Gus Dur dan Visi Misi Pesantren untuk Mencetak Generasi Emas

Majalahnabawi.com – Di tengah pesatnya arus modernisasi dan globalisasi, pendidikan pesantren di Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang. Salah satu tokoh yang memperjuangkan transformasi pendidikan pesantren agar lebih adaptif dan inklusif adalah KH Abdurrahman Wahid, dikenal luas sebagai Gus Dur. Dr. (H.C.) K.H. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur, adalah salah satu tokoh Muslim Indonesia yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4 dari tahun 1999 hingga 2001.

Ia juga merupakan mantan ketua tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Gus Dur putra dari pasangan K.H Abdul Wahid Hasjim dan Solichah, di Jombang, Jawa Timur pada 7 September 1940, dan meninggal pada 30 Desember 2009 di Jakarta. Beliau tidak hanya seorang pemimpin spiritual tetapi juga seorang visioner yang melihat pesantren sebagai kawah candradimuka pembentukan generasi emas Indonesia. Artikel ini mengajak kita merenungkan kembali visi Gus Dur tentang peran pesantren dalam membangun generasi muda yang berwawasan luas, berintegritas tinggi, dan berdaya saing global.

Gus Dur menganggap pesantren sebagai subkultur yang sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Menurutnya, pesantren memiliki peran penting dalam kultur masyarakat dan dapat mengarahkan dan membentuk perubahan ke masa depan yang lebih baik. Gus Dur juga menekankan bahwa pesantren sebagai literate society, yaitu masyarakat yang melek huruf, yang pada awalnya berfungsi sebagai pusat pemberantasan buta huruf bagi masyarakat di sekitarnya. Berikut beberapa hal yang menjadi poin penting dari visi misi Gusdur dalam mencetak generasi emas Indonesia.

Harmonisasi Kurikulum dalam Pesantren

Pandangan Gus Dur tentang pesantren sebagai subkultur yang terbuka terhadap perubahan dan menerima hal-hal yang baik dari tradisi lama maupun perubahan baru dapat diinterpretasikan sebagai nilai toleransi dalam menerima perbedaan dan kemajuan. Gus Dur menyampaikan kritik terhadap kurikulum pembelajaran di pesantren Indonesia pada masanya saat itu. Ia berpendapat bahwa pesantren belum memiliki fondasi pendidikan yang konsisten, kecuali dalam penggunaan buku-buku standar (Kutub Al-Muqararah) yang relatif serupa, atau materi ajar yang mirip.

Variasi ini muncul karena perbedaan dalam sistem pendidikan pesantren itu sendiri, dimana beberapa pesantren beroperasi dengan model pengajian tanpa sekolah/madrasah tradisional, beberapa menerapkan sistem pendidikan klasik, dan lainnya mengintegrasikan pengajian dengan sistem madrasah non-klasik. Namun, penting untuk diingat bahwa penyatuan kurikulum tidak akan tercapai selama masih terdapat perbedaan sistem yang dijalankan.

Kurikulum Terobosan

Gus Dur mengusulkan sebuah kurikulum khusus untuk pesantren di Indonesia, yang dirancang dengan pertimbangan untuk mengoptimalkan proses belajar mengajar. Kurikulum ini didesain untuk meminimalisir pengulangan materi, kecuali untuk memperdalam pemahaman, serta mengakomodasi latihan intensif dan mengatasi tantangan yang muncul dari urutan materi yang tidak linier.

Gus Dur menekankan pentingnya fokus pada nahwu-sharaf dan fiqih, mengingat kedua bidang ini memerlukan pengulangan untuk penguasaan yang lebih baik. Dengan demikian, kurikulum dirancang dengan alokasi waktu terbesar untuk kedua subjek tersebut. Selain itu, kurikulum ini membatasi pengajaran mata pelajaran lain hanya untuk satu tahun, tanpa adanya pengulangan. Pada tahun akhir, materi diajarkan mengenai hadits Shahih Bukhari dan Muslim serta Ihya’ Ulumuddin, untuk memastikan santri memiliki pemahaman yang kuat mengenai dasar- dasar Islam sebelum menyelesaikan pendidikan mereka.

Secara spesifik, kurikulum ini terbagi menjadi enam tahun pembelajaran dengan distribusi materi sebagai berikut: Tahun pertama dan ketiga akan fokus pada Nahwu, Fiqih, Sharaf, dan Tauhid, memberikan dasar yang kuat dalam pemahaman bahasa dan hukum Islam. Pada tahun keempat, pembelajaran akan berlanjut ke Fiqih, Balaghah, dan Tafsir, untuk memperdalam pemahaman santri tentang interpretasi dan aplikasi hukum. Di tahun kelima, kurikulum menyertakan Mantik, Ushul Fiqih, dan hadits, mempersiapkan santri untuk pendalaman lebih lanjut dalam studi Islam. Akhirnya, di tahun keenam, akan terfokus kepada hadis dan tasawuf, menandai puncak dari pendidikan spiritual dan intelektual santri. Kurikulum ini bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya kuat dalam teori dan praktik Islam, tetapi juga mampu menavigasi dan menginterpretasi kompleksitas kehidupan modern dengan bimbingan dari pemahaman agama yang mendalam.

Toleransi dan Keberagaman

Gus Dur terkenal sebagai sosok yang sangat menghargai keberagaman dan toleransi. Melalui pesantren, beliau ingin menanamkan nilai-nilai tersebut kepada generasi muda. Dengan memperkenalkan mereka pada berbagai perspektif dan kebudayaan, Gus Dur berharap untuk membentuk generasi yang dapat hidup berdampingan secara damai dalam keberagaman, menghargai perbedaan sebagai kekayaan yang memperkaya, bukan sebagai sumber konflik.

Daftar Pustaka

Aini, A. Q. (2018). Islam Moderat di Pesantren: Sistem Pendidikan, Tantangan, dan Prospeknya. Edukasia Islamika: Jurnal Pendidikan Islam, 3(2), 218-233.

Fitriah, A. (2013). Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Pribumisasi Islam. Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, 3(1), 39-59.

Hariyadi, M., & Husni, M. (2019). Pendidikan Pesantren Perspektif K.H. Abdurrahman Wahid (Gusdur). Jurnal Statement: Media Informasi Sosial dan Pendidikan, 9(1), 37-50.

Hasanah, U. (2015). Pesantren Dan Transmisi Keilmuan Islam Melayu-Nusantara; Literasi, Teks, Kitab Dan Sanad Keilmuan. ‘Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman, 8(2), 203-224.

Hantoro, R. R., Rosnawati, R., Saripuddin, S., Milasari, M., Hasibuan, L., & Us, K. A. (2022). Modernisasi dan Enkulturasi Budaya dalam Pendidikan Islam. Jurnal Ilmu Multidisplin, 1(2), 473-489.

Maâ, S. (2014). Ideologi Pesantren Salaf: Deradikalisasi Agama dan Budaya Damai. IBDA: Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 12(2), 198-209.

Muqoyyidin, A. W. (2014). Kitab kuning dan tradisi riset pesantren di nusantara. IBDA: Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 12(2), 119-136.

Muharir, M. (2017). Arkeologi Pemikiran Pendidikan Islam. Jurnal Al-Mutaaliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 2(1), 25-52.

Similar Posts