Huruf Muqattha’ah Menurut Theodor Noldeke

Majalahnabawi.com – Al-Quran sebagai pedoman umat Islam tentunya perlu ditafsirkan dan direlevansikan kembali guna menyesuaikannya di setiap waktu. Dalam upaya ini, tentunya tak akan terlepas dari berkecamuk dengan ayat-ayatnya yang sangat bervariasi. Di dalam al-Quran sendiri, tidak semua ayat-ayatnya bisa kita tafsirkan dan pahami secara mentah-mentah sesuai apa adanya. Bahkan dalam memahami ayat-ayat yang sudah jelas bentuk, makna, maksud dan tujuannya pun tidak serta merta bisa kita tafsirkan dan takwilkan begitu saja. Beberapa ayat dalam al-Quran yang sudah sangat jelas menunjukan sebuah pemahaman tentunya bisa memudahkan kita sebagai pembaca dan peneliti untuk menafsirkannya (Muhkamat). Sebaliknya, ayat-ayat yang tidak secara gamblang menjelaskan maksud dan tujuannya, atau bahkan makna dan artinya akan menyulitkan kita sebagai pengkaji untuk menentukan maksudnya (Mutasyabihat). Dan salah satu yang termasuk dari ayat mutasyabihat adalah huruf muqattha’ah, yakni potongan huruf yang berada di beberapa awal surah tertentu.

Sekilas Huruf Muqattha’ah

Terdapat 29 surah yang dimulai dengan huruf muqattha‘ah. Ia melibatkan 14 huruf tanpa diulang yaitu, ن – م – ل – ك – ق – ع – ص – ط – س – ر – ح – ا – ي – ﻫ , yang bisa diringkas menjadi kalimat “ نَصٌّ حَكِيْمٌ قَاطِعٌ لَهُ سِرٌّ “. Jika dihitung berulang-ulang, maka jumlahnya ad 78 huruf. Huruf kaf dan nun masing-masing dipakai sekali, huruf ‘ain, ya, ha dan qaf dipakai dua kali. Huruf shad dipakai tiga kali, huruf tha’ dipakai empat kali, huruf sin lima kali, huruf ra’ enam kali dan huruf ha tujuh kali, huruf alif dan lam masing-masing dipakai tiga belas kali, dan yang paling banyak adalah huruf mim yang dipakai hingga tujuh belas kali.

Secara umum, ada dua pendapat tentang huruf muqattha’ah ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa makna huruf tersebut tersembunyi kerana merupakan rahasia yang hanya diketahui oleh Allah semata. Sebab itulah ia termasuk ayat mutasyabih. Di antara yang berpendapat seperti ini ialah Abu Bakar, Umar, Uthman, Ali, Ibnu Mas’ud, Amir al-Sya’bi, Sufyan al-Tsauri, al-Rabi’ bin Khathim dan Ibnu Hibban. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa huruf-huruf tersebut dapat diketahui dan dipahami oleh mereka yang mendalam ilmunya. Mereka yang berpegang dengan pendapat ini mengemukakan berbagai pendapat untuk menerangkan maksud dan hikmah di balik huruf-huruf tersebut. Mengutip dari kitab tafsir Mafatih al-Ghaib, Imam Al-Razi mengemukakan bahwa ada 21 pendapat ulama yang berbeda-beda tentang maksud huruf muqattha’ah tersebut.

Pandangan Theodor Noldeke

Eksistensi ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an dijadikan sebagai celah para sarjana dan ilmuan luar untuk mengkaji dan membuat klaim pribadi mereka sendiri terkait keautentikan al-Qur’an. Di antara mereka yang melakukan riset tersebut adalah Theodor Noldeke, sarjana asal Jerman yang lahir pada tanggal 2 Maret 1836. Dalam bukunya, Geschichte des Qorans, Noldeke berpandangan bahwa huruf muqattha’ah bukan bagian dari al-Qur’an. Dengan kata lain, huruf-huruf tersebut bukan bersumber dari wahyu yang diriwayatkan dari Rasulullah. Noldeke beranggapan bahwa huruf-huruf yang berada di awal surah ini merupakan inisial dari nama-nama penulis al-Qur’an. Inisial tersebut sudah terpakai sebelum adanya proses kodifikasi di masa Utsman. Huruf tersebut juga sebagai simbol mushaf yang mereka miliki. Misalnya alif-lam-ra, merupakan inisial dari al-Zubair, huruf shad untuk Hafsah, kaf untuk Abu Bakar, dan nun untuk Utsman.

