Hidup Nabi Tidak Selalu Tentang Perang

Majalahanabawi.comPerang hanyalah sebagian kecil dari kisah sang Nabi. Sehingga menjadikan peperangan sebagai satu-satunya prototipe adalah sebuah kenaifan.

Setidaknya terdapat keresahan di benak masyarakat terhadap semangat keagamaan yang tampil dalam bentuk anarkis. Ironisnya sebagian masyarakat tetap mengamini hal tersebut sebagai representasi dari ajaran agama.

Hal ini juga terdorong tentang sirah Nabi yang cenderung menyoroti fenomena peperangan pada masa itu. Seolah-olah sirah tak lebih hanya sebatas etalase peperangan Nabi. Ini sebuah kenyataan. Buku-buku pelajaran lebih dominasi menceritakan bagaimana terjadinya perang Uhud, Khandak, Badr daripada menampilkan aspek humanis sang Nabi.

Ini juga berdampak pada pemaknaan konsep jihad yang hanya dipahami sebatas peperangan. Tentunya makna tersebut telah mengalami peyoratif di kehidupan kita saat ini, di mana peperangan menjadi hal yang menyeramkan bagi dunia modern.

Padahal jika dibulatkan kehidupan paska diangkatnya Muhammad sebagai seorang Nabi, berkisar 8000 hari. Sedangkan masa peperangan yang dipimpin Nabi (Gazwah) hanya berjumlah 80 hari. Selain itu upaya patroli (Sariyyah) yang tidak berujung pada peperangan berjumlah 800 hari.

Terdapat dua pendapat dalam menanggapi hal di atas. Jika perang yang dipimpin Nabi digabungkan dengan patroli, maka kehidupan Nabi yang tidak digunakan dalam perang yaitu 7220 hari, artinya 90% kehidupan Nabi tanpa berperang. Namun jika hanya menghitung peperangan Nabi, maka tersisa 7920 hari, Berarti 99% kehidupan Nabi dilalui tanpa peperangan.

Dengan kata lain, peperangan hanyalah sebagian kecil dari kisah sang Nabi. Sehingga menjadikan peperangan sebagai satu-satunya prototipe adalah sebuah kenaifan. Seharusnya yang perlu menjadi sorotan bagi muslim saat ini adalah bagaimana perjuangan Nabi membangun relasi dalam ikatan damai dan humanis.

Kedamaian Nabi

Nabi tampil sebagai duta kedamaian di tengah masyarakat yang pluralis. Konsensus Madinah (Piagam Madinah) menjadi simbol bahwa perdamaian selalu bisa eksis di atas perbedaan. Tidak hanya itu, bahkan Nabi menjamin keamanan bagi nonmuslim yang saat itu tinggal di kota Madinah.

Ini menjadi presenden nyata bagi kita semua untuk tidak mempertajam perbedaan, saling sikut, dan mempertebal permusuhan. Sebab itu semua bertentangan dengan semangat Nabi dalam mewujudkan perdamaian, egaliter, persaudaraan, persatuan dan keadilan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.

Islam tidak melarang pemeluknya bersosial dengan nonmuslim. Sebagaimana yang dilakukan Nabi dalam melakukan transaksi jual beli. Tentunya perilaku Nabi sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana dalam surat al-Mumtahanah ayat 8, bahwa “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.”

Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi menjelaskan dalam tafsirnya al-Baghawi bahwa Allah tidak melarang umat muslim untuk berbuat baik kepada nonmuslim, selama mereka tidak menyerang agama Islam. Allah juga memerintahkan untuk berbuat adil kepada mereka dengan baik. Artinya agama Islam tidak mempersempit gerak manusia untuk bersosial dan melakukan kebaikan kepada nonmuslim.

Ayat di atas turun kepada Asma binti Abu Bakar saat dikunjungi oleh ibunya Qutailah binti Abd al-Uzza di Madinah untuk memberikannya hadiah. Pada saat itu Qutailah dalam keadaan musrik. Sayangnya Asma tidak mengizinkan ibunya masuk ke rumah sebelum mendapatkan izin dari Rasullullah.

Maka Allah menurunkan ayat di atas seraya memerintahkan kepada Nabi agar mempersilahkan Qutailah memasuki rumah anaknya. Rasul membolehkan Asma untuk menerima hadiah serta menyuruhnya untuk berlaku baik kepada ibunya, sekalipun musyrik.

Berbuat Baik kepada Nonmuslim

Contoh di atas dapat menjadi teladan bagi kita sebagai umatnya. Bahwa Nabi tetap mempersilahkan seorang sahabat untuk tetap menjalin hubungan baik dengan ibunya yang berbeda agama.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Alm. KH. Ali Musthafa Yaqub, seorang pakar hadis ternama di Indonesia. Beliau menjelaskan bahwa peperangan yang terjadi pada masa Nabi bukanlah disebabkan oleh agama. Namun ada hal lain yang menyebabkan peperangan tersebut tak dapat dihindari. {baca: Perang dan Damai]

Misalnya perang Badr yang terjadi pada 2 Hijriah yang disebabkan kaum musyrikin Mekah yang tidak ingin mengembalikan harta kaum muslimin. Kemudian perang Quraizhah antara Yahudi dan Islam akibat orang-orang Yahudi yang membatalkan perjanjian secara sepihak. Dengan demikian agama bukanlah sumbu dari peperangan yang terjadi pada saat itu.

Fenomena kekerasan dalam beragama tentunya berangkat dari pemahaman seseorang terhadap ajaran agamanya. Dengan demikian perlunya menghadirkan pemahaman agama yang lebih toleran dan moderat, agar masyarakat tidak memandang agama Islam hanya sebatas mengacungkan pedang.

Salah satu upaya untuk membina masyarakat menuju kedamaian dalam beragama. Dengan cara meningkatkan mutu pendidikan yang berpaham toleransi dan moderat. Melalui pendidikan formal para guru harus memiliki wawasan yang cukup untuk menjelaskan ajaran Islam yang ramah dan santun. Tidak menekankan pada aspek peperangan, melainkan kesalehan Nabi dalam bersosial. Peperangan memang tidak bisa dihapus dari sejarah. Ia merupakan kenyataan sejarah. Tapi memfokuskan kehidupan Nabi hanya pada aspek perang pandangan yang salah kaprah. Padahal kedermawanan, kebaikan, kejujuran lebih sering Nabi tampilkan dalam kehidupan sosial.

Similar Posts