Imam Syafi’i; Al-Quran dan Otentifikasi Arabisme
Majalahnabawi.com – Sudah kita akui bersama bahwasanya Al-Quran tidak bisa ditandingi oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Terbukti ketika Nabi Muhammad SAW menantang para musyrikin Makkah untuk menciptakan sebuah karya yang selevel dengan Al-Quran. Meskipun musyrikin itu dari kalangan para pakar syair, rajanya fashahah, dan tokoh-tokoh ahli balagah, mereka tetap tidak mampu menandingi Al-Quran. Dan mereka semua mengakui bahwa Al-Quran bukanlah karya yang biasa, yang diciptakan oleh manusia.
Para musyrikin itu bukan hanya tidak mampu dari satu sisi saja, melainkan dari banyak sisi. Mulai dari lafaz atau redaksi, makna, balagahnya, pemilihan diksi kata, dan masih banyak lagi. Dan hebatnya juga, makna dari makna-makna dalam Al-Quran tidak ada satupun yang bertentangan. Hukum yang satu membatalkan hukum yang satunya, atau prinsip yang di sini merobohkan prinsip yang ada di sana, dan tujuan yang ini tidak sejalan dengan tujuan yang itu.
Lafaz dalam Al-Quran
Mengenai tentang lafaz yang digunakan oleh Al-Quran yaitu bahasa Arab, terjadi sebuah kontroversi apakah lafaz pada Al-Quran itu full bahasa Arab atau tidak. Ini berawal dari penolakan Imam Syafi’i terhadap pendapat bahwa ada lafaz non-Arab (‘ajamy) pada Al-Quran. Pembelaan Imam Syafi’i terhadap Al-Quran dan penolakannya yang gigih terhadap pendapat adanya kata-kata non-Arab dalam Al-Quran tampak -ironisnya- ditujukan kepada bahasa Arab itu sendiri.
Imam Syafi’i di masanya pernah berpendapat bahwa kosa kata yang dianggap non-Arab di dalam Al-Quran itu sebenarnya kosa kata Arab. Dan beliau mengatakan bahwa orang yang tidak sependapat dengan pernyataannya beliau adalah orang yang tidak mengetahui dan mengerti permasalahannya sama sekali. Sehingga dalam konteks ini as-Syafi’i memberikan gagasan mengenai keluasan bahasa Arab dengan sedemikian rupa. Oleh karenanya bahasa Arab tidak mungkin dikuasai sepenuhnya kecuali oleh para Nabi. Imam Syafi’i mengatakan:
“Orang yang berpendapat bahwa di dalam Al-Quran terdapat kata-kata non-Arab, mungkin karena ia melihat Al-Quran ada kata-kata yang tidak diketahui dan dimengerti oleh sebagian orang Arab. Bahasa Arab adalah bahasa yang paling luas polanya, paling kaya pembendaharaan katanya. Sejauh yang kami ketahui tidak ada manusia, selain Nabi, yang menguasai seluruh cabang-cabangnya. Namun tak ada sesuatu yang asing dari kata-kata Arab itu yang tidak diketahui. Pengetahuan tentang bahasa bagi orang Arab laksana pengetahuan mengenai Sunnah bagi ahli fikih. Kita tidak menemukan seorang pun yang mampu menguasai keseluruhan Sunnah tanpa satu bagian pun terlewat.”
Dari pernyataan Imam Syafi’i ini dapat kita asumsikan bahwa penafsiran Al-Quran akan menjadi disiplin yang sulit. Mengingat Al-Quran adalah miniatur dari kosa kata dan struktur bahasa Arab. Nah, yang menjadi persoalan apakah Imam Syafi’i menyadari mengenai konsepnya yang menyebabkan kontradiksi dan kemustahilan pada proses penafsiran. Karena Imam Syafi’i gigih mempertahankan Arabisme pada Al-Quran.
Paralelisme as-Syafi’i
Paralelisme yang dibuat as-Syafi’i antara pengetahuan tentang bahasa dan Sunnah, merupakan symptom (gejala tak sadar) yang mengungkapkan watak permasalahan yang hendak dipecahkan. Apabila penafsiran Al-Quran secara linguistik sulit untuk dilakukan, maka Sunnah -yang juga tidak mungkin dikuasai- dapat mengurangi sebagian besar kesulitan tersebut. Yang tidak mungkin lalu akan menjadi mungkin.
Sekarang dapat kita pahami bahwasanya Sunnah itu berfungsi atau membantu menjelaskan Al-Quran. Mengingat bahwa Sunnah adalah bahasa kedua yang nantinya mejelaskan ayat-ayat A’m, mutlak, dhahir, Mujmal dan seterusnya. Oleh karena itu Sunnah tidak hanya dibangun dalam menjelaskan atau menerangkan makna, tapi juga dalam membentuk makna dari Al-Quran. Wallahu A’lam.