Islam dan Budaya Arab

Islam dan Budaya Arab

Suatu ketika saya pernah menegur teman sekelas karena rambutnya gondrong. Dengan entengnya dia menjawab “Nabi aja rambutnya sepundak kok”. “Ya terus enggak mau matuhin kode etik kampus?” Jawab saya sambil beranjak pergi.

Percakapan dengan teman ketika itu mengingatkan saya dengan pemikiran cerdas Almagfurlah Prof. KH. Ali Musafa Ya’qub, MA tentang budaya Arab dan hadis. Menurut beliau, agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda, namun adakalanya keduanya dapat berjalan seirama.

Allah Swt menurunkan wahyu di bumi Arab kepada seorang laki-laki mulia yang juga berbangsa Arab. Maka tak heran bila sumber ajaran Islam menggunakan bahasa Arab. Tidak hanya itu, pertumbuhan dan perkembangan Islam juga tidak terlepas dari budaya yang berlaku di sana.

Saat Islam datang ke nusantara, para wali songo menggunakan strategi dakwah yang tepat dan bisa diterima masyarakat, termasuk pendekatan budaya seperti wayang, tarian, lagu dll. Alhasil dakwah itu bisa diterima sehingga Islam dapat menyebar ke seluruh pelosok nusantara, bahkan Indonesia saat ini menjadi negara pertama dengan populasi muslim terbesar di dunia. Bukankah itu prestasi yang luar biasa?

Jika para wali songo saja demikian, lalu bagaimana dengan metode dakwah Nabi Saw yang membawa agama baru di tengah-tengah kaum kafir Quraisy? Apakah ketika itu Nabi Saw melepaskan diri dari seluruh budaya Arab?

Menurut Almagfurlah KH. Ali Musafa Ya’qub, kriteria agama dan budaya agar dapat dibedakan adalah:

Ajaran agama Islam dilakukan atau diamalkan oleh kaum muslimin saja. Berbeda dengan budaya yang pengamalannya dilakukan oleh kaum muslimin dan non muslim.

Misalnya surban, sebelum Islam datang, masyarakat Arab sudah menggunakan surban. Orang Islam menggunakan surban bukan karena adanya perintah dari agama, karena saat itu orang-orang kafir juga menggunakan surban. Perbedaanya, orang-orang Islam dianjurkan menggunakan qolansuwah (peci) terlebih dahulu sebelum melilitnya dengan surban. Hal ini dimaksudkan agar surbannya tidak jatuh ketika mereka shalat.

Pendapat bahwa surban merupakan budaya Arab juga diperkuat dengan fatwa Saudi Arabia tentang surban (Lihat Ali Mustafa Ya’qub, Cara Benar Memahami Hadis, Pustaka Firdaus, hal 94) dan juga fatwa Fadhilah al-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (hal 96). Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa surban adalah budaya Arab, bukan perintah agama sehingga menjadi sunnah. Meskipun demikian, menggunakan surban tetap diperbolehkan.

Namun ternyata menggunakan surban bisa menjadi haram hukumnya, yakni bagi orang yang hanya menggunakannya sendirian dan berbeda dari masyarakat di sekitarnya, karena hal itu bisa menjadi pakaian syuhroh (popularitas). Apalagi jika sang pemakai bertujuan agar mudah dikenal (popular) dan tumbuh dalam hatinya rasa sombong.

Beberapa budaya terkadang sudah ada sebelum Islam datang.

Misalnya al-jummah (rambut yang panjangnya sampai dua pundak), al-wafrah (rambut yang panjangnya sampai pada dua daun telinga, dan al-limmah (rambut yang panjangnya hampir menyentuh pundak). Gaya rambut seperti demikian saat itu diterapkan oleh bangsa Arab, dan terus berlanjut bahkan hingga Islam datang.

Beberapa budaya ada yang sudah muncul sebelum Islam datang, kemudian turun wahyu dan Allah Swt memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya. Maka setelah turun wahyu, budaya tersebut menjadi syariat Islam.

Misalnya manasik haji dan perhitungan bulan qomariyah (tahun hijriyah). Keduanya sudah menjadi tradisi semenjak masa jahiliyah dari syariat Nabi Ibrahim As. Kemudian disyariatkan oleh Islam dan diamalkan hingga kini.

 

 

Similar Posts