politik damai dan santun, tidak menyebarkan berita bohong alias hoax, menghindari kampanye hitam (black campaign) dan masih banyak lagi cara lainnya.

Jangan Termakan Hoax

Berita bohong (hoax) bukanlah peristiwa baru dalam dunia perpolitikan tanah air, preseden ini sudah akrab terdengar di telinga masyarakat. Namun yang menyebabkan kata ini viral adalah seorang filsafat lokal yang paling identik dengan kata ‘dungu’. Para generasi muda harus mampu untuk menyaring informasi agar jangan sampai termakan berita hoax.

Cara sederhana masyarakat untuk melawan hoax yaitu memastikan alamat web berita tersebut bersumber dari media nasional yang valid dan terpercaya, memastikan berita tersebut telah tersebar di banyak media nasional, cermat dalam memperhatikan setiap judul berita, apakah terkesan hanya sekedar clickbait atau malah provokatif, jangan langsung percaya setiap berita yang tersebar di sosial media termasuk Facebook, Whatsapp, Instagram dan lainnya serta dengan melaporkan berita hoax tersebut kepada pihak yang berwenang.

Stop Fanatisme Buta

Terkadang kecintaan yang berlebihan terhadap partai atau sosok tertentu dapat membutakan mata hati kita. Pikiran yang seharusnya dapat berpikir dengan rasional berubah seketika menjadi irasional. Banyak bukti akibat terlalu mendewa-dewakan sosok tertentu sehingga lupa bahwa ia juga manusia biasa yang bisa melakukan dosa dan kesalahan. Lantas jika melakukan kesalahan tersebut apakah kita akan membenarkannya? Tentu tidak.

Fanatisme buta semacam ini berakibat hilangnya moral clarity (kejernihan moral) seseorang dalam menilai setiap permasalahan. Mendukung boleh-boleh saja, tapi jangan sampai membenarkan dan menganggap lumrah setiap kekeliruan yang ia perbuat.

Inilah 6 langkah yang bisa dilakukan oleh generasi muda untuk meminimalkan polarisasi. Perbedaan politik memang sunnatullah dan tak bisa terhindarkan, tapi minimal bisa kita perkecil dengan upaya maksimal.

Similar Posts