Haji Zaman Dulu Lebih Transformatif
Majalahnabawi.com – Jadi, haji pada zaman dahulu itu transformatif mampu mengubah pandangan orang menguatkan iman dan keislamannya.
Musim Haji telah tiba. Saudi Arabia pun berbenah menyambutnya. Gedung-gedung tinggi menjulang dipersiapkan untuk penginapan para jamaahnya. Apa komentar Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, menyikapi perkembangan demi perkembangan pelaksanaan ibadah haji? “Ada semacam komodifikasi haji.” katanya. Berikut wawancaranya.
Bagaimana haji mampu menjadi kebanggaan tersendiri bagi kebanyakan muslim Indonesia?
Kita tahu haji adalah rukun Islam yang kelima, sehingga setiap muslim berkeinginan beribadah haji untuk “melengkapkan keislamannya. Ketika bangsa Indonesia memeluk Islam secara massal pada akhir abad 12, secara bertahap mereka ingin menjadi muslim yang lebih baik, salah satunya dengan cara mengamalkan dan menjalankan seluruh. rukun Islam, termasuk haji. Tentu saja ada syarat-syarat tertentu seperti istitho’ah dan sebagainya yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Pada masa awal, banyak umat muslim di Indonesia, sekitar abad 12 atau 13, kita belum memiliki catatan mengenai muslim Indonesia yang berhaji dan itu baru ada pada abad 15 sampai 17, ditandai dengan munculnya kesultanan-kesultanan di Indonesia. Kerajaan seperti Kesultanan Aceh, Mataram, memulai kontrak politik dengan Turki Usmani dan penguasa Hijaz yang disebut syarif. Pada catatan sekitar itu, dikisahkan muslim Indonesia pergi haji naik kapal laut membawa barang barang dagang terutama rempah-rempah, persembahan-persembahan atau hadiah semisal souvenir, dari Nusantara untuk penguasa di Timur Tengah.
Bukan Sekedar Haji
Mereka juga mengatakan dalam kontrak politiknya bahwa kesultanan di Indonesia ini menjadi pengikut Kesultanan Turki Usmani, misalnya. Sebagian mereka menetap di Saudi Arabia, terutama Makkah dan Madinah. Mereka belajar di situ bertahun tahun. Sosok ulama seperti Syekh Abdul Rauf Singkel, Syekh Yusuf al Makassari, setelah hampir dua dasawarsa berada di sana, mereka kembali ke Indonesia. menjadi tokoh terkemuka di abad 17.
Maka salah satu peranan haji bukan sekedar menunaikan ibadah, tapi juga untuk menuntut ilmu, terutama terkait keislaman yang kemudian disebarkan di Indonesia. Nah, mereka mengajarkan dan menulis kitab-kitab terkait tafsir, Hadis, fikih dan terpenting pula dalam ilmu tasawuf. Tarekat yang sesuai dengan syariat dan fikih, yang dalam istilah sekarang disebut tarekat mu’tabarah dan diakui tidak menyimpang, mereka sebarkan di tanah air.
Setelah kolonial Belanda datang pada abad 17 sampal pertengahan abad 19, pergi haji itu susah, karena pembatasan pembatasan ketat diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Akibatnya, jamaah haji Indonesia relatif sedikit. Kemudian pada seperempat akhir abad ke 19, pemerintah Belanda mulai melonggarkan ketentuan haji terutama kurun 1870 dan 1880-an, lantas jumlah jamaah haji dari Indonesia itu memegang rekor terbanyak dari kawasan dunia Muslim.
Apa peran signifikan haji bagi pelakunya, juga bagi bangsa Indonesia?
Jamaah haji yang kembali ke tanah air, ternyata mendapat status sosial tertentu dan sangat dihormati, karena golongan ini dianggap lengkap melaksanakan rukun Islam, sehingga tampak memiliki status keagamaan yang lebih tinggi. Contoh, dipanggil Pak Haji dan Bu Hajah. Namun selain dihormati, para haji yang kembali ini juga memainkan peran penting dalam memajukan pendidikan dan masjid waktu itu, sehingga kemudian menjelang akhir abad ke-19 terjadi apa yang disebut kebangkitan Islam di Indonesia.
