Guru Berbeda dengan Pendidik
Majalahnabawi.com – Semua orang bisa menjadi guru, akan tetapi tidak semua guru bisa menjadi pendidik. Karena seorang pendidik itu harus punya bekal lahir batin untuk menggembleng muridnya.
Memang sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk mencari ilmu. Di antara perantara mendapatkan ilmu dengan cara memilih seorang guru. Semua orang bisa menjadi guru; yang penting punya ilmu dan bisa mengajar. Sehingga amat mudah sejatinya mencari guru. Bahkan semua orang bisa menjadi guru kita dalam artian yang lebih luas. Sesuai dengan dawuhnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra., “Saya itu budak milik orang yang mengajari saya, meskipun hanya satu huruf”.
Betul adanya bahwa semua orang bisa menjadi guru, akan tetapi tidak semua guru bisa menjadi pendidik. Karena seorang pendidik itu harus punya bekal lahir batin untuk menggembleng muridnya. Tidak hanya sebatas wawasan keilmuan yang luas, keluhuran rohani amat menentukan dalam proses transfer ilmu.
Beban seorang guru amat berat, selain ia senantiasa diawasi Tuhan, baik secara sadar atau tidak ia selalu diperhatikan muridnya dalam diam. Karenanya seorang pendidik sejatinya perlu memperbanyak lisan al-hal ketimbang lisan al-maqal. Sebab murid itu seperti mata-mata yang handal, yang senantiasa memperhatikan dan meniru panutannya. Tentunya dengan tetap beradab secara lahir-batin dan tidak menafikan tabiat kemanusiaan.
Pendidik Rohani
Jauh lebih sulit mendapatkan seorang pendidik rohani. Karena tidak semua orang siap menduduki posisi ini serta tidak semua murid menyadari akan pentingnya hal ini. Intelektualitas tinggi tidak dibarengi keluhuran rohani, tidak ada artinya. Karena manusia hidup di dunia tidak ada tujuan lain selain menggapai ridla-Nya. Sehingga bagaimana mungkin seseorang bisa sampai ke tujuan tanpa melalui jalurnya?
Menurut Imam al-Ghazali dalam Ayyuha al-Walad, kriteria pendidik rohani itu: menarik diri dari ingar bingar dunia. Artinya meskipun ia dilimpahkan segala hal duniawi, tidak akan terpaut dalam hatinya sekecil apapun; memiliki guru yang tajam mata hatinya serta tersambung ke Rasul Saw. Dengan demikian, orisinalitas keilmuannya terjamin; tindak tanduknya penuh tauladan. Sehingga tidak termasuk golongan an taqulu ma la taf’alun. Selain itu seorang murid jauh lebih tergerak untuk mengikutinya.
Dalam mendidik seorang murid, ketajaman mata hati sangat diperlukan. Karena sosok seperti inilah yang bisa meluruskan serta meningkatkan kualitas lahir batin seorang murid. Jika seorang murid mendapatkan anugerah seperti ini, hendaknya ia memegang teguh sosok tersebut dalam mengarungi kehidupan. Akan tetapi sosok guru sekaligus pendidik yang demikian amat sulit ditemui. Semoga kita dianugerahkan mendapatkan sosok guru dengan kriteria tersebut.