Hukum Sertifikat Layak Nikah Dalam Islam
Majalah Nabawi – Dalam menjalani pernikahan tentunya yang pasangan harapkan merupakan pernikahan yang sakinah, mawaddah dan diberkahi oleh rahmat. Serta yang tak kalah lebih penting, harapan kedua pasangan adalah kesehatan, baik fisik dan juga psikis. Sehingga anjuran begi mereka yang melangsungkan akad nikah harus adanya kesiapan, entah bersifat material ataupun non material.
Untuk mewujudkan itu semua, pemerintah membantu terhadap kedua pasangan dengan mengadakan penyuluhan. Saat lolos, kedua pasangan itu akan mendapatkan sertifikat layak nikah. Lantas bagaimana hukum mendapatkan sertifikat nikah dalam Islam?
Sertifikasi nikah memang bukan syarat dalam pernikahan. Tetapi, memandang beberapa pertimbangan dan kepentingan bagi calon yang akan menikah, perlu kiranya untuk memperhatikan hal tersebut. Mengingat hal ini termasuk kebijakan pemerintah yang harus ditaati selagi memberikan manfaat.
Tujuan Sertifikasi Layak Nikah
Pemerintah menetapkan keharusan sertifikasi nikah bukan tanpa tujuan. Bimbingan perkawinan merupakan salah satu cara pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Sementara bagi yang menolak dengan beralasan bahwa sertifikasi nikah hanyalah memperumit administratif di KUA, mereka tidak memperhatikan tujuan awal, ialah untuk kualitas hidup manusia demi menciptakan ketahanan hati.
Juga berdasarkan kesulitan pada saat bimbingan tidak seberapa jika dibandingkan dengan dampak yang lahir, sebagaimana yang tertulis di pendahuluan. Selain itu, sertifikasi nikah merupakan tindakan preventif untuk mengatasi terjadinya Stunting, kematian ibu hamil dan anak baru lahir, kehamilan beresiko, anemia pada ibu hamil dan tingginya angka perceraian yang merupakan akibat dari tidak matangnya pengetahuan dari calon pengantin.
Syarat Yang Memperbolehkan
Sebagai umat islam tentu taat kepada pemerintah merupakan kewajiban, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat An Nisa’ ayat 59. Menurut sebagian Ulama tafsir, maksud ulil amri dari ayat diatas adalah seseorang yang mengurusi urusan manusia dengan mempertimbangkan kemaslahatan mereka. Sebagaimana dikatakan:
وأولو الأمر .. هم من يلون أمر الإنسان ، ويقومون على رعاية مصالحه ، من آباء ، وقادة ، وحكام
“ulil amri adalah orang yang mengurusi urusan insan dan mempertimbangkan kemaslahatan kepadanya. Mereka itu ialah orang tua, pemimpin dan para hakim” (Abdul Karim Yunus al-Khatib, Tafsir al-Qur’an lil quran, juz. 3, hal. 821)
Selain al-Qur’an, Hadis Nabi juga menganjurkan kepada umatnya untuk taat kepada pemerintah selagi membawa dampak positif. Sabda Nabi Muhammad SAW:
عن علي بن أبي طالب قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم “إنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعرُوف “
“taat hanyalah ada pada kebaikan” (Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, juz. 10, hal. 429)
Perlu kiranya kita tahu bahwa dalam ushul fikih syarat terbagi menjadi dua, syarat syar’i dan syarat ja’li. Syarat syar’i adalah syarat yang hukum syar’i tetapkan, sedangkan syarat ja’li adalah syarat yang antar mukallaf saling menyepakati. Melihat dari definisi, rupanya sertifikasi nikah termasuk syarat ja’li. (Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, hal. 119)
Dalam syarat ja’li ada syarat shahih dan ada syarat bhatil. Syarat ja’li sendiri perlu ada beberapa pertimbangan untuk menyatakannya sebagai syarat shahih. Ulama Hanafiyyah menetapkan Syarat shahih meliputi empat hal, yaitu: (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa adillatuhu, juz. 4, hlm. 3058)
- Syarat sejalan dengan yang akad kehendaki.
- Syarat menguatkan yang akad kehendaki.
- Syarat datangkan berdasarkan syari’.
- Syarat sudah biasa menjadi kesepakatan akad oleh masyarakat.
Ketika melihat dari adanya tujuan dari sertifikasi nikah, nampaknya sertifikasi nikah tidak bertentangan dengan maqasid nikah, bahkan sejalan dengannya. Hal ini mengingat bahwa maqasid nikah mencakup 3 hal, yakni menjaga keturunan, mengeluarkan air mani yang jika tidak keluar malah mudhorrot ke badan dan memperoleh nikmat. ( Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatho ad-Dimyathi, Ianatut al-Tholibin, juz 3, hal. 295)
Oleh karenanya, melihat tujuan serta manfaat dari sertifikasi nikah, maka tidak menjadi masalah terhadap pemerintah untuk menetapkan sertifikat nikah sebagai syarat pernikahan. Sekian.