|

Inilah Sunnah yang Harus Rela Ditinggalkan

Mengapa harus ditinggalkan?

Bagi sebagian orang mungkin akan terasa aneh saat membaca judul tulisan ini. Sambil mengernyitkan dahi coba mengeja satu persatu judul di atas memastikan tidak salah baca. Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul.

Bagaimana mungkin kita sebagai seorang muslim harus rela meninggalkan sunnah Nabi?. Bukankah tidak ada alasan untuk meninggalkannya?. Sebagai muslim sejati, tentunya kita harus menjalankan sunnah Nabi secara totalitas tanpa terkecuali, bukan?.

Para pembaca budiman, handai tidak salah baca. Bahwa pada kenyataannya memang ada sebagian sunnah Nabi yang harus rela kita tinggalkan. Saat pertama mendengarnya mungkin sebagian telinga handai terasa geli. Bahkan, mungkin sebagian hati handai terasa panas, dan pahit saat membaca judul tulisan ini. Namun, seperti itulah kenyataannya. Meski pahit, harus kita terima.

Makna Sunnah

Kata sunnah Nabi dalam istilah dunia ilmu hadis mudahnya adalah tradisi Nabi baik berupa ucapan, tindakan, atau pun persetujuan Nabi atas perilaku yang tidak Nabi lakukan. Tidak dapat dielak atau dihindari, Nabi kita Kanjeng Muhammad saw. adalah seorang manusia biasa.

Sebagai seorang manusia biasa, Nabi kita terikat dengan dimensi yang sama-sama kita tempati; dimensi ruang dan waktu. Maka tradisi Nabi baik yang berupa ucapan, tindakan, dan persetujuannya tidak terlepas dari tempat di mana Nabi tinggal, waktu, situasi, kondisi, serta keadaan di mana Nabi hidup. Atau tradisi Nabi tidak terlepas dari halah ijtima’iyyah situasi kondisi sosio kultural yang mengelilinginya.

Kenyataannya, zaman terus berkembang dan berubah. Bahkan pada sepersekian detiknya manusia terus berkembang. Berangkat dari kenyataan ini, kehidupan yang dialami Nabi sekitar empat belas abad yang lalu, mesti berbeda dengan apa yang kita alami hari ini, empat belas abad kemudian pasca zaman Nabi.

Tentu, apa yang Nabi dan para sahabatnya biasa lakukan zaman dulu, sudah tidak relevan untuk saat ini, itulah kenyataannya. Seberapa besar pun kita mencintai Nabi Saw. dan para sahabatnya, kita tidak bisa menghindar untuk tidak meninggalkan sebagian tradisi mereka karena sudah tidak relevan untuk dilakukan hari ini. Maka jalan satu-satunya adalah dengan merelakannya.

Ibarat seberapa besar pun kita mencintai seseorang, namun jika sudah tidak ada kecocokan di antara kita, tidak ada jalan lain selain meninggalkan atau merelakannya.

Pandangan KH Ali Mustafa Yaqub

Setidaknnya, hasil dari penelitian dan pembacaan Nabawi institute –berdasarkan buah pemikiran salah satu ulama besar hadis di Indonesia KH. Ali Mustafa Ya’qub– ada dua hal dari tradisi Nabi Saw. yang harus rela kita tinggalkan.

Pertama, kita harus rela meninggalkan kebiasaan Nabi Saw. dan para sahabatnya saat shalat berjamaah di dalam mesjid dengan memakai sandal. Ya, kebiasaan ini lazim pada saat itu karena lantai masjid Nabawi hanya beralas pasir. Sangat berbeda jauh bukan dengan lantai mesjid zaman sekarang yang beralas paling minim, terbuat dari keramik bahkan sampai marmer yang harganya ‘bukan maen’. Kebiasaan Nabi dan sahabatnya ini terpotret dalam hadis berikut :

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ سَعِيدٍ أَبِي مَسْلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسًا أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي نَعْلَيْهِ قَالَ نَعَمْ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Sa’id Abu Maslamah dia berkata; saya bertanya kepada Anas “Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat dengan menggunakan sandal?”. Dia menjawab; ‘Ya, pernah.’ (H.R. Bukhari).

Pada hadis lain, dari Said al-Kudry, Nabi bersabda kepada para sahabatnya :

وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

Artinya: “Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah. Jika dia melihat di sepasang sandalnya terdapat najis atau kotoran maka bersihkan, dan shalatlah dengan sepasang sandalnya itu.” (HR. Abu Daud).

Kedua, kita harus rela meninggalkan anjuran Nabi untuk meludah ke arah kiri atau meludah tepat di bawah kaki saat sedang shalat di mesjid, anjuran itu terekam pada hadis berikut :

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah berkata, telah menceritakan kepada kami Qatadah berkata, aku mendengar Anas bin Malik berkata. “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang Mukmin sedang shalat, sesungguhnya ia sedang berbicara secara rahasia dengan Rabb-nya. Maka janganlah ia meludah ke arah depan atau sebelah kanannya, namun hendaklah ia melakukannya ke arah kiri atau di bawah kakinya.”

Kesimpulan

Mungkin, untuk empat belas abad yang lalu serta beberapa abad kemudian pasca zaman Nabi Saw., kedua kebiasaan Nabi di atas masih relevan untuk diamalkan. Namun untuk saat ini, dengan mempertimbangkan bahan alas lantai mesjid saat ini, tentu kita tidak habis pikir jika ada seorang muslim militan yang tetap bersikeras untuk mengamalkan kedua tradisi Nabi di atas.

Inilah salah satu bentuk pentingnya kita mengetahui cara benar pemahaman serta pengaplikasian hadis dalam kehidupan sehari-hari. Juga pentingnya menumbuhkan kesadaran, kepekaan intelegensi untuk merasakan konteks serta kondisi sosio kultural yang mengitari tradisi Nabi saw.

Wallahu A’lam.

Baca juga

Similar Posts