Saya pernah diundang oleh pemerintah Saudi Arabia pada musim haji tahun 2005, membahas peran haji dalam dinamika Islam Indonesia. Kira-kira peranan haji itu, diantaranya meningkatkan kesalehan. Oleh karena orang haji, maka dia akan lebih hati-hati bersikap, meski yang tidak demikian pun ada. Jadi tingkat kesalehan dan keislaman juga meningkat. Selanjutnya diikuti secara konkret dengan pendirian pesantren, pengajian, masjid, musala, dan sebagainya.
Peranan yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan sikap antikolonialisme Belanda. Salah satu dampaknya adalah perlawanan bersenjata secara masif terhadap Belanda sejak akhir abad 19 sampai awal abad 20 dalam masa pergerakan nasional.
Apakah status sosial haji sebagai orang yang lebih “berkualitas” itu masih tersisa sekarang?
Mari kita runut, perjalanan ibadah haji sampai sekitar 1970-an itu naik kapal dagang bermesin uap berbulan-bulan, perjalanannya lambat dan lama. Ternyata perjalanan calon jamaah haji yang berangkat dalam masa panjang itu menumbuhkan rasa persaudaraan dan meningkatkan ukhuwah islamiyah. Orang yang pergi haji, meski pada awalnya bukan kalangan santri, dan bergaya bangsawan, nyatanya ada seorang Menteri Agama dari Bandung bernama RAA Wiranatakusumah.
Ternyata dalam perjalanan yang lama itu ia melihat penderitaan haji ini pada rekan yang seagama dan seiman. Selanjutnya ia mengalami intensifikasi keislaman dan ukhuwah islamiyah. Jadi, haji pada zaman dahulu itu transformatif mampu mengubah pandangan orang menguatkan iman dan keislamannya.
Sang menteri menyaksikan di perjalanan itu ada yang sakit, meninggal, kesusahan, Lantas muncullah empati dan simpati sesama muslim. Yang terlihat sekali dari kisah perjalanan RAA Wiranatakusumah itu bagaimana ia mengalami proses transformasi keislaman yang dahsyat.
Sekarang ini memang sudah agak lain. Dahulu saat naik kapal, haji agak kacau balau.
Pada saat yang sama muncul pesawat jet besar yang bisa mengangkut banyak orang sangat cepat. serta Perjalanan haji yang tadinya berbulan bulan dengan kapal, dengan pesawat jet bisa 7-8 jam saja dari sini. Akibatnya interaksi jamaah haji satu sama lain itu kurang. Ada hal yang tidak muncul sebagaimana haji dengan kapal dagang.
Memang saya kira sampai mungkin awal 1990-an kesyahduan haji itu masih kuat ketika di Makkah dan Madinah. Waktu itu ibadah haji masih dilaksanakan dengan fasilitas yang tidak terlalu mewah.
Problem ONH Plus
ONH plus, yang mendapatkan fasilitas khusus, itu masih sedikit. Sementara ONH biasa tinggal di Maktab, yang mungkin ruangan itu mestinya dihuni oleh 4 orang diisi sepenuh-penuhnya. Jadi pelaksanaan manasiknya itu pun masih sulit, dan kesyahduan ibadah haji itu masih tinggi.
Tapi kemudian sesuai dengan peningkatan ekonomi di Saudi Arabia, kontribusi calon jamaah haji sebagal service fee pun semakin meningkat diiringi fasilitasnya. Hotel-hotel berbintang lima semakin banyak.
ONH plus dari Indonesia pun semakin banyak dengan bayaran yang mungkin 2 atau 3 kali lipat dari ONH biasa.
Saya, Januari 2015, pergi umrah dan diundang konferensi di Riyadh. Saya kaget Masjidil Haram itu benar-benar dibangun ulang. Dari semua kolom-kolom yang ditinggalkan dulu oleh Turki Usmani sudah diganti semua, diganti dengan tiang tiang besar. Saya lihat Masjidil Haram menjadi arena konstruksi bangunan yang kacau balau. Udah gak karuan. Tapi kita masih bisa umrah.
