Ijtihad, Terorisme dan Liberalisme; Catatan Singkat Tadarus KH. Ali Mustafa Yaqub
Majalahnabawi.com–Pada mulanya buku ini dilatarbelakangi oleh Majelis Islam A’la (MIA), salah satu lembaga Islam tertinggi yang ada di Aljazair. MIA meminta kehadiran Pak Kiai untuk menyiapkan sebuah makalah yang berjudul al-Ijtihad fi Nazhr al-‘Ulama bain al-Madhi wa al-Hadhir (Ijtihad dalam Perspektif ulama; Antara Dulu dan Sekarang). Nantinya makalah ini dipresentasikan dalam acara Konferensi Ulama Se-Dunia pada tanggal 26-28 Maret 2012. Secara ringkas, Pak Kiai meramu masalah ijtihad, ruang lingkupnya, syarat-syaratnya dan lebih khusus tentang ijtihad liar yang melahirkan terorisme dan liberalisme. Dengan mengolaborasikan antara yang klasik dan modern, semakin membuktikan kredibilitas keilmuan beliau dalam merespons suatu permasalahan. Karena kontribusinya yang besar tersebut, Pak Kiai diminta untuk mengabadikan makalah tersebut kedalam sebuah buku yang berjudul “Ijtihad, Terorisme dan Liberalisme”.
Dalil Ijtihad
Dalil berijtihad berasal dari al-Qur’an dan hadis. Salah satu hadis yang menjadi dalil tentang ijtihad oleh para ulama adalah hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam kitabnya Sahih al-Bukhari dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata:
“Nabi Saw bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian salat asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu tibalah waktu salat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan salat kecuali telah sampai tujuan’, dan sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan salat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi Saw, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka.”
Dari hadis ini kita mendapati adanya sisi perbedaan dari ijtihad para sahabat. Ada segolongan sahabat yang memaknai sabda nabi tersebut secara kontekstual. Dalam hal ini mereka melaksanakan salat asar di perjalanan (sebelum tiba di Bani Quraizhah). Ada juga mereka yang memahaminya secara tekstual, yaitu menunda salat asar pada waktu malam (setibanya di Bani Quraizhah). Akan tetapi, dari dua hasil ijtihad ini, Nabi Saw tidak menyalahi keduanya.
Mengapa harus ada Ijtihad?
Telah kita ketahui secara umum, nash syar’i telah berakhir bersamaan dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw. Sementara itu, berbagai kejadian dan permasalahan hidup manusia terus mengalami perubahan dan perkembangan. Maka dari itu, para ulama menciptakan metode terbaru guna membawa berbagai permasalahan baru ini ke dalam ranah dalil syar’i. Sehingga nantinya bisa diambil hukumnya dalam sudut pandang Islam. Metode tersebut ialah ijtihad. Karena Ijtihad berkaitan dengan hukum islam secara dalil syar’i, maka tidak sembarang orang bisa melakukan suatu ijtihad.
Dalam buku ini menyebutkan bahwa para ulama telah mengklasifikasikan secara jelas mengenai syarat seorang mujtahid. Antara lain; baligh dan berakal, mengerti al-Qur’an dari segi Nasikh Mansukhnya, lafaz yang ‘am (umum) dan khas (khusus), ayat-ayat yang bersifat muthlaq dan muqayyad, juga Asbab al-Nuzulnya. Tak hanya itu, ia harus mengerti hadis serta letak-letaknya, memahami masalah ijma’, sehingga ia tidak boleh menetapkan sebuah fatwa yang menyalahi ijma’, memahami Bahasa Arab dari sisi Nahwu, Sharaf, dan Balaghah, serta mengerti Ushul Fiqh sebab ia merupakan pondasi dan pilar ijtihad.
Terorisme Lahir Akibat Ijtihad yang Keliru
Pada tahun 2002, gerakan yang dikenal dengan “Jamaah Islamiyah (JI)” melancarkan aksi pengeboman di Pulau Bali Indonesia yang memakan korban meninggal dunia hampir 500 orang. Setelah kita tinjau kembali, mereka menafsirkan al-Qur’an berdasarkan selera dan hanya bermodalkan terjemah al-Qur’an. Mereka yang tak memenuhi syarat sebagai mujtahid pun berani melakukan tindakan terorisme setelah membaca Q.S. al-Baqarah:191
”Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”
Mereka tidak mengetahui bahwa maksud kata ganti “hum” (mereka) pada ayat tersebut berkaitan pada ayat sebelumnya yaitu kepada orang-orang yang memerangi kaum muslimin bukan yang lain.
Bukan hanya tindakan terorisme, ijtihad keliru pun akan berdampak pada lahirnya paham Pluralisme Agama. Yakni yang meyatakan semua agama benar dan semua penganutnya termasuk penghuni surga. Maka dalil yang mereka jadikan sebagai dasar dari ijtihad yang bengkok adalah Q.S. al-Maidah:69.
Refleksi dalam Buku Kiai Ali
Berkaca pada fenomena yang bermunculan tersebut, kita dapat mengambil refleksi dari pemikiran Pak Kiai dalam buku “Ijtihad, Terorisme dan Liberalisme”. Yang mana umat muslim perlu kiranya untuk menegakkan kembali pemahaman yang benar dan lurus ini sehubungan dengan persoalan ijtihad.