Hukum Nafkah Pasangan yang Berbeda Keyakinan

Majalahnabawi.com – Pernikahan antara pasangan dengan keyakinan yang berbeda sering kali menjadi isu sensitif dalam masyarakat, terlebih dalam konteks agama Islam. Dalam beberapa kasus, seperti yang terjadi pada beberapa selebriti Indonesia yang menjalani hubungan dengan perbedaan keyakinan, pernikahan bisa menghadapi ujian besar terutama terkait kelangsungan pernikahan dan kewajiban nafkah.

Dalam Islam, pernikahan hanya sah jika kedua pasangan memiliki agama yang sama, atau dalam kondisi tertentu, seorang muslim dapat menikahi pasangan dari Ahli Kitab. Namun, bagaimana jika salah satu pasangan berubah keyakinan? Bagaimana dengan kewajiban nafkah?

Dalam konteks ini, Madzhab Syafi’i memberikan panduan mendalam mengenai hal di atas. Penjelasan ini juga didasarkan pada pembahasan dalam kitab Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin karya Imam an-Nawawi, juz 7 halaman 172.

Masuk Islam Bersamaan

Jika suami dan istri masuk Islam bersamaan, maka pernikahan mereka tetap sah. Dalam situasi ini, nafkah juga tetap berlaku sebagaimana biasa. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan yang berlanjut setelah kedua pasangan memeluk Islam tetap membawa kewajiban nafkah. Dalam Raudhatut Thalibin dijelaskan:

أَمَّا ‌النَّفَقَةُ، فَإِنْ أَسْلَمَ الزَّوْجَانِ مَعًا، اسْتَمَرَّتِ ‌النَّفَقَةُ كَمَا يَسْتَمِرُّ النِّكَاحُ

Artinya: “Adapun nafkah, jika suami dan istri masuk Islam bersamaan, maka nafkah tetap wajib sebagaimana pernikahan tetap berlaku”.

Ketika Salah Satu Pasangan Masuk Islam Lebih Dulu

Dalam kasus di mana hanya salah satu pasangan yang masuk Islam terlebih dahulu, terdapat beberapa hukum yang berbeda.

Pertama: Suami Masuk Islam Terlebih Dahulu

Dalam hal ini, saat suami masuk Islam hukum pernikahan otomatis batal dan terdapat masa iddah. jika istri tidak masuk islam hingga masa iddah selesai maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Hal ini karena ia dianggap membangkang (nusyuz), yaitu menolak mengikuti ajaran Islam. Namun jika istri memeluk Islam sebelum masa iddah berakhir, ia berhak mendapatkan nafkah mulai dari waktu ia masuk Islam, tetapi tidak untuk masa penundaannya. Hal ini dijelaskan dalam Raudhatut Thalibin:

وَإِنْ أَسْلَمَ قَبْلَهَا، فَإِنْ أَصَرَّتْ حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، فَلَا نَفَقَة; لِأَنَّهَا نَاشِزَةٌ بِالتَّخَلُّفِ، وَإِنْ أَسْلَمَتْ فِي الْعِدَّةِ، اسْتَحَقَّتْهَا مِنْ وَقْتِ الْإِسْلَامِ، وَلَا تَسْتَحِقُّهَا لِمُدَّةِ التَّخَلُّفِ عَلَى الْجَدِيدِ الْأَظْهَرِ

Artinya: “Jika suami masuk Islam lebih dulu, sedangkan istri tetap dalam agamanya hingga masa iddah selesai, maka ia tidak berhak atas nafkah karena dianggap nasyiz (pembangkang). Namun, jika ia masuk Islam dalam masa iddah, ia berhak atas nafkah sejak waktu masuk Islam, tetapi tidak untuk masa sebelumnya”.

Kedua: Istri Masuk Islam Terlebih Dahulu

Ketika suami masuk Islam sebelum masa iddah selesai. Dalam kasus ini, istri tetap berhak mendapatkan nafkah untuk masa penundaan suami dalam memeluk Islam. Hal ini karena istri dianggap telah menjalankan kewajiban syariat yang mendesak, sebagaimana puasa Ramadan. Begitu pula jika suami tidak masuk Islam hingga masa iddah selesai, istri tetap berhak atas nafkah selama masa iddah penuh. Pandangan ini merupakan pendapat mayoritas ulama dalam Madzhab Syafi’i, sebagaimana ditegaskan dalam Raudhatut Thalibin:

وَإِنْ أَصَرَّ حَتَّى انْقَضَتِ الْعِدَّةُ، اسْتَحَقَّتْ نَفَقَةَ مُدَّةِ الْعِدَّةِ عَلَى الْأَصَحِّ عِنْدَ الْجُمْهُورِ

Artinya: “Jika suami bersikeras tidak masuk Islam hingga masa iddah selesai, istri berhak atas nafkah selama masa iddah menurut pendapat yang lebih kuat di kalangan mayoritas ulama”.

Kesimpulannya, Madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa nafkah dalam pernikahan pasangan berbeda keyakinan bergantung pada waktu masuk Islam. Jika masuk Islam bersamaan, nafkah tetap wajib. Namun, jika salah satu pasangan lebih dahulu masuk Islam, maka hak nafkah ditentukan oleh status ke-Islaman pasangan selama masa iddah.

Similar Posts