Saya kira menjelang musim haji ini pembangunan ulang Masjidil Haram itu sudah selesai. Memang mungkin orang bilang perluasan, tapi yang ada di lapangan itu pembangunan ulang. Nah selain itu, pembangunan hotel-hotel super mewah, mungkin bintang tujuh atau bintang delapan, di Indonesia mungkin tidak ada. Yang paling mahal, ada yang mencapai 10.000 USD semalam. Jadi ada kecenderungan itu komodifikasi haji. Haji menjadi komoditas. Melihat lingkungan Masjidil Haram itu dikangkangi oleh gedung-gedung yang mencerminkan gaya hidup yang hedonistik, itu menyedihkan.
Jadi pembentukan kelas sosial dan ekonomi itu terjadi bahkan di lingkungan Makkah sendiri?
Ya, kelas-kelas itu, terlebih setelah mengerjakan umrah atau di sela ibadah haji. Pakaian ihram dilepas, kemudian jamaah haji memakai pakaian kelompoknya masing-masing yang mencerminkan kelas-kelas sosial. Itu salah satu rupanya.
Jadi semacam ada kontradiksi dalam penyelenggaraan ibadah haji, dalam satu sisi kesadaran ibadah ke tanah suci meningkat, tapi ada penurunan pemaknaan haji. Bagaimana menjelaskan ini?
Begitu banyak orang Islam Indonesia yang naik haji sehingga kuota yang diberikan itu belum memadai, sehingga haris menunggu sesuai dengan kuota daerahnya. Umrah pun jadi alternatif. Oleh karena itu, akhirnya pemerintah Saudi Arabia pun membatasi jamaah umrah dari Indonesia, apalagi pada waktu Ramadan. Umrah Ramadan oleh sekelompok orang dianggap sama dengan ibadah haji. Akibatnya, umrah itu juga menjadi gaya hidup. Jika liburan pergi ke sana, kalau musim liburan anak sekolah, kerja, atau mungkin cuti, pergi umrah dan dikombinasikan dengan ziarah ke negara lain.
Bagaimana harapan Bapak mengenai penyelenggaraan ibadah haji Indonesia kemudian aplikasinya?
Saya pernah rapat dengar pendapat dengan DPR RI terkait haji. Saya katakan pengelolaan haji tetap harus ditangani oleh pemerintah. BPH (Badan Pelaksana Haji) khusus untuk haji, karena ini banyak melibatkan banyak warga. Haji itu sudah menjadi bisnis yang mendatangkan banyak uang. Oleh karena itu saya menolak jika dilaksanakan perusahaan swasta, yang jelas orientasinya adalah profit.
Pemerintah yang melaksanakan, sehingga kita bisa menuntut pemerintah selalu memperbaiki layanan karena negara tidak boleh mencari untung dari orang beribadah. Sering kita dengar jamaah haji yang ditelantarkan oleh suatu perusahaan swasta, telantar di Jakarta, di Cengkareng, tidak ada visanya, tidak ada jalur untuk mengurusi di Kedutaan.
Atau misalnya juga mungkin atau diberangkatkan sampai ke Singapura saja, tidak sampai ke Saudi Arabia. Muncullah fenomena pada tahun 60-an, atau sejak zaman Belanda sekitar awal abad 20 yang disebut dengan haji Singapura Jamaah hajinya terlantar di Singapura, dan oleh pemerintah Inggris di Singapura waktu itu mereka dikembalikan ke Indonesia.
Ternyata ada pula perusahaan yang menelantarkan Jamaahnya di Makkah sehingga terlunta-lunta. Terabaikan akomodasinya, tidak ada maktab dan hotelnya, tidur dipinggir jalan. Jamaah haji Indonesia biasanya jauh lebih tertib, kecuali tadi itu yang dikirim oleh travel agen dan ditinggalkan begitu saja. Oleh karena itulah kita bersyukur pemerintah penyelenggara haji membuka klinik di Aziziyah, sekarang pindah di Makkah. Meski mereka bukan jamaah haji ONH tapi mereka kan juga warga Indonesia.
Tulisan ini sudah terbit di Majalah Nabawi cetak Edisi 112/Zulqa’dah-Zulhijjah 1436 H. Reporter: M. Iqbal Syauqi al-Ghiffary dan Muhammad Kamal