Bolehkah Seorang Muslimah Mengunggah Foto di Media Sosial?
Media sosial adalah sebuah media online dengan para penggunanya yang bisa dengan mudah berparrtisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial dan wiki, forum dan dunia virtual.
Pendapat lain mengatakan bahwa media sosial adalah media onine yang mendukung interaksi sosial. Istilah lain, jejaring sosial didefinisikan sebagai situs dimana setiap orang bisa membuat web pribadi, dan kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan komunikasi.
Media sosial menggunakan internet dan mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara terbuka berupa feedback, komentar, dan membagi informasi tersebut dalam waktu singkat. Media sosial pertama yang menyebar secara luas di dunia adalah Friendster, kemudian muncullah berbagai media sosial dengan karakter dan keunikan masing-masing.(Cahyono, Anang Sugeng: 142-143)
Diantara aktivitas yang paling banyak dilakukan oleh warganet di media sosial adalah membagikan informasi tentang diri mereka melalui foto yang diunggah di media sosial. Foto yang diunggah bermacam-macam kontennya, mulai dari pemandangan alam, bangunan-bangunan, hewan, hingga self potrait yang diambil dari jauh atau dekat.
Postingan foto terutama swafoto perempuan di media sosial menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat hingga akademisi muslim, hal ini disebabkan wanita dalam Islam dituntut untuk menjaga diri mereka agar tidak terlihat perhiasan mereka dan menjaga diri dari fitnah.
Walaupun foto yang diunggah pada dasarnya menutup aurat, masih banyak kalangan yang menganggap hal tersebut tidak layak untuk dilakukan oleh seorang muslimah. Namun tak sedikit juga orang yang membenarkan unggahan swafoto di media sosial selama tidak ada niat buruk dan unggahan tersebut tidak menyalahi koridor-koridor agama yang telah disyariatkan.
Belum ditemukan hadis yang secara jelas melarang atau membolehkan unggahan foto di media sosial, tapi ada beberapa hadis yang sering dikaitkan dengan fenomena ini. Pertama, hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Usamah bin Zaid:
عن أسامة بن زيد قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- « ما تركت بعدى فتنة هى أضر على الرجال من النساء
Tidaklah aku meninggalkan suatu fitnah setelahku yang lebih dahsyat bagi kaum laki-laki melebihi fitnah wanita
Selanjutnya adalah hadis riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri:
عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إن الدنيا حلوة خضرة وإن الله مستخلفكم فيها فينظر كيف تعملون فاتقوا الدنيا واتقوا النساء فإن أول فتنة بنى إسرائيل كانت في النساء.
Sesungguhnya dunia itu manis. Dan sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepadamu sekalian. Kemudian Allah menunggu (memperhatikan apa yang kamu kerjakan (di dunia itu). Karena itu takutilah dunia dan takutilah wanita, karena sesungguhnya sumber bencana Bani Israil adalah wanita.
Dan hadis riwayat Imam Tirmidzi dari sahabat Abdullah bin Mas’ud:
عن عبد الله ابن مسعود : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان
Wanita adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya.
Hadis pertama adalah hadis muttafaq ‘alaih yang sudah disepakati oleh para ulama keshahihannya. Hadits kedua adalah hadis riwayat muslim yang juga disepakati keshahihannya oleh para ulama. Sedangkan hadis ketiga adalah hadis hasan shahih, yang dapat diamalkan.
Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani menjelaskan di kitabnya Fathul Baari tentang hadis pertama bahwasanya perempuan sering menyuruh kepada keburukan, dan cinta suami (laki-laki) kepada mereka sering membutakan logika mereka dan membuat mereka melakukan larangan-larangan syariat.
Dan pendapat ini dibuktikan dengan beberapa kisah di zaman sebelumnya. Sedangkan di hadis kedua Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa wattaqu an-nisaa’ artinya berhati-hatilah dari wanita karena banyak manusia yang terkena fitnah dan musibah disebabkan oleh mereka. Kata An-Nisa’ bersifat umum dan berlaku pada semua wanita baik istri maupun bukan.
Syaikh Muhammad bin Abdurahman Al-Mubarakfuri dalam Syarah Sunan Tirmidzi menjelaskan kata al-mar’ah ‘aurah berarti wanita itu bagaikan aurat yang akan membuat malu ketika ia terlihat.
Bukanlah sesuatu yang baik bagi seorang wanita muslimah menampakkan dirinya karena itu akan menyesatkan dan menimbulkan fitnah bagi salah satu pihak atau bagi keduanya. Sedangkan setan yang dimaksud dalam hadis ini adalah setan dari kalangan manusia yaitu orang-orang fasik.
Imam As-Sayis dalam kitab Tafsir Ayat Al-Ahkam menjelaskan bahwa hukum foto atau tangkapan cahaya sama halnya dengan gambaran cermin yang merupakan pantulan dari benda. Maka hukumnya boleh. Kemudian dalam Hasyiyah I’anatutthalibin dijelaskan bahwa haram hukumnya bagi laki-laki termasuk yang sudah tua untuk melihat wanita yang bukan mahram baik budak ataupun merdeka apabila sampai menimbulkan syahwat. sedangkan Imam Ar-Rafi’i berpendapat tidak diharamkan melihat wanita bukan mahram apabila tidak sampai menimbulkan syahwat dan aman dari fitnah.
Berbeda dengan melihat wanita dari cermin, tidak ada pengharaman sebagaimana melihat bayangan di air. Pendapat ini dikuatkan dengan tidak berlakunya talak apabila dilafazkan tanpa melihat ke istri langsung, seperti melihatnya melalui cermin atau membayangkan sang istri di dalam pikiran. Namun kebolehan ini tidak lepas dari syarat tidak menimbulkan syahwat, sebagaimana yang dijelaskan dalam Tuhfatul Muhtaj.
Selanjutnya, Darul Ifta’ Mishriyyah juga telah memfatwakan bahwa tangkapan cahaya atau foto manusia dan hewan tidak haram, selama tdak mengandung unsur pengkultusan, penghambaan, membangkitkan nafsu syahwat, penyebaran maksiat dan dorongan untuk melakukan perbuatan haram.
Selanjutnya bahtsul masail Lirboyo pada tanggal 15-16 April 2015 menghasilkan kesimpulan keharaman upload swafoto ke media sosial dengan kondisi sebagai berikut:
- Apabila swafoto tersebut menimbulkan fitnah, yaitu menimbulkan ketertarikan lawan jenis, seperti foto dengan gaya yang seronok
- Apabila foto menimbulkan komentar negatif dan tidak wajar
Dari beberapa paparan di atas dapatlah kita simpulkan bahwasanya hadis-hadis, pendapat ulama dan para pengkaji ternyata saling beririsan pada satu hal, yaitu tidak menimbulkan fitnah atau mengundang syahwat. Artinya mengunggah swafoto di media sosial tidaklah haram apabila tidak menimbulkan fitnah.
Dan alangkah baiknya pula jika kita menghindari hal-hal yang dapat membahayakan kehormatan kita sebagai muslimah, karena piranti elektronik zaman ini bisa saja disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tida bertanggung jawab. Maka mengamalkan dalil saddu zari’ah (mencegah kerusakan) dengan tidak mengupload swafoto jika tidak ada kepentingan, Insyaallah dapat menjaga kita dari merusak kehormatan sebagai wanita.
Wallahua’lam bi as-Showab