Invaliditas Imam Perempuan; Catatan Singkat Tadarus Karya Kiai Ali Mustafa Yaqub
Majalahnabawi.com – Sekitar 17 tahun yang lalu, masyarakat dunia khususnya umat muslim mengalami keresahan. Penyebabnya adalah adanya berita media massa terkait imam perempuan dalam shalat Jum’at yang terjadi di Amerika pada 18 Maret 2005. Aktor dari peristiwa ini ialah Dr. Amina Wadud (1952) seorang asisten profesor Studi Islam Virginia Commonwealth University.
Dalam peristiwa itu, perempuan berdarah Afro-Amerika tersebut memerani dirinya sebagai Khatibah sekaligus menjadi imam shalat Jum’at di gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery, 137 Greene Street, New York dengan jumlah jamaah sekitar 100 orang yang terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan.
Namun ternyata, di balik peran yang ia mainkan terdapat adanya aktor intelektual lainnya yang bermain peran di belakangnya. Dia adalah seorang wanita keturunan India yang bernama Asra Q. Nomani, mantan wartawati Wall Street Journal sekaligus pendiri kelompok Muslim Women’s Freedom Tour, sebuah kelompok yang memperjuangkan pembebasan wanita muslimat.
Asra Q. Nomani ternyata bukan hanya wanita penggagas shalat berjamaah dengan imam perempuan, melainkan ia juga aktor yang mempraktikkan hal tersebut. Ia melakukannya pada tanggal 23 Maret 2005 di ruang Pusat Riset Studi Wanita Universitas Brandies, Waltham Massachusetts sebagai imam shalat Isya yang mana jamaahnya terdiri dari 2 pria dan 3 wanita.
Respon Kiai Ali dengan Buku “Imam Perempuan”
Merespon peristiwa yang terjadi pada waktu itu, terjadilah pro-kontra di kalangan umat muslim sendiri. Ada sebagian kalangan umat muslim yang merespon hal ini dengan positif karena berlandaskan dengan Hadis Ummu Waraqah yang mereka jadikan sebagai landasan dibolehkannya wanita menjadi imam untuk makmum laki-laki. Dan ada juga yang dengan tegas menolak peristiwa tersebut, salah satunya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Dari permasalahan yang ada, Kiai Ali terdorong kuat untuk mengkaji permasalah tersebut guna memberikan informasi yang lebih lanjut kepada seluruh umat muslimin dengan menulis buku yang beliau beri judul “Imam Perempuan“. Dalam bukunya ini, Kiai Ali memaparkan dengan keilmuan yang begitu dalam namun dengan gaya bahasa yang mudah masyarakat pahami.
Hal pertama yang beliau ulas mengenai imam perempuan ini yaitu dengan melihat apakah ada dalil spesifik di dalam al-Qur’an yang mengisyaratkan boleh atau tidaknya seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki di dalam shalat? Nyatanya tidak ada satu ayatpun yang begitu spesifik menjelaskan hal tersebut.
Dalil dan Pendapat Ulama
Namun, Imam al-Syafi’i (w. 204 H) menjadikan ayat 34 surah al-Nisa sebagai dalil larangan terhadap perempuan untuk menjadi imam bagi laki-laki. Dalam ayat ini memang tidak begitu spesifik melarang perempuan untuk menjadi imam bagi laki-laki, akan tetapi hanya ada penegasan bahwa laki-laki itu menjadi pemimpin dan pengayom bagi perempuan. Karena imam dalam shalat merupakan pemimpin bagi jamaahnya, sedangkan Allah memberikan hak untuk jabatan pemimpin kepada laki-laki, maka hal ini menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam dalam shalat berjamaah yang makmumnya adalah laki-laki.
Kemudian Pak Kiai juga mengulas hadis Ummu Waroqah yang digunakan oleh pihak pro terkait masalah ini, apakah benar hadis ini termasuk hadis yang autentik (shahih)? Sebab faktanya bahwa hadis ini memiliki banyak jalur sanad yaitu: Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dalam kitabnya al-Musnad, Imam Abu Dawud (w. 275 H) dalam kitabnya Sunan Abi Dawud, Imam Ibn Khuzaimah (w. 311 H) dalam kitabnya Shahih Ibn Khuzaimah, Imam al-Thabarani (w. 360 H) dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir, Imam al-Daruquthni (w. 385 H) dalam kitabnya Sunan al-Daruquthni, Imam Ibn al-Jarud (w. 307 H) dalam kitabnya al-Muntaqa, Imam Al-Hakim (w. 405 H) dalam kitabnya al-Mustadrak, dan Imam al-Baihaqi (w. 458 H) dalam kitabnya al-Sunan al-Shaghir.
Kualitas Hadis Tentang Imam Perempuan
Kendati hadis Ummu Waroqah ini diriwayatkan oleh delapan ahli hadis dengan sekurang-kurangnya 11 jalur sanad sebab pada periwayatan Imam Abu Dawud, Imam al-Daruquthni dan Imam al-Thabarani masing-masing memiliki 2 jalur sanad, ternyata setelah diteliti semua jalur sanad tersebut bertitik sentral di seorang perawi bernama al-Walid ibn Jumai’. Ketika beliau menelusuri biografi al-Walid ibn Jumai’ ternyata ia adalah rawi yang kontroversial (rawi mukhtalaf fihi).
Meskipun di sana banyak ulama yang mengecap al-Walid ibn Jumai’ sebagai rawi yang kredibel, ternyata ada ulama lain seperti Ahmad ibn Hanbal dan Imam Abu Dawud yang beranggapan bahwa al-Walid adalah perawi yang kredibel akan tetapi kedhabitannya kurang. Bahkan Ibnu Hibban menyatakan bahwa periwayatan al-Walid tidak pernah dibarengi dengan periwayatan-periwayatan orang yang tsiqah. Jenis periwayatan seperti ini sangatlah buruk, oleh karenanya periwayatannya tidak dapat kita jadikan hujjah.
Jika kita tinjau dalam kaidah ilmu hadis yang mengatakan apabila terdapat Ta’dil (penilaian kredibel) dan jarh (penilaian tidak kredibel) pada seorang rawi, maka penilaian yang kita kedepankan adalah penilaian jarh secara mutlak meskipun jumlah ta’dilnya lebih banyak daripada jumlah jarhnya.
Berdasarkan kaidah tersebut, ulama menilai rawi yang bernama al-Walid ibn Jumai’ itu dha’if. Sehingga secara otomatis hadis Ummu Waroqah merupakan hadis dha’if dan tidak bisa kita pakai sebagai dalil.