Haji Berulang dalam Pandangan KH. Ali Mustafa
Majalahnabawi- Dalam pengajian Ramadan tahun ini, kami angkatan Anshori yang merupakan santri Kiai Ali Mustafa Yaqub telah mengkaji tentang pemikiran beliau melalui beberapa bukunya. Pengajian ini langsung diampu oleh salah satu asatiz terdekatnya, yaitu Ustaz Muhammad Hanifuddin, Lc. S.Si. S.Sos. Beliau mungkin bisa disebut sebagai santri terlama yang tinggal di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences.
Dari beberapa buku yang kami kaji, ada beberapa pemikiran beliau yang dapat kita pelajari dan ikuti jejaknya. Salah satunya, beliau sangat perhatian dalam menyikapi keadaan sosial masyarakat yang sedang Trending. Misalnya, saat terjadi peperangan antar umat beragama (peristiwa bom bali) pada tahun 2002. Pada saat itu, terdapat beberapa oknum dari kaum Muslimin yang memerangi Non-Muslim dengan dasar bahwa semua darah Non-Muslim itu halal untuk ditumpahkan, saat itu juga Kiai Ali ikut andil dalam mempersatukan bangsa dengan menuliskan beberapa artikel tentang kerukunan umat beragama. Di samping itu, beliau juga kemudian menuliskan sebuah buku yang berjudul “Islam Antara Perang dan Damai” yang menjelaskan tentang Islam yang Rahmatan lilalamin, tentang bagaimana Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap baik kepada Non-Muslim, serta bagaimana ajaran Islam yang sebenarnya mengenai peperangan dengan umat Non -Muslim.
Ibadah individu daripada Ibadah Sosial
Selain itu, ada juga pemikiran beliau yang tidak kalah menariknya untuk kami bahas. Yaitu sikap beliau terhadap umat atau masyarakat yang terlalu mementingkan ibadah individu daripada ibadah sosial. Dalam hal ini beliau selalu memberikan contoh terhadap jamaah haji dan umrah yang melakukannya bukan hanya sekali dua kali. Akan tetapi berkali kali. Sehingga saat kita baca buku-buku beliau pada judul “Haji Pengabdi setan” misalnya, “Mewaspadai Provokator Haji”, dan selain kedua buku itu, maka akan kita temukan sikap beliau yang sangat tegas memberikan nasehat kepada umat mengenai haji berulang ini. Sebab hal tersebut bertentangan dengan apa yang diajarkan dan dicontohkan oleh Kanjeng Nabi Saw. Maka pada kesempatan kali ini, melalui bukunya yang berjudul “Mewaspadai Provokator Haji” penulis akan sedikit mengupas tentang pemikiran beliau terhadap kasus haji dan umrah yang berulang-ulang ini.
Kasus Haji dan Umrah yang Berulang-ulang
Dalam bukunya itu, beliau memaparkan bahwa banyak dari kalangan masyarakat yang lebih mementingkan ibadah individu daripada ibadah sosial. Mereka lebih senang pergi haji dan umrah ke Baitullah daripada bersedekah kepada fakir miskin, yatim, dan janda. Bahkan sebagian dari mereka ada yang pergi haji dua kali, tiga kali, empat kali, bahkan lima kali. Sementara umrah ada yang melakukannya setahun sekali setiap bulan Ramadan. Artinya jika dia hidup selama 40 tahun, kemudian katakan saja misalnya dia mulai umrah di umur 30 tahun, maka dia sudah 10 kali melakukan ibadah umrah yang mana notabennya adalah ibadah sunnah bersifat individu. Padahal Nabi tidak pernah mencontohkan hal tersebut.
Jika kita lihat dalam kacamata sejarah, Nabi Saw hanya melakukan haji sekali dan umrah tiga kali. Hal ini di latarbelakangi dengan banyaknya fakir miskin, yatim, dan para janda saat itu. Sehingga beliau lebih mementingkan ibadah sosial dengan bersedekah untuk mereka ketimbang pergi haji dan umrah. Padahal Nabi Saw bisa saja melakukan haji dan umrah berulang kali. Namun Nabi Saw, tidak pernah melakukannya.
