Hak dan Kewajiban Manusia Perspektif Ushuliy

Majalahnabawi.com – Manusia sebagai makhluk yang sempurna tentu memiliki hak dan kewajiban dalam hidupnya. Termasuk dari hal ini adalah hak dan kewajiban dari dan kepada Allah Swt. Namun kapan hak manusia melekat dalam dirinya? Kemudian kapan manusia mendapatkan kewajiban? Apakah setiap manusia memiliki hak penuh terhadap diri dan orang lain selama masa hidupnya? Atau adakah syarat-syarat manusia bisa mendapatkan haknya?

Definisi Ahliyah

Dalam ilmu Ushul Fikih, terdapat sebuah pembahasan yang berkaitan dengan Ahliyah, yang dari segi bahasa bermakna “kelayakan”. Sedangkan dari segi istilahnya, ulama ahli Ushul membagi Ahliyah menjadi dua, yaitu Ahliyah al-Wujub dan Ahliyah al-Ada’.

Ahliyah al-Wujub adalah kelayakan seorang manusia untuk mendapatkan hak-haknya dan dibebankan kepadanya berbagai macam kewajiban. Tetapnya ahliyah ini berdasar pada hidup manusia itu sendiri, jadi selama manusia itu hidup maka selama itulah ia memiliki Ahliyah al-Wujub.

Sedangkan Ahliyah al-Ada’ merupakan kelayakan manusia untuk dituntut atasnya sebuah tindakan, dan untuk dianggap ucapan dan tindakannya dihadapan hukum, dengan ungkapan lain, Ahliyah al-Ada’ adalah layaknya manusia mendapatkan sebuah konsekuensi dari segala tindakannya. Contohnya saat ia melaksanakan ibadah atau transaksi, maka tindakannya bisa disahkan dan dianggap oleh syariat. Oleh karena itu, dasar tetapnya Ahliyah al-Ada’ ini lebih spesifik, yaitu tamyiz.

Namun ternyata, manusia tidak serta merta bisa mendapatkan Ahliyahnya secara sempurna. Terkadang Ahliyah tersebut bisa hilang, atau berkurang, atau berubah hukumnya sebab hal-hak internal maupun eksternal dari diri manusia. Berikut fase kehidupan manusia dengan Ahliyahnya sejak ia berada di dalam kandungan, hingga mencapai umur balig dan berakal.

Fase Perkembangan

1. Fase Pertama: Janin

Dari sudut pandang Ushuliy, manusia yang masih dalam kandungan ibunya dipandang sebagai bagian yang melekat bersama ibunya, ia menetap, bergerak, dan berkembang sesuai kondisi ibunya. Maka dalam pandangan ini, janin manusia dianggap tidak memiliki Ahliyah al-Wujub sama sekali.

Sedangkan bila kita melihat janin manusia sebagai makhluk tersendiri yang memiliki jasad dan ruh, terlepas dari ia melekat dalam kandungan ibunya, maka ia memiliki Ahliyah Wujub meskipun sifatnya tidak sempurna (naqish). Oleh karena itu, janin bisa mendapatkan hak yang sifatnya tidak butuh serah terima (Qabul) seperti hak janin mendapatkan warisan saat ayahnya wafat. Adapun hak yang membutuhkan serah terima, maka janin tidak memiliki wewenang sama sekali, seperti menerima hibah, jual beli, pinjam meminjam, dan lainnya.

2. Fase Kedua: Saat Lahir hingga Menjelang Tamyiz

Saat janin lahir dalam keadaan hidup, maka ia memiliki Ahliyah Wujub sempurna. Sejak ia menjadi bayi hingga menjelang tamyiz, segala tindakannya wajib dipertanggungjawabkan dan harus dipenuhi hak-haknya. Dalam hal ini, terdapat dua perincian,

– Hal-hal yang berkaitan dengan hak manusia dan bersifat harta, seperti bayi yang merusak barang orang lain, maka ia wajib mengganti rugi kerusakan barang tersebut, namun kewajibannya masih diwakilkan kepada walinya.
Sedangkan hak manusia yang sifatnya sanksi, seperti bayi yang mencuri atau bahkan membunuh secara tidak sengaja, maka ia tidak dihukum, sebab tindakannya bukan bersumber dari dirinya sendiri karena ketidaksempurnaan akalnya.

– Hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah murni, seperti sholat dan puasa, maka seorang bayi belum diwajibkan sama sekali. Sedangkan hak Allah yang bersifat hukuman dan terkait dengan hak manusia juga seperti hukum hudud dan qisos, maka bayi tidak mendapatkannya pula seperti yang telah dijelaskan.

Dan karena akal seorang bayi belum sempurna, maka ia tidak memiliki Ahliyah Ada’sama sekali sehingga segala tindakan transaksi, ucapan dan perbuatannya tidak bisa dianggap dihadapan hukum sampai menjelang masa tamyiz dan balig.

3. Fase Ketiga: Tamyiz hingga Balig

Fase ini bermula saat anak kecil beranjak di umur tujuh tahun hingga ia mencapai baligh. Dalam fase ini juga ia memiliki Ahliyah Wujub sempurna, karena Anak kecil yang belum tamyiz. Sedangkan Ahliyah Ada’nya masih tidak sempurna (naqis) dengan perincian sebagai berikut

– Transaksi yang manfaatnya murni bagi anak kecil itu sendiri seperti bersedekah, menerima pemberian orang lain (hibah) dan menerima wasiat maka hukumnya sah tanpa bergantung terhadap izin walinya.
– Transaksi yang mengandung madarat atau bahaya, yakni transaksi yang bisa menghilangkan hak kepemilikan tanpa adanya pertukaran, seperti hibah dan wakaf, maka hukumnya tidak sah meskipun mendapatkan izin dari wali.
– Transaksi yang mengandung bahaya dan manfaat secara bersamaan, seperti jual beli, sewa menyewa, dan lainnya yang mengandung unsur untung dan rugi, maka hukumnya sah drngan catataan anak kecil tersebut mendapatkan izin dari walinya.

4. Fase Keempat: Baligh dan Seterusnya

Manusia yang sudah melewati masa tamyiz dan mencapai masa baligh, maka ia memiliki Ahliyah Wujub dan Ahliyah Ada’ secara sempurna sehingga segala ucapan dan tindakannnya sudah layak untuk dianggap dihadapan hukum, begitupun segala konsekuensi dan tanggung jawab dari perbuatannya.

Similar Posts