Idul Fitri; Kembali Merajut Kekuatan dan Persatuan

www.majalahnabawi.com – Allah swt. berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ
Artinya: “Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim“.

Demikian merupakan penggalan ayat dari surat an-Nahl ayat 89. Menurut syaikh Mahmud Syaltut,  ketika Allah Swt., berfirman “تبيانا لكل شيء”, tidaklah bermaksud menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an terkandung segala sesuatu, akan tetapi bahwa al-Qur’an terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Sementara Syaikh Ibnu ‘Asyur di dalam tafsirnya “At-tahrir wa at-Tanwir” berpendapat kata “تبيانا” ialah bermaksud bahwa al-Qur’an diturunkan sebagai suatu manfaat bagi masyarakat umum yang mana dengan manfaat tersebut diturunkanlah agama dan syariat, seperti untuk pembenahan jiwa, penyempurna akhlak dan menegakkan masyarakat yang madani.

Dengan demikian, sejatinya Allah Swt., menurunkan syariat sebagai suatu maslahah bagi umat manusia dunia dan akhirat yang kandungannya tidak dimiliki oleh syariat dan undang-undang manapun. Sebab islam datang sebagai penyempurna syariat sebelumnya. Salah satu maslahah yang Allah syariatkan ialah terbentuknya suatu jama’ah atau komunitas – meminjam istilah Fajri al-Atas – yang dipakai lebih umum untuk memaknai kata jama’ah. Jama’ah ialah bentuk konkret, berwujud dan terorganisir dari umat.

Bagi Fajrie al-Atas, definisi jama’ah hakikatnya tidak hanya terkait sosial politik tertentu yang kerap ternotabene sebagai suatu dinasti atau kekuasaan, akan tetapi definisi jama’ah semestinya juga harus senantiasa bersatu dengan makna sunnah sebagai terbentuknya norma-norma otonom terlepas dari norma-norma pra-islam. sehingga penggalan ayat “واركعوا مع الراكعين” bukan hanya dimaksudkan sebagai perintah untuk menunaikan sholat berjamaah akan tetapi juga memberikan isyarat bahwa umat islam berdiri tegak di bawah aturan dan norma dari apa yang disebut sebahai Al-ukhuwwah Al-jam’iyyah yakni persaudaraan yang terejawantah dalam komunitas serta dijalankan dengan anjuran-anjuran dan norma sunnah yang berlaku.

Oleh karena itu Allah Swt., memandang bahwa kaum muslimin tidak cukup berhimpun hanya dalam sholat jama’ah, sehingga allah sebagai pemilik Syari’at juga mensyaratkan sholat jum’at, juga tidak cukup sholat jum’at Allah juga mensyaratkan sholat ied yang terhimpun menjadi dua hari raya idul fitri dan adha guna agar persatuan kaum muslimin semakin kuat dan kokoh, berikut penjelasan dan hikmahnya yang penulis kutip dari “Hikmatu tasyri’ wa falsafatuhu” karya Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi.

  1. Media bagi persatuan kaum muslimin
    Sebab dalam hari raya ied, sikap saling mengasihi, menyayangi dan memberi terhimpun di dalamnya, yang kaya memberikan kekayaannya kepada yang miskin, yang miskin merasa bahagia sebab terbantu, saat itu juga seseorang mengulurkan tangannya menjabat tangan saudaranya seagama, sehingga kedekatan dan kekeluargaan terbentuk meski tinggal saling berjauhan. Dengan demikian seseorang dapat meraih pahala puasa dan kebajikan sekaligus. Termasuk pahala membantu fakir dan orang-orang yang kesusahan.
  2. Bentuk kekuatan kaum muslimin
    Yang demikian, sebab ketika kita pulang sholat ied, kita disunnahkan mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang kita lalui saat datang ke tempat sholat. Tujuannya dimaksud untuk unjuk gigi, agar musuh melihat kekuatan persatuan kaum muslimin. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Orang mukmin itu tidak lain adalah bersaudara.” (Al-Hujurat: 10) mereka saling mencintai dan merajut persaudaraan.

    Terdapat hikmah lain dari disunnhkannya berbeda jalan antara pulang dan pergi ke tempat sholat ied, di dalam “Fathul bari” sebagaimana imam Ibnu Hajar terangkan bahwa baginda nabi melakukan demikian bertujuan memperbanyak saksi agar 2 jalan sekaligus yakni jalan pulang dan pergi menjadi saksi atas beliau, pendapat lain mengatakan sebab jin, manusia dan makhluk-makhluk lain bertempat di sana sehingga mereka mampu menjadi saksi atas setiap langkah kita dari pergi dan pulang, dikatakan juga agar kelimpahan berkah bagina nabi ketika beliau berlalu tidak hanya berdampak pada satu jalan saja dan lain sebagainya.
  3. Islamisasi tradisi pra-islam
    Agama islam yang hanif tidak melarang bangsa dan kaum mana pun bergembira dengan hari rayanya, bahkan islam mengakuinya secara realitas. Jika bertentangan dengan nilai-nilai, adab serta syariatnya, islam meluruskannya dan menggantinya dengan yang lebih baik. Ini terbukti bahwa sebelum islam, bangsa arab sudah memiliki hari raya yang mereka rayakan dengan suka cita, di antaranya ialah hari raya Nairuz dan Mahrajan. Ketika baginda Rasulullah Saw., datang ke Madinah dan mendapati masyarakatnya merayakan dua hari raya ini, beliau menanyakannya, setelah mendengar jawabannya, Rasulullah bersabda:
    كان لكم يومان تلعبون فيهما و قد أبدلكم الله بهما خيرا منهما يوم الفطر و يوم الأضحى
    Artinya: “Allah telah mengganti kedua hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu hari raya idul adha dan idul fitri.”(HR. Ahmad 11945, An-Nasai 1555).

    Hikmah penggantian ini, bertujuan untuk menghindari cara-cara jahiliyah.

Similar Posts