Kemudian jika kita tarik kepada masa sekarang, maka sangat tepat sekali ketika jamaah haji dan umrah itu lebih mementingkan untuk melaksanakan ibadah sosial dengan menyedekahkan hartanya kepada fakir miskin, anak yatim, dan para janda ketimbang menggunakan hartanya untuk pergi haji dan umrah berulang kali. Sebab kemiskinan di Indonesia sangat tersebar luas, begitu juga anak-anak yatim dan para janda. Sehingga, alangkah baik dan bijaknya jika seseorang lebih memilih untuk menyedekahkan harta tersebut ketimbang pergi haji dan umrah.
Faktor yang Melatarbelakangi Masyarakat Lebih Memilih Pergi Haji dan Umroh
Dalam buku yang berjudul “Mewaspadai Provokaktor Haji” ini Kiai Ali Mustafa Yaqub tidak sedikitpun membahas terkait faktor yang melatarbelakangi masyarakat lebih memilih untuk melakukan ibadah haji dan umrah yang bersifat individu ketimbang bersedekah kepada fakir miskin, anak-anak yatim dan para janda yang bersifat sosial. Sehingga hal tersebut mendorong kami untuk berfikir lebih luas terkait masalah ini, dan mencari solusi untuk mengatasi permasalahnya.
Maka pada diskusi pagi itu, kami memiliki pandangan bahwa yang melatarbelakangi masyarakat lebih memilih untuk pergi haji dan umrah ketimbang bersedekah kepada fakir miskin, anak-anak yatim, dan para janda adalah adanya manipulasi dana yang mereka berikan. Artinya terdapat beberapa oknum yang memanfaatkan kesempatan ini untuk memperkaya diri dengan membangun rumah yatim-duafa misalnya: panti asuhan, dan lain sebagainya. Maka dari itu,hal tersebut membuat masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan adanya lembaga-lembaga seperti itu dan memilih untuk menyimpan hartanya untuk kepentingan pribadi. Salah satunya untuk digunakan ibadah umrah di bulan suci Ramadan.
Beberapa Cara untuk Membangun Kembali Kepercayaan Masyarakat
Maka oleh karena itu, untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terkait masalah ini kami melakukan diskusi yang cukup panjang. Dari diskusi tersebut kami memiliki hasil sebagai berikut:
- Transparan
Setiap Lembaga yang menerima donasi dari para donatur harus terlihat secara transparan saat lembaga tersebut menyalurkan sumbangan itu kepada fakir miskin, anak-anak yatim, ataupun para janda. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengambil gambar saat acara penyaluran sumbangan.
- Akuntabel
Setiap lembaga yang menerima donasi dari para donatur harus dapat mempertanggungjawabkan harta tersebut agar dapat sampai kepada yang berhak menerimanya. Jika donasi itu hilang misalnya, maka lembaga harus menggantinya.
- Modern
Menyesuaikan perkembangan zaman dalam pelaksanaannya. Misalnya sekarang, menggunakan platform digital seperti dompet dhuafa dll.
- Memiliki strategi pengembangan yang jelas
Lembaga harus mempunyai strategi pengembangan yang jelas dalam merangkul setiap orang yang membutuhkan. Sehingga harapannya donasi yang turun dapat mengalir dengan baik.
- Objek penggunaan harus jelas
Dengan membukitikan kepada masyarakat terkait 5 poin di atas, harapannya masyarakat bisa kembali percaya kepada lembaga-lembaga yang mengelola yatim-duafa, panti asuhan, dan lembaga lain yang serupa. Sehingga mereka dapat Kembali menyalurkan hartanya untuk berdonasi kepada orang-orang yang membutuhkan.