Hak Individual Vs Kemaslahatan: Main Gusur Sembarangan

Majalahnabawi.com – Berbagai proyek selalu meningkat setiap tahunnya baik itu di kota maupun di desa. Proyek tersebut tidak lain untuk memenuhi hasrat yang termiliki oleh manusia. Bagaimana tidak, suara buldoser sering terdengar demi menciptakan sebuah bangunan.

Yang menjadi persoalan, acap kali pembangunan berimbas akan penggusuran di tanah rakyat dan masyarakat yang mau tidak mau mereka harus melepaskannya, karena telah berhadapan dengan yang namanya kekuasaan.

Problematika Penggusuran atas Nama Kemaslahatan

Pembangunan ternyata masih memiliki dimensi yang begitu suram (penggusuran tanah rakyat). Banyak sekali beredar di surat kabar tentang penggusuran-penggusuran yang terjadi demi pembangunan. Apakah itu hotel berbintang, benteng pertahanan, atau pembangunan jalan.

Penggusuran tersebut juga terkadang diklaim atas dasar kemaslahatan atau kepentingan umum -yang katanya – lambat laut kepentingan ini akan kembali kepada individual.

Pembangunan memang sebuah peristiwa dan kejadian yang harus ditindak lanjuti, demi melangsungkan kesejahteraan. Memang benar pembangunan tersebut merupakan salah satu langkah yang mesti terlakukan untuk mendekati suatu tujuan.

Namun, apakah harus ada segelintir orang yang harus menjadi korban? Apakah tumbal memang dibutuhkan demi mewujudkan kesejahteraan? Apakah demi kemaslahatan, hak-hak individual harus terabaikan? Lantas bagaimana fikih menyikapi hal yang demikian?

Perspektif Islam Terhadap Hak Kepemilikan

Sebaiknya kita refleksi kembali makna yang terdapat di dalam Al-Qur’an:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ﴾ [النساء: 29]

Ayat ini menunjukkan bahwa tindakan yang merongrong hak seseorang sangat tidak benar. Dalam artian kepemilikan individual sangat prioritas didalam Islam.

Syaikh Abu Jakfar di dalam tafsirnya (Tafsir At-Thabari), menginterpretasikan lafad لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل bahwa seseorang terlarang keras untuk menggunakan hak orang lain dengan metode yang telah Allah Swt haramkan semisal riba judi dan lain-lain. Peristiwa semacam ini, tak lepas dari salah satu asas yang terdapat di dalam islam saat berkaitan dengan harta (hifdzu mal).

Di riwayat lain terkatakan bahwa Nabi pernah berdialog dengan seorang sahabat. Sahabat tersebut bertanya “Bagaimana andaikan ada seseorang yang akan datang dan ingin mengambil hartaku?” Nabi menjawab “Jangan beri hartamu!” Sahabat tersebut bertanya kembali “Bagaimana andaikan dia mengancam untuk membunuhku?”. Nabi menjawab “Maka bunuhlah dia”. Sahabat tersebut melanjutkan “Bagaimana jika dia membunuhku?”. Nabi bersabda “faanta syahidun (engkau mati syahid)”. sahabat tersebut mengejar “Kalau dia yang terbunuh lantas bagaimana?”. Nabi bersabda “Fahuwa fin nar (dia masuk neraka)”. (shahih muslim, majmu’ fatawa wa maqalat mutanawwiah, jilid 18, hal 224).

Dari hadis ini dapat tersimpulkan bahwa hak-hak individual harus terprioritaskan, dan tidak boleh teranggap sepele.

لما ثبت في صحيح مسلم عن النبي – صلى الله عليه وسلم-: أنه أتاه رجل فقال «يا رسول الله يأتيني الرجل يريد مالي فقال ﷺ: لا تعطه مالك، فقال الرجل: يا رسول الله فإن قاتلني؟ فقال النبي ﷺ: قاتله، فقال الرجل: يا رسول الله فإن قتلني؟ قال: فأنت شهيد، قال الرجل فإن قتلته؟ قال- ﷺ هو في النار

Pandangan Dr. Wahbah Al-Zuhaili Terhadap Hak Kepemilikan

Namun, di saat hadis-hadis ini ditabrakkan dengan maslah ammah (kepentingan umum) mana yang akan terdahulukan? Dr Wahbah Al Zuhaili menjelaskan bahwa hak individual hukumnya wajib untuk terperhatikan dan terjaga. Ruang lingkupnya pun tidak boleh dipersempit maupun dibatasi.

