Hadis Tentang Dhab: Pandangan Rasulullah Saw. dalam Sunan Al-Nasa’i

Majalahnabawi.com – Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, yang terdapat dalam Sunan al-Nasa’i (No. 4314), mengisahkan peristiwa saat Rasulullah saw. sedang berada di atas mimbar dan ditanya tentang status hukum makan dhab (biawak padang pasir). Dalam kesempatan itu, Rasulullah saw. menjawab dengan tegas “Aku tidak memakannya dan tidak pula aku mengharamkannya.”

Hadis ini memiliki relevansi yang sangat menarik karena menyentuh masalah hukum halal dan haram dalam Islam, khususnya tentang konsumsi hewan yang tidak biasa dimakan oleh masyarakat pada umumnya. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang hadis tersebut, bagaimana para ulama memahaminya, serta implikasinya dalam praktik hukum Islam mengenai makanan.

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ سُئِلَ عَنْ الضَّبِّ فَقَالَ لَا آكُلُهُ وَلَا أُحَرِّمُهُ

Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw. diminta memberikan pandangan tentang dhab, sebuah spesies biawak yang biasa ditemukan di padang pasir. Hewan ini sering dikonsumsi oleh masyarakat di kawasan Jazirah Arab. Namun ketika ditanya, Rasulullah saw. memberikan jawaban yang diplomatis, “Aku tidak memakannya dan tidak pula aku mengharamkannya.

Pernyataan ini mengandung dua hal penting: pertama, Rasulullah Saw. secara pribadi tidak mengonsumsi dhab, dan kedua, beliau juga tidak melarang umatnya untuk memakannya. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam Islam terkait beberapa hal yang tidak secara eksplisit diharamkan oleh al-Quran atau hadis sahih lainnya. Menurut Imam al-Nawawi dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Rasulullah saw. mungkin tidak mengonsumsi dhab karena faktor budaya atau pribadi, bukan karena hewan tersebut diharamkan dalam syariat. Al-Nawawi menjelaskan bahwa pilihan untuk tidak memakan sesuatu bukanlah bentuk pengharaman, melainkan sekadar preferensi pribadi Rasulullah saw.

Hukum Makan Dhab dalam Islam

Dalam tradisi Islam, penentuan halal dan haram makanan merupakan isu yang sangat diperhatikan. Sumber utama hukum Islam, Al-Qur’an dan hadis menjadi acuan utama dalam menentukan status kehalalan suatu makanan. Namun, ketika tidak ada nash yang jelas tentang suatu jenis makanan, ulama mengambil pendekatan ijtihad berdasarkan kaidah-kaidah umum syariat.

Dalam kasus dhab, hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak mengharamkannya meskipun beliau tidak memakannya. Dengan demikian, hewan ini tidak termasuk dalam kategori haram seperti babi atau hewan-hewan yang dilarang secara tegas dalam al-Quran.

Ulama kemudian bersepakat bahwa dhab adalah hewan yang halal dikonsumsi, kecuali bagi orang yang tidak terbiasa dengan hewan tersebut atau merasa jijik untuk memakannya. Ini merupakan salah satu contoh fleksibilitas syariat Islam dalam hal makanan, di mana setiap orang memiliki pilihan sesuai dengan kebiasaan dan seleranya masing-masing, selama tidak melanggar hukum syariat. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa dhab merupakan hewan yang halal dimakan. Ibnu Hajar merujuk pada beberapa riwayat di mana sahabat Nabi saw. seperti Khalid bin Walid, mengonsumsi dhab di hadapan Nabi saw. dan Nabi saw. tidak melarangnya.

Pandangan Ulama Tentang Hadis Ini

Ulama sepakat bahwa hadis ini memberikan pelajaran penting tentang sikap Rasulullah saw. dalam menghadapi perbedaan kebiasaan dalam konsumsi makanan. Beliau tidak memaksakan pandangannya kepada umatnya dan membiarkan masalah ini menjadi pilihan pribadi selama tidak melanggar syariat. Hal ini mengajarkan umat Islam tentang toleransi dalam masalah yang bersifat mubah (diperbolehkan).

Ada beberapa ulama yang memberikan pandangan berbeda tentang alasan Rasulullah saw. tidak memakan dhab. Sebagian berpendapat bahwa beliau tidak memakannya karena ketidaksukaannya secara pribadi, sementara yang lain berpendapat bahwa mungkin Rasulullah saw. tidak terbiasa dengan makanan tersebut karena bukan merupakan makanan yang biasa dikonsumsi di daerah beliau. Menurut Imam Syafi’i dalam al-Umm, Nabi saw. tidak mengharamkan dhab karena tidak ada dalil yang jelas yang mengharamkannya. Imam Syafi’i juga menyebutkan bahwa preferensi pribadi Nabi saw. terhadap makanan tertentu tidak menjadi dasar hukum bagi umatnya, selama tidak ada larangan yang jelas dari syariat.

Hikmah di Balik Hadis Ini

Hadis ini memberikan kita beberapa hikmah penting. Pertama, Islam tidak memberatkan umatnya dengan aturan-aturan yang tidak perlu. Ada banyak hal yang diberikan kebebasan kepada umat Islam untuk dipilih, termasuk dalam hal makanan, selama tidak melanggar ketentuan syariat. Dalam hal ini dhab adalah salah satu contohnya, di mana Rasulullah saw. tidak memakannya karena preferensi pribadi, tetapi tidak melarang orang lain untuk memakannya.

Kedua, hadis ini juga menunjukkan toleransi dalam perbedaan budaya. Sebagai pemimpin umat, Rasulullah saw. tidak memaksakan selera atau kebiasaan pribadinya kepada umatnya. Ini menunjukkan bahwa Islam menghargai keragaman budaya dan memberikan ruang bagi umatnya untuk mengekspresikan kebiasaan mereka selama masih berada dalam batasan syariat.

Ketiga, hadis ini juga mengajarkan kita untuk tidak mudah mengharamkan sesuatu tanpa dasar yang jelas dari al-Quran atau hadis. Terkadang, ada kebiasaan atau praktik yang kita tidak sukai secara pribadi, tetapi hal tersebut tidak bisa serta-merta dianggap haram. Ini adalah pelajaran penting dalam menjaga kehalalan dan keharaman dalam Islam. Dalam pandangan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam Muwaththa’, Rasulullah saw. memberikan teladan untuk tidak mempersempit aturan halal dan haram tanpa dasar yang jelas. Beliau menyebutkan bahwa hukum asal sesuatu adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Kesimpulan

Hadis tentang dhab yang terdapat dalam Sunan al-Nasa’i ini memberikan pelajaran penting tentang hukum makanan dalam Islam. Meskipun Rasulullah saw. tidak memakan dhab, beliau juga tidak mengharamkannya, sehingga hewan ini tetap diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh umat Islam. Hadis ini menunjukkan fleksibilitas dalam syariat Islam dan mengajarkan umat untuk tidak berlebihan dalam menentukan halal-haram suatu makanan.

Dalam konteks yang lebih luas, hadis ini juga mengajarkan kita tentang toleransi dalam perbedaan kebiasaan dan budaya, serta pentingnya untuk tidak mudah mengharamkan sesuatu tanpa dasar yang kuat dari al-Quran atau hadis.

Similar Posts