Gerakan Kebangsaan Mbah Hasyim Asy’ari

Majalahnabawi – Sebagai salah satu tokoh pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, tentunya sosok KH. Hasyim Asy’ari tidak bisa dipisahkan begitu saja dari sejarah panjang bangsa ini. Mbah Hasyim, begitulah sebagian umat muslim terutama kalangan nahdliyin memanggil beliau, merupakan teladan dan pelopor umat Islam dalam menggaungkan nasionalisme dan patriotisme kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui organisasi Nahdlatul Ulama, beliau menggerakkan santri dan ulama untuk memegang teguh prinsip keagamaan berasaskan akidah ahlussunnah wal jama’ah dalam konteks keindonesiaan.

Mbah Hasyim: Sejarah Singkat

KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan dengan nama asli Muhammad Hasyim, dilahirkan pada 24 Dzulhijjah 1287 H di daerah Gedang, Jombang, Jawa Timur. Ayah beliau bernama Kiai Asy’ari, merupakan menantu Kiai Usman yang merupakan pemuka agama di desa Gedang tersebut. Sebagai putra seorang Kiai, maka Hasyim kecil dididik langsung tentang pelajaran-pelajaran dasar agama Islam oleh kakek dan ayah beliau sendiri.

Menginjak dewasa, Mbah Hasyim telah melewati banyak masa dalam proses pencarian ilmu di berbagai pesantren. Beberapa pesantren yang pernah ditinggali Mbah Hasyim muda adalah pesantren Langitan Tuban, kemudian berguru ke sebuah pesantren di Bangkalan, Madura, asuhan KH. Kholil, seorang sosok kharismatik yang memiliki pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa, kemudian di pesantren Siwalan Panji di daerah Sidoarjo. Mbah Hasyim muda pun diambil sebagai menantu oleh Kiai Yakub, pengasuh pesantren Siwalan Panji tersebut. Pada suatu kesempatan Mbah Hasyim menuju ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Beliau menyertakan pula istri yang saat itu sedang hamil. Namun, dua tahun kemudian, saat kembali ke Indonesia Kiai Hasyim hanya pulang sendirian karena istrinya meninggal di sana.

Beberapa tahun kemudian, KH. Hasyim Asy’ari kembali ke Mekkah untuk menimba ilmu kepada banyak tokoh ulama terkemuka di zaman itu, seperti Syeikh Khatib Minagkabau, Syeikh Mahfudz al-Tarmasi, dan banyak yang lainnya. Dalam berbagai sejarah disebutkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari sempat berguru pada orang yang sama dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah.

Begitu kembali ke Indonesia, Kiai Hasyim segera kembali ke desa Gedang, dan membantu pengembangan pesantren di daerah tersebut. Selanjutnya, Kiai Hasyim melihat keadaan di sekitar daerah perkebunan tebu, yang disana biasa digunakan untuk perbuatan kemungkaran. Mengetahui hal itu, Mbah Hasyim berinisiatif untuk mendirikan pesantren di daerah tersebut dengan tujuan dakwah. Meskipun sempat mendapat perlawanan sengit dari para preman setempat, Mbah Hasyim tidak gentar, dan tetap menunjukkan cara cerdas dan santun dalam berdakwah kepada mereka. Singkat cerita, para preman tersebut takluk, dan berbalik membantu pengembangan pesantren Tebuireng hingga dapat eksis di masa awal abad 20.

Dari pesantren Tebuireng inilah, Mbah Hasyim memperkenalkan sistematika pembelajaran dalam pengajian menjadi klasikal, yang kini dikenal dengan madrasah. Belum lagi di pesantren Tebuireng ini mulai membuka diri terhadap pelajaran-pelajaran umum dan bahasa asing non-Arab.

