Idah Wanita Hamil yang Ditinggal Wafat oleh Suaminya
Majalahnabawi.com – Idah menurut pendapat mayoritas ulama adalah masa menunggu yang
harus dijalani oleh seorang wanita untuk mengetahui kebersihan rahimnya, untuk ibadah atau untuk
menjalani masa berbela sungkawa atas meninggalnya suaminya. Idah merupakan masa yang telah
ditetapkan oleh Allah setelah terjadi perpisahan yang harus dijalani oleh seorang wanita dengan tanpa
melakukan pernikahan sampai hingga selesai masa idahnya.
Idah memiliki banyak macamnya, diantaranya adalah idah wanita haid, idah wanita yang tidak haid (menopouse), idah wanita hamil, idah wanita istihadah, dan idah wanita yang belum bercampur dengan suaminya. Dalam artikel ini penulis ingin membahas tentang seorang wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya bedasarkan padangan para ulama fikih.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ketentuan idah bagi seorang wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya itu masih menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Karena di satu sisi, wanita yang masih dalam keadaan hamil, idahnya harus mengikuti pentunjuk dari surat ath-Thalaq ayat 4, yaitu hingga melahirkan kandungannya. Di sisi lain, sebagai wanita yang ditinggal mati oleh suamiya, maka idahnya harus mengikuti petunjuk dari surat al-Baqarah ayat 234, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Dari kedua dalil tersebut, akhirnya melahirkan banyak pandangan para ulama. Di mana kedua dalil tersebut tidak dalam bentuk umum atau khusus. Secara umum artinya dalam masa idah wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya itu terdapat dua sudut pandang dari dua kelompok yang berbeda.
Pendapat Mayoritas Ulama
Semua fuqaha‘ (ahli ilmu fikih) dari berbagai negeri mengatakan, idahnya wanita yang ditinggal
wafat suami adalah sampai wanita tersebut melahirkan kandungannya. Pendapat ini sesuai dengan keumuman firman Allah Swt. dalam surat ath-Thalaaq ayat ke-4 yang menunjukkan bahwa masa idah perempuan-perempuan yang hamil sampai mereka melahirkan kandungannya, baik dekat atau jauh masanya.
حَدَّثَنَا حِبَّانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى مَجْلِسٍ فِيهِ عُظْمٌ مِنْ الْأَنْصَارِ وَفِيهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي لَيْلَى فَذَكَرْتُ حَدِيثَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ فِي شَأْنِ سُبَيْعَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَلَكِنَّ عَمَّهُ كَانَ لَا يَقُولُ ذَلِكَ فَقُلْتُ إِنِّي لَجَرِيءٌ إِنْ كَذَبْتُ عَلَى رَجُلٍ فِي جَانِبِ الْكُوفَةِ وَرَفَعَ صَوْتَهُ قَالَ ثُمَّ خَرَجْتُ فَلَقِيتُ مَالِكَ بْنَ عَامِرٍ أَوْ مَالِكَ بْنَ عَوْفٍ قُلْتُ كَيْفَ كَانَ قَوْلُ ابْنِ مَسْعُودٍ فِي الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا وَهْيَ حَامِلٌ فَقَالَ قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَتَجْعَلُونَ عَلَيْهَا التَّغْلِيظَ وَلَا تَجْعَلُونَ لَهَا الرُّخْصَةَ لَنَزَلَتْ سُورَةُ النِّسَاءِ الْقُصْرَى بَعْدَ الطُّولَى وَقَالَ أَيُّوبُ عَنْ مُحَمَّدٍ لَقِيتُ أَبَا عَطِيَّةَ مَالِكَ بْنَ عَامِرٍ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hibban, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Aun dari Muhammad bin Sirin dia berkata”, “Aku duduk di sebuah majelis yang di dalamnya ada sekelompok orang-orang Anshar, di dalamnya ada Abdurrahman bin Abu Laila, lalu aku menyebutkan hadis Abdullah bin Utbah yang menceritakan tentang Subaiah binti Al Harits. Maka Abdurrahman bin Abu Laila berkata, “Akan tetapi pamannya tidak mengatakan hal itu. Lalu aku katakan, aku berani bertanggung jawab jika aku berdusta tentang orang yang berada di sisi Kufah -seraya mengeraskan suaranya-. Kemudian aku keluar dan bertemu dengan Malik bin Amir, atau Malik bin Auf. Aku berkata, “Bagaimana menurut Ibnu Mas’ud tentang orang yang telah ditinggal mati oleh suaminya padahal dia dalam keadaan hamil?”. Dia menjawab, Ibnu Mas’ud berkata, “Apakah kamu akan memberatkannya dan tidak memberinya keringanan, padahal sungguh telah turun surah an-Nisa’ yang pendek setelah surat yang panjang (al-Baqarah)? Ayyub berkata dari Muhammad bin Sirin, “Aku bertemu dengan Abu Atiyyah Malik bin Amir.“
Pendapat Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib memberikan pendapat bahwa idah bagi wanita hamil yang ditinggal mati
oleh suaminya adalah أبعد الأجلين (waktu terpanjang dari dua masa idah). Kedua, boleh jadi idah kehamilan yaitu sampai melahirkan kandungannya atau juga dengan idah kematian yaitu empat bulan sepuluh hari. Adapun dalil yang dijadikan dasar pendapat Ali bin Abi Thalib adalah dua ayat dalam Al-Quran yaitu firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 234 yang artinya;”Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dan pada surat ath-Thalaq ayat 4 yang berarti; “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Hal ini bedasarkan alasan dan pertimbangan Ali bin Abi Thalib terhadap pendapatnya, pertama didasari dari kekosongan rahim dan janin, kedua mempertimbangkan masa berkabung atas kematian suami, dan yang ketiga menghormati pernikahan sebelumnya terikat suci.
Dari kedua pendapat tersebut terdapat pendapat yang diunggulkan, yakni pendapat jumhur yang mengatakan idah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya sampai melahirkan kandungannya, hal ini di sebabkan karena adanya dalil pendukung dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan tentang idah melahirkan yg disebutkan dalam surat ath-Thalaq 65 menasikhkan surat al-Baqarah 234 yang artinya, idah seorang wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya yaitu sampai ia melahirkan.