Ikhtilaf Produktif, Ikhtilaf Inspiratif
Majalahnabawi.com – Perbedaan pendapat atau ikhtilaf merupakan sesuatu yang umum terjadi di kehidupan kita. Berbeda dalam hal ibadah, muamalah, bahkan dalam hal siyasah atau politik. Tapi tidak sedikit orang yang masih belum bisa menyikapi perbedaan ini dengan dewasa.
Banyak orang yang menyikapi perbedaan dengan suatu pertengkaran, bahkan banyak juga yang memberikan cemoohan dan celaan kepada orang atau kelompok yang dianggap berbeda.
Banyak orang yang masih terjebak dalam paradigma benar dan salah, di mana ketika suatu pendapat benar maka pendapat yang berbeda merupakan pendapat yang salah. Contoh sederhana, di desa-desa tidak sedikit masyarakat yang saling bermusuhan hanya karena berbeda pilihan pimpinan. Tidak hanya satu hari, satu bulan, bahkan permusuhan tersebut bisa berlangsung bertahun-tahun. Maka alangkah baiknya jika kita melihat bagaimana para ulama menyikapi ikhtilaf ini.
Ikhtilaf Berbuah Karya
Di mana ikhtilaf yang dilakukan para ulama bukan hanya bisa menjadi inspirasi tetapi juga bisa menghasilkan suatu karya. Contohnya bisa kita lihat dalam kitab karangan Ibnu Rusyd (wafat tahun 595 hijriah) yang bernama Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, di dalamnya dia menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam mazhab fikih dalam suatu masalah dan juga menjelaskan penyebab perbedaan pendapat tersebut.
Sikap Ibnu Rusyd terhapad ikhtilaf ini merupakan suatu hal yang wajib ditiru. Dia tidak melihat perbedaan sebagai suatu hal yang memisahkan, namun justru perbedaan itu disikapi secara terbuka dan menghasilkan sebuah karya.
Nabi Menyikapi Ikhtilaf Para Sahabatnya
Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah memberikan contoh bagaimana cara menyikapi atau merespon terhadap suatu perbedaan.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari, Bab Shalat al-Thalib wa al-Mathlub Rokiban wa Ima’an nomor hadis 946 tertulis:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: )قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنَ الْأَحْزَابِ: لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمُ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ، فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Dari Ibnu Umar berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami ketika kembali dari perang Ahzab: “Janganlah shalat Ashar salah seorangpun kecuali di Bani Quraidzah. Ketika di tengah perjalan, tiba lah waktu shalat Ashar, sebagian sahabat berkata: “Kami tidak akan shalat sebelum sampai di sana (Bani Quraidzah). Sebagian sahabat yang lain berkata: “Tidak, kita tetap shalat dan Nabi tidak bermaksud begitu”. Maka hal tersebut disampaikan kepada Nabi, kemudian Nabi tidak mencela salah seorangpun dari mereka.
Dari hadis ini, para ulama merumuskan suatu teori yang disebut nadzariyyah tashwibiyyah yaitu ketika ada perbedaan pendapat maka keduanya benar. Ketika berhadapan dengan kondisi ini, maka pilihannya adalah mengambil salah satunya tanpa mencela yang lain.
Dari sini bisa dilihat betapa mengagumkannya contoh yang diberikan Baginda Nabi dan diteruskan oleh para ulama. Maka sejatinya suatu ikhtilaf harus disikapi dengan luwes sehingga ikhtilaf tersebut tidak memicu konflik dan ikhtilaf yang provokatif.