NU dan Gerakan Kebangsaan

Pada akhir dekade 20-an, Mbah Hasyim mulai merasakan kegamangan akibat penjajahan di Indonesia yang tak kunjung usai. Beliau masih melihat adanya perjuangan yang tidak menyeluruh dan bersatu padu di kalangan umat, dan titik berat yang ingin beliau perjuangkan adalah berhimpunnya para ulama pesantren yang memiliki kharisma di masyarakat dan kesalehan yang mendalam, untuk turun tangan memajukan Indonesia sembari tetap memperjuangkan nilai-nilai kepesantrenan yang luhur. Maka, bersama dengan ulama-ulama pesantren lain, seperti KH. Wahab Hasbullah dari Tambakberas, Jombang; kemudian KH. As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo serta banyak yang lain, beliau semua menginisiasi organisasi Nahdlatut Tujjar, yang kemudian berkembang menjadi Nahdlatul Ulama hingga saat ini.

Organisasi ini berasaskan pada prinsip al-muhaafazhatu bi al-qadiim al-shaalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah yang artinya “mempertahankan hal lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik.” Selain itu, KH. Hasyim Asy’ari juga membimbing santri-santri beliau yang akan diterjunkan dalam medan peperangan melawan penjajah melalui pergerakan Laskar Hizbullah.

Salah satu kontribusi besar dari KH. Hasyim Asy’ari ini adalah fatwa beliau tentang keharusan memberantas penjajah dan pengakuan atas nama NU bahwa Indonesia adalah negara yang harus diperjuangkan sebagai bentuk final. Fatwa ini sering disebut dengan “Resolusi Jihad”. Secara garis besar, isi dari resolusi tersebut adalah menyeru kepada umat muslim yang merupakan kalangan mayoritas di Indonesia untuk bersatu memberantas kaum penjajah, dan hukumnya fardlu ‘ain. Penjajah dianggap sebagai kaum yang telah memecah belah kesatuan bangsa, dan harus diberantas. Resolusi ini disepakati oleh ulama pada 21- 22 November 1945, dan mendapatkan pengakuan dalam Muktamar NU di Purwokerto pada tahun 1946.

Seruan ini segera menyebar ke seluruh penjuru negeri, dan salah satu pelopor penggeraknya adalah Bung Tomo yang memimpin pergerakan arek-arek Surabaya untuk melawan NICA, yang melakukan agresi militer di Surabaya. Santri-santri dari banyak pesantren, tergabung dalam gerakan sukarela Laskar Hizbullah yang dipanglimai KH. Mahrus Ali dari Kediri. Pergerakan ini turut membuat penjajah mundur, dan kalah dalam pertempuran.

Memaknai dan Meneruskan Perjuangan

Mengenai fatwa jihad tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan sebagai berikut: “Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia. jika manusia itu sudah baik, apa yang akan diperbaiki lagi dari padanya. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan. Contoh-contoh ini telah ditunjukkan Nabi kita dalam perjuangannya.”

Selain itu, dalam Muqaddimah al Qanun al Asasi li Jam’iyati Nahdlatul ‘Ulama, beliau turut merumuskan konsep kesatuan umat ini berdasarkan pemahaman tentang kutipan surah Al-Ankabut ayat 69, yang berbunyi:

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut: 69)

Dan ajakan kepada umat untuk berpegang pada tali persatuan dan kesatuan dan tidak bercerai berai satu sama lain. Hingga saat ini, fatwa Resolusi Jihad NU masih relevan dipegang. Pengakuan atas negara Indonesia sebagai negara yang patut diperjuangkan, dan merupakan bentuk final, membuat banyak elemen bangsa tetap berusaha merumuskan konsep keterkaitan Islam, terutama NU dengan sikap kebangsaan. Terlebih lagi sebagaiorganisasi yang terbentuk dari kalangan “bersarung”, NU telah menunjukkan suatu gagasan pembaharuan Islam ahlussunnah wal jama’ah yang merakyat dan membumi di Indonesia. Pesantren Tebuireng sebagai peninggalan beliau, telah melahirkan kaum cendekiawan yang tetap berpegang teguh pada budaya klasik namun terbuka terhadap ide-ide modern kebangsaan. Jejak ini pun diikuti oleh banyak pesantren di seluruh Indonesia.

KH. Hasyim Asy’ari telah melahirkan banyak kitab yang banyak dikaji oleh santri di seluruh Indonesia. Beliau telah memberikan teladan positif kepada santri Indonesia untuk tetap merawat tenun kebangsaan tanpa melupakan akarnya. Wallahu A’lam.

Similar Posts