Hidayah Merupakan Urusan Allah
Majalahnabawi.com – Akhir-akhir ini kita menyaksikan beberapa orang yang ‘katanya’ telah mendapat hidayah dari Allah Swt, berbondong-bondong mengajak orang lain untuk ikut bersama-sama ke jalan yang diyakininya merupakan sebuah kebenaran. Tidak sedikit dari mereka justru mengajak orang lain dengan terkesan memaksa kehendaknya – kadang disertai dengan nafsu – untuk sama-sama ‘kembali ke jalan Tuhan’. Namun apakah dengan cara memaksa seseorang kembali ke jalan Allah merupakan hal yang dibenarkan? mari simak pembahasannya.
Apa itu Hidayah?
Hidayah berasal dari bahasa Arab هَدَى – يَهْدِيْ – هَدْيًا – هُدًى – هِدَايَةً yang berarti petunjuk atau bimbingan. Sedangkan menurut istilah adalah petunjuk halus yang diberikan kepada seseorang guna mendapatkan jalan kebenaran dan kebaikan. Dalam QS. al-Baqarah ayat 5, Allah Swt berfirman:
اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Artinya: Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Imam al-Baghawi dalam tafsir Ma’alimut Tanzil mengatakan, “petunjuk” itu adalah kebenaran dan hujah yang nyata. Sedangkan Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim berpendapat kata عَلٰى هُدًى adalah di atas cahaya, penerangan, hujah dari Allah., “mereka yang beruntung” di dunia dan di akhirat. Hal ini dikutip oleh Imam Ibnu Katsir dari pendapat Sayyidina Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa “mereka berada di atas petunjuk”.
Hidayah dari Allah
Selain dalam al-Baqarah, terdapat banyak ayat lain yang menyinggung soal hidayah. Misalnya, dalam QS. Ali-Imran: 73, QS. al-Nisa: 88 dan 143, QS. al-Maidah: 51, 67, dan 108, QS. al-An’am: 35 dan 125, QS. al-A’raf: 178 dan 186, QS. at-Taubah: 19, 24, 37, 80, dan 109 dan masih banyak lagi ayat yang bermakna bahwa hidayah itu merupakan otoritas dari Allah, dan hanya Allah-lah berwenang memberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Bahkan dalam QS. al-Baqarah ayat 272 Allah Swt berfirman:
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِاَنْفُسِكُمْ ۗوَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ اللّٰهِ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ
Artinya: Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfak melainkan karena mencari ridha Allah. Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).
Asbabun nuzul ayat ini adalah “Bahwa ada orang-orang yang tidak suka memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan Musyrik, lalu mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi mereka. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan memberi sedekah kepada kaum Musyrik.” (Diriwayatkan oleh al-Nasai, al-Thabrani dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat yang lain mengatakan, ayat ini turun karena pada suatu ketika Rasulullah melarang kaum muslimin untuk bersedekah kepada non-muslim, kemudian ayat ini turun sebagai bentuk perintah dari Allah bahwa setiap muslim boleh memberikan sedekah kepada siapapun dengan latar belakang agama yang berbeda dengan niat mencari ridla Allah Swt.
Nabi Ibrahim dan Orang Majusi
Terdapat kisah lain dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyah yang menceritakan bahwa teguran Allah kepada nabi Ibrahim As. karena tidak memberikan makan seorang Majusi yang enggan menyembah Allah
“Apakah kamu menyembah Allah?,” tanya Nabi Ibrahim kepada setiap orang yang ingin mengambil bantuan makanan darinya. Naas, salah satu kaum kafir Majusi itu enggan menerima syarat Nabi Ibrahim dan memilih pergi tidak menerima makanan tersebut. Setelah kejadian itu, Nabi Ibrahim ditegur oleh Allah Swt. “Selama 50 tahun dia kafir, namun Aku tetap memberinya makan. Bagaimana kau (Ibrahim) bisa memberinya sesuap makanan, namun menuntunya macam-macam?,” tegur Allah Swt kepada Nabi Ibrahim. Mendapat teguran, Nabi Ibrahim langsung mengejar kaum Majusi itu, lalu memberikan makanan yang sempat diminta.
Manusia Hanya Menyampaikan Kebenaran
Walaupun persoalan hidayah adalah wewenang Allah Swt. Tapi, sebagai umat yang beriman, kita tetap diberikan tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran (dakwah). Dalam QS. Alu Imran ayat 104, Allah berfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Artinya: Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda:
(فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ. (رواه البخاري ومسلم وأحمد
Artinya: Demi Allah, sesungguhnya Allah Swt memberikan hidayah kepada seseorang dengan (dakwah) mu, maka itu lebih baik bagimu dari unta merah. (HR. al-Bukhari, Muslim & Ahmad).
Jadi kesimpulannya adalah, dalam urusan hidayah, Allah-lah yang memberikan hidayah pada setiap orang yang dikehendaki-Nya, Allah lebih mengetahui siapa yang pantas untuk diberikan petunjuk atau diberikan kesesatan. Tugas kita sebagai orang beriman hanyalah menyampaikan kebenaran dengan tidak memaksakan kehendak kita sendiri.