| |

Hermeneutika Heidegger dan Tafsir Al-Qur’an: Antara Makna, Eksistensi, dan Konteks Historis

Majalahnabawi.com-Hermeneutika merupakan ilmu yang membahas proses interpretasi dan pemahaman, terutama dalam konteks teks, bahasa, dan eksistensi manusia. Salah satu tokoh penting dalam pengembangan hermeneutika modern adalah Martin Heidegger, filsuf Jerman yang menghadirkan pendekatan baru terhadap makna dan keberadaan manusia melalui konsep ontologis-hermeneutik. Artikel ini akan mengulas secara ringkas biografi singkat Heidegger, pokok-pokok pemikiran hermeneutikanya, serta relevansi pemikirannya dalam memahami tafsir Al-Qur’an melalui pendekatan eksistensial.

Mengenal Martin Heidegger

Martin Heidegger lahir pada 26 September 1889 di Messkirch, Jerman. Pendidikan awalnya dimulai dengan keinginan menjadi pendeta, namun kemudian ia memilih jalur filsafat dan menjadi murid Edmund Husserl—tokoh utama fenomenologi. Heidegger terkenal melalui karyanya yang monumental Sein und Zeit (Being and Time, 1927), yang kemudian menjadi titik awal transformasi pemikiran hermeneutika dari metode filologi menjadi pendekatan ontologis.

Hermeneutika Ontologis: dari Teks ke Eksistensi

Berbeda dari para pendahulunya, Heidegger tidak memandang hermeneutika sekadar sebagai metode menafsirkan teks, melainkan sebagai bagian fundamental dari keberadaan manusia. Menurutnya, manusia adalah makhluk hermeneutik yang selalu berada dalam proses memahami dirinya dan dunianya.

Pusat dari hermeneutika Heidegger adalah konsep Dasein, yang berarti “ada-di-sana”. Dasein bukan sekadar manusia secara fisik, tetapi eksistensi yang selalu terlibat dan tidak pernah netral terhadap dunia. Heidegger menolak pandangan bahwa makna adalah sesuatu yang objektif dan tetap, melainkan makna selalu historis, kontekstual, dan dipengaruhi oleh pengalaman eksistensial.

Empat Pilar Teori Hermeneutika Heidegger

Dalam kerangka filsafat hermeneutika Martin Heidegger, terdapat empat pilar utama yang menjadi dasar dalam memahami bagaimana manusia menafsirkan keberadaan dan makna di dunia. Pilar-pilar tersebut meliputi:

1.     Faktisitas (Thrownness)

Manusia tidak lahir dalam ruang kosong, melainkan “dilempar” ke dalam budaya dan sejarah tertentu. Ini membuat pemahaman manusia selalu terbentuk oleh lingkungan dan tidak pernah netral.

2.     Pemahaman (Understanding)

Bagi Heidegger, pemahaman bukan sekadar proses mental, tetapi cara manusia “mengada”. Ia bersifat temporal, historis, dan selalu dalam konteks.

3.     Relasi Ontologis-Eksistensial

Makna lahir dari keterhubungan antara manusia dan dunia. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi bagian dari eksistensi manusia.

4.     Waktu (Temporalitas)

Eksistensi Dasein mencakup masa lalu, masa kini, dan masa depan. Waktu menjadi dimensi penting yang membuat pemahaman bersifat dinamis dan terus berkembang.

Implikasi dalam Studi Tafsir Al-Qur’an

Pemikiran Heidegger membuka cakrawala baru dalam studi tafsir. Salah satu contohnya adalah ketika pemikiran hermeneutika Heidegger digunakan untuk menelaah tafsir Hamka terhadap kata Auliya dalam QS. Al-Maidah [5]: 51.

يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصْرَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّلِمِينَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maidah: 51).

Di dalam ayat tersebut, Hamka tidak secara rinci mendefinisikan istilah auliya dalam ayat tersebut. Sebaliknya, ia langsung menjelaskan bahwa makna auliya dalam konteks ini adalah memiliki pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Menurut Hamka, larangan menyerahkan kepemimpinan kepada mereka merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang.

Dalam pandangan Hamka, ia menunjukkan sikap yang agak skeptis terhadap non-Muslim, khususnya Yahudi dan Nasrani. Menurutnya, kedua kelompok ini tidak membawa kedamaian, bahkan justru berpotensi menambah kerusakan. Lebih lanjut, Hamka berpendapat bahwa Yahudi dan Nasrani tidak dapat digolongkan sebagai Ahlul Kitab karena kitab suci mereka telah kehilangan keasliannya.

Adanya sikap ketidakadilan yang didorong oleh kelompok non-Muslim terhadap umat Islam menjadi salah satu alasan Hamka bersikap tegas dalam menolak kepemimpinan non-Muslim. Dari pemaparan di atas, dengan menggunakan pemikiran faktisitas Martin Heidegger, dapat dipahami bahwa tafsir Hamka tidak lagi bersifat sakral, melainkan telah menjadi teks yang bersifat duniawi karena terbentuk melalui proses berpikir manusia yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Heidegger menjelaskan bahwa pemahaman selalu berada dalam tiga dimensi utama, yaitu temporal, intensional, dan historis. Ketiga aspek ini kemudian berdampak pada dialog serta reproduksi tafsir-tafsir lainnya.

Kesimpulan

Martin Heidegger berhasil mendobrak batasan klasik hermeneutika dengan membawa pendekatan yang lebih eksistensial dan ontologis. Hermeneutika bukan lagi sekadar alat menafsirkan teks, melainkan menjadi proses manusia dalam memahami eksistensinya sendiri. Dalam dunia yang terus berubah, pendekatan ini menawarkan pemahaman yang lebih dalam dan manusiawi terhadap makna dan realitas.















Similar Posts