Pemiliknya mengendalikan propertinya dan dia memiliki hak dalam batas-batas proyek dalam segala aspek serta segala penggunaan yang sah. Beliau juga menyebutkan bahwa kepemilikan tidak boleh terhilangkan semata-mata maslahat ammah. Hal ini berlaku ketika menghilangkan kepemilikan tersebut tidak memenuhi empat kategori.

Pertama, pengambilan properti harus segera ada imbalan sebagai kompensasi yang adil dan penentuannya oleh para ahli.

Kedua, pengambilan properti harus melibatkan orang yang memiliki kredibilitas di dalam bidang ini.

Ketiga pencabutan tersebut berdasarkan kepentingan umum yang ternilai dari kebutuhan publik.

Keempat, properti yang terambil dari pemiliknya tidak boleh digunakan untuk investasi publik atau swasta, dan pengambilan tersebut tidak boleh dilakukan sebelum waktunya. (Fiqh islam wa adillatuhu, jilid 7, hal 5131)

ثانيًا: لا يجوز نزع ملكية العقار للمصلحة العامة إلا بمراعاة الضوابط والشروط الشرعية التالية:

١. أن يكون نزع العقار مقابل تعويض فوري عادل يقدره أهل الخبرة بما لا يقل عن ثمن المثل.

٢. أن يكون نازعه ولي الأمر أو نائبه في ذلك المجال

٣. أن يكون النزع للمصلحة العامة التي تدعو إليها ضرورة عامة أو حاجة عامة تنزل منزلتها كالمساجد والطرق والجسور

٤. أن لا يؤول العقار المنزوع من مالكه إلى توظيفه في الاستثمار العام أو الخاص، وألا يعجل نزع ملكيته قبل الأوان

Kepentingan dalam keadaan semacam inilah yang akan dimenangkan di saat berhadapan dengan hak individual. Dengan demikian, penggusuran dapat terealisasikan berdasarkan maslahat umum yang telah dijelaskan. Kendati demikian, pemilik harta berhak untuk mendapatkan kompensasi sebagai timbal balik dari hartanya.

Contoh lain yang termaktub di berbagai kitab klasik semisal masjid yang sudah tidak lagi menampung jamaah sehingga harus mengorbankan tanah milik warga sekitar guna meluaskan masjid. (Baca al-Ahkam as- Sulthaniyah al-Mawardi).

Ketentuan dalam Melakukan Penggusuran

Pada dasarnya, mengambil hak orang lain merupakan perbuatan yang haram. Bahkan pelakunya akan masuk ke dalam api neraka sebagaimana hadis di atas. Namun penggusuran boleh terjadi ketika telah memenuhi empat syarat. Namun, jika salah satu syarat tidak terpenuhi pemilik tanah berhak mempertahankan haknya dengan metode apapun, termasuk demonstrasi sekalipun mengancam jiwa.

Ketentuan ini juga tidak lantas memberikan peluang bertindak sewenang-wenang bagi pemerintah terhadap masyarakat. Meskipun di sana ada maslahat ammah perlu adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk menentukan harga dan didampingi oleh orang yang pakar di bidangnya.

Bukannya di dalam suatu transaksi harus ada yang namanya antaradhin (saling rela) satu sama lain. Sehingga tidak ada yang merasa merugi dari kedua belah pihak. Hal ini selaras dengan redaksi wasawirhum fil amri (musyawarahlah kamu dalam suatu perkara). Namun andaikan terdapat suatu kesulitan untuk melakukan musyawarah maka penentuan harga tertentukan dengan melihat tsaman al mitsli (harga pasar) di daerah sekitar.

Di luar itu semua, tidak ada satupun peluang untuk menggusur tanah rakyat dengan alasan apapun. Apakah pembangunan hotel berbintang, lapangan sepak bola, plaza dan lainnya, yang manfaatnya hanya kembali kepada segelincir orang, sekalipun berdalih negara yang bertopeng atas kemaslahatan. Jikapun terjadi perbuatan demikian, maka merupakan perbuatan dzolim yang dosanya sangat besar.

Similar Posts