Pandangan Noldeke ini bukanlah idenya sendiri. Beliau hanya menyalin pendapat seniornya. Setelah ditelusuir, ide itu ternyata pernah berasal dari orientalis sebelumnya yang jauh lebih senior yaitu Jacob Golius (1667 M) dan George Sale (1736 M). Mereka mengklaim ada unsur frasa “amar li Muhammad” yang bermakna “Dengan Perintah Muhammad” dari kalimat ali-lam-mim. Sebagaimana juga lima huruf awal pada surah Maryam (كهيعص) yang seolah-olah ditulis oleh pendeta Yahudi dari kata Koh Yaas yang artinya “Demikianlah dia perintahkan”.

Hal ini membuktikan bahwa teks al-Qur’an yang ada kini bukanlah seratus persen asli. Ada penambahan dan pengurangan oleh para penulis manuskrip al-Qur’an. Noldeke juga meletakkan di dalam bukunya judul dan isu-isu sensasi dan sensitif tentang al-Qur’an seperti asal bacaan basmalah, bagian al-Qur’an yang tidak berasal al-Qur’an, bagian al-Qur’an yang hilang, susunan ayat dan surah, asal-usul perkataan seperti syahadah dan lain-lain. Ini tak jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan orientalis yang melontarkan klaim bahwa al-Qur’an dirasuki oleh campur tangan Nabi Muhammad, tidak murni sepenuhnya dari wahyu Allah.

Kritikan dan Tanggapan

Tentunya pendapat orientalis akan tak lepas dari adanya kritikan dan tanggpan dari ulama muslim. Sebut saja Abu Laylah yang mengarang kitab berjudul Al-Qur’an Al-Karim min Al-Manzur Al-Istisyraqi (Al-Qur’an dalam pandangan orientalisme). Beliau mengemukakan lima argumen yang membantah teori Noldeke.

1. Sahabat Zaid tidak mengumpulkan al-Qur’an berdasarkan naskah-naskah yang sempurna, namun beliau mengumpulkannya dari berbagai macam media yang berbeda-beda seperti tulang belulang, pelepah kurma, bebatuan, dan lainnya. Maka dari sini lah Zaid tidak membutuhkan bentuk inisial sebagai pembeda naskah sahabat.

2. Tidak ada dalil atau riwayat apapun yang menjelaskan atau memperkuat pendapat mereka. Bahkan riwayat yang lemah sekalipun tidak ada.

3. Para orientalis sendiri tidak bisa menjawab, bila memang benar huruf-huruf itu adalah inisial para sahabat, lantas mengapa hanya terdapat di surah-surah tertentu saja? Mengapa huruf-hurf tersebut tidak selalu tercantum di setiap surah?

4. Nama inisial sahabat tersebut bukanlah para sahabat yang terkenal memiliki mushaf al-Qur’an.

5. Bangsa arab sendiri tidak memiliki tradisi untuk membuat nama inisial mereka. Bahkan mereka cenderung menjaga dan menghafal nama lengkap sesuai nasab mereka.

Konklusi

Selain itu, proses kodifikasi al-Qur’an juga sangat ketat. Sejak Nabi Muhammad menapakkan kaki di bumi Madinah, merupakan titik permulaan kegiatan intensif penulisan al-Qur’an. Banyak di antara para sahabat memiliki ayat-ayat al-Qur’an yang mereka salin dari kertas kulit milik kawan-kawan serta para jiran. Dengan membatasi terhadap ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan Nabi Muhammad, Zaid meyakinkan bahwa semua materi yang beliau teliti memiliki tingkatan yang sama dan hal yang demikian memberi jaminan mutlak atas ketelitian yang dicapai.

Meskipun banyak pendapat terkait ayat Muhkam dan Mutasyabih, namun ulama Islam tidak bermaksud menggered-gered al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang telah diubah-ubah sejak diturunkannya di masa lalu. Oleh karena itu, kita tidak bisa memastikan dengan pasti maksud dari makna-makna ayat mutasyabih secara hakikatnya, namun kita bisa memahaminya sesuai tuntunan akal sehat tanpa terlepas dari eksistensi al-Qur’an sebagai kitab yang dijanjikan oleh Allah akan senantiasa terjaga keasliannya.


